Hidayatullah.com | ALLAH SWT memiliki kekuasaan mutlak atas dunia seisinya. Lalu, mengapa anak disuruh menjaga Allah Yang Maha Kuasa dan bagaimana pula caranya?
“Nak, belajar yang rajin, ya. Nanti besar jadi seperti itu loh, yang banyak uangnya, bisa membangun sekolah, dan kamu bisa jadi orang terhormat, Nak!”
Ungkapan di atas adalah ilustrasi perihal harapan dan antusiasme para orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Mereka berharap, anak-anaknya dapat menjadi orang yang berada, memiliki segalanya, kemudian bisa beramal baik.
Tentu sangat wajar jika orangtua berharap kebaikan dan kemudahan hidup bagi putra-putrinya. Tetapi, sadarkah kita sebagai orangtua, bahwa anak kita tidak saja hidup di dunia, tetapi juga di akhirat.
Dan, berkenaan dengan itu, Allah SWT secara tegas mengingatkan seluruh orangtua untuk benar-benar memperhatikan keluarganya, agar jangan sampai jatuh ke dalam neraka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (HR: At-Tahrîm [66]: 6).
Terhadap makna ayat tersebut Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka.”
Jadi, yang prinsip sebenarnya, tidak begitu soal anak kita kelak menjadi apa, berapa penghasilannya, dan bisa memiliki apa. Tetapi yang paling inti adalah, mampukah anak-anak kita menjadi pribadi yang berpegang teguh pada tali (ajaran) Allah, sehingga mereka menjadi generasi yang cemerlang bagi tegaknya ajaran Islam.
Mungkin anak kita tidak kaya, tidak menjadi pejabat, atau bahkan tidak menjadi pengusaha, tetapi selama kelak mereka menjadi suluh di dalam gulita, dimana kehadirannya menjadi penawar bagi kegersangan ruhani umat, maka sungguh itu lebih dari apapun dari kehidupan dunia ini.
Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ terhadap Ibn Abbas. Beliau berdoa kepada Allah SWT agar anak pamannya itu menjadi seorang ahli ilmu.
“Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”.
Berkat berkah doa Rasulullah ﷺ ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir al-Quran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini).
Dengan demikian, bukan perkara mudah, mengantarkan anak sampai pada tahap yang demikian. Butuh keuletan dan doa dari orangtua dalam membina anak-anak agar memiliki ilmu dan adab.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, berpesan, “Berikanlah kepada keluargamu itu ilmu, ajarkan kepada keluargamu itu adab.” Lantas, ilmu seperti apa yang dimaksudkan dalam nasihat suami Fatimah Az-Zahrah itu?
Tentu saja ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah ﷺ, yakni ilmu yang mengantarkan anak mengenal Allah SWT, mengenal Rasulullah ﷺ, mengenal ajaran Islam, dan ilmu yang mengantarkan hati mereka memiliki ketaqwaan kepada-Nya.
Terkait ini, ada suatu kisah menarik yang dialami oleh Ibn Abbas radhiyallahu anhu. Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, “Suatu hari saya berada di belakang Nabi ﷺ.
Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.
Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).
Menjaga Allah SWT tentulah sebuah kata yang sangat singkat, namun dalam dan luas makna serta implementasinya. Menjaga Allah SWT berarti kita mendorong anak-anak kita mengenal perintah dan larangan-Nya, kemudian mengamalkannya.
Menanamkan hal ini tidaklah mudah. Sebab jangankan anak-anak, para orangtua pun tidak sedikit yang goyang keimanannya karena satu dan lain hal. Tetapi, bagaimana pun beratnya, tetaplah berupaya dan terus tanamkan kepada putra putri kita.
Sampaikan bahwa kelak akan ada kebahagiaan yang menyapa kehidupannya. “(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” ( Qaf [50]: 32).
Sisi yang paling penting ditanamkan kepada anak-anak agar mereka selamat dari neraka adalah mengenalkan kepada mereka perihal perkara yang sangat Allah SWT benci, yakni kemusyrikan, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan adz-dzulmun adhim (kedhaliman yang besar).
‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari).
Dan, secara operasional hal ini dapat dirujuk pada apa yang ditegaskan oleh Nabi, bahwa apabila siapapun mampu menjaganya dengan baik, niscaya surga akan menjadi tempatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim).
Pada akhirnya, kita akan menyadari sebagai orang tua, bahwa yang terpenting di dalam kehidupan ini adalah penjagaan Allah SWT atas kehidupan dan keimanan putra-putri kita. Dan, untuk sampai pada tahap Allah SWTmenjaga anak-anak kita, kita selaku orangtua harus berjuang mengantarkan mereka pada surga.
Hal itulah yang diteladankan oleh Nabi Ya’kub AS kepada putranya Nabi Yusuf AS. Dimana sekalipun hidup penuh dengan derita, ia tetap menjaga Allah SWT, sampai Allah SWT pun menjaganya dari rusaknya iman dan kehinaan.
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah kami palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba kami yang terpilih.” (QS: Yusuf [12]: 24). Allahu a’lam.*/Imam Nawawi, Ketua Syabab Hidayatullah