TAK TERASA Lebaran di depan mata. Di kalangan perempuan, khususnya ibu-ibu, kesibukan ibadah di penghujung Ramadan pun mulai berkurang, berganti dengan kesibukan belanja. Ya, seolah sudah menjadi kelaziman di negeri ini, setiap bulan puasa konsumsi masyarakat meningkat berlipat-lipat dibandingkan hari-hari biasa.
Bulan puasa seakan menjadi suatu keharusan untuk berbelanja menenuhi hasrat makan-minum dengan boros. Meskipun tidak makan dan minum pada siang hari, tapi pada saat berbuka puasa dan sahur, orang merasa tidak afdhal kalau tidak melengkapi sajian buka puasa dengan menu istimewa. Begitupun hari raya Idul Fitri, senantiasa ditandai dengan kebiasaan berpakaian serba baru, membuat makanan dan membikin kue Lebaran, serta mudik ke kampung halaman.
Walhasil, setiap bulan puasa dan Lebaran orang kebanyakan rela habis-habisan, sehingga setelah Lebaran usai, segala-galanya tidak tersisa.
Wajar Asal..
Memang, belanja apa yang dibutuhkan itu wajar belaka, asal tidak berlebihan. Juga, selama membelanjakan harta di jalan yang benar. Ada beberapa alasan kenapa masyarakat belanja banyak saat Lebaran. Pertama, karena anggapan Lebaran nanti banyak kedatangan tamu, saudara dan keluarga besar. Makanya, untuk menjamu tamu dan keluarga, belanja sembako atau kue lebih banyak.
Kedua, saat Idul Fitri bertemu banyak orang, baik kerabat atau teman lama yang jarang bersua, masyarakat ingin tampil percaya diri dengan busana terbaik. Apalagi dengan dalih disunahkan memakai pakaian terbaik, baju baru pun seolah suatu keharusan.
Imam Syafi’i menyebut di dalam Kitab al-Umm, “Aku lebih menyukai seseorang memakai pakaian terbaik yang dimilikinya pada hari-hari raya, iaitu pada hari Jumaat, dua hari raya (Aidiladha dan Aidilfitri) dan tempat diadakan majlis (seperti majlis perkahwinan). Dia hendaklah memakai baju yang bersih dan memakai wangi-wangian.” (kecuali wanita, dilarang memakai wangi-wangian).
Bagi orang kaya, beli baju baru itu biasa. Tiap bulan, bahkan tiap minggu saja belanja fashion. Tapi bagi keluarga pas-pasan, beli baju baru bisa jadi hanya mungkin dilakukan setahun sekali saat mendapat THR atau sedekah. Jadi wajar saja bila kegembiraan usai Ramadan dan menyambut Lebaran ditunjukkan dengan menyenangkan anak, yakni membelikan baju baru.
Ketiga, Ramadhan dan Lebaran moment untuk berbagi. Kadang keluarga belanja bukan buat dirinya sendiri, tapi juga untuk diberikan kepada kerabat, orang yang dituakan, tetangga, pegawainya, pembantu rumah tangga, dan semua orang yang udah berjasa di sekitarnya. Makanya akhirnya belanja lebih dari biasanya. Selama apa yang dibeli itu memang dimanfaatkan, termasuk disedekahkan, insya Allah tidak masalah belanja.
Beda jika dibelanjakan untuk kebutuhan maksiat, seperti membeli kosmetik yang tidak jelas kehalalannya, makan di restoran yang juga tak jelas kehalalannya, dll. Inilah yang disebut para pemboros. Firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS: Al Israa’: 27]
Kontradiktif
Kebiasaan konsumtif sebenarnya kontradiktif dengan hakikat puasa. Puasa adalah sebuah idealisme yang mengayomi manusia agar mengendalikan diri dari segala hawa nafsu, berdisiplin, dan memiliki jiwa solidaritas sosial. Selama puasa, mestinya kita bisa menahan diri dari belanja berlebihan. Menahan diri untuk menghabiskan waktu lebih banyak di pasar atau mal, dibanding ibadah.
Sayang, idealisme puasa ini telah dijangkiti virus kapitalisme yang mendorong birahi konsumtif kaum muslim secara luar biasa, sehingga mengubah makna puasa dan hari raya Idul Fitri sekadar menjadi ritualisasi konsumerisme.
Itu semua terjadi karena ulah para pelaku usaha yang melihat sudut pandang Idul Fitri dari sisi materi semata. Mereka terlalu over, menjadikan momen Lebaran dengan berbagai tawaran program belanja sehingga terjadilah konsumtivisme dan konsumerisme.
Ya, kita yakin, sejatinya masyarakat cukup rasional, yakni belanja sesuai kebutuhan dan keuangan. Apalagi di zaman susah seperti saat ini, pasti sangat perhitungan saat belanja. Terlebih harga-harga naik saat Lebaran, seperti sembako. Makanya, mereka pasti belanja sesuai kemampuan.
Tapi, karena saat Lebaran produsen barang, mal-mal dan butik-butik banyak yang menawarkan barang dengan jor-joran harga sehingga merangsang masyarakat untuk belanja. Mereka menawarkan berbagai program atau paket belanja yang menggiurkan, sehingga masyarakat tergoda membeli, walaupun kadang tak dibutuhkan.
Misalnya momen Lebaran produk elektronik ikutan banting harga. Bahkan bahan bangunan pun ikut diobral. Inilah yang merangsang masyarakat konsumtif, karena akhirnya tergoda belanja hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kebutuhan Idul Fitri. Akhirnya, Hari Raya Idul Fitri bukan menonjol dari sisi ibadah, tapi menonjol dari sisi peningkatan omset para pengusaha. Lebaran identik dengan panen laba, bukan panen pahala.
Skala Prioritas
Boleh saja belanja, tapi sewajarnya. Prinsip pertama dalam membelanjakan uang adalah berdasar kebutuhan, bukan keinginan. Kalau sedia beras, gula atau telur lebih banyak untuk hidangan lebaran, wajar. Beli baju, sepatu dan tas, asal memang dipakai, wajar. Tapi kalau belanja untuk kebutuhan bulan depan, atau bahkan tahun depan karena mumpung lagi diskon misalnya, inilah yang disebut konsumtif.
Kedua, buatlah skala prioritas dalam berbelanja. Pengeluaran reguler seperti SPP anak, tagihan rekening bulanan, dll jangan dilewatkan. Lalu zakat, harus diutamakan. Selanjutnya infak dan sedekah. Setelah pengeluaran reguler tuntas, baru belanja tambahan seperti kue lebaran, baju, dll. Untuk itu sebaiknya semua dicatat agar bisa diperkirakan antara pengeluaran dan pendapat slm lebaran.
Ketiga, sisihkan uang untuk pasca Lebaran. Jangan habis lebaran, habis pula uangnya. Nanti habis Lebaran utang sana-sini, bingung memenuhi kebutuhan hidup lagi. Misalnya, minimal 10 persen THR bisa disimpan, untuk modal usaha atau investasi pasca Lebaran. Termasuk jika masih punya utang, harus diprioritaskan untuk dilunasi lebih dulu.
Terakhir, marilah kita renungkan firman Allah SWT yang artinya:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” [QS: Al Furqaan: 67]. Wallahu’alam.*/kholda