Sambungan artikel PERTAMA
Seorang Muslim sepatutnya pandai bersabar ketika ditimpa suatu masalah dan pandai bersyukur dengan segala karunia yang Allah Ta’ala berikan kepadanya dengan tidak sombong, begitu juga saat seseorangdalam keadaan marah sebisa mungkin memperbanyak ampunan kepadaNya dan belajar untuk terus menjadi pribadi yang mudah memaafkan.
وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”(QS: Al Baqarah: 237)
Kemudian bagaimana dengan para perempuan yang sudah terlanjur menikah, bahkan merasa menyesal dengan pasangan hidupnya dan berniat ingin segera berpisah.Adakah solusi yang ditawarkan ajaran Islam jika kenyataannya demikian.
Perceraian memang diperbolehkan jika keadaannya sudah sangat terpaksa alias darurat, sebagai contoh seorang isteri yang sudah tidak tahan hidup dengan suaminya lantaran sang suami tidak bertanggung jawab dengan sengaja menelantarkannya, tidak memberi nafkah lahir bathin, tidak memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, sering melanggar aturan agama, jauh dari ketaatan dan alasan mendesak lainnya.
Seorang isteri boleh mengajukan permintaan untuk dicerai demi kemaslahatan, dalam ilmu fiqih disebut dengan “Khulu” yaitu gugatan cerai yang diminta oleh pihak istri kepada suaminya dengan membayar kompensasi yang disepakati oleh kedua belah pihak (suami-isteri), dalam hal ini suami tidak diperkenankan memberatkan sang isteri, seperti dengan kata-kata berikut :
“Kalau kamu ingin bercerai dengan saya itu boleh saja, asalkan kamu membayar kompensasi dengan segudang emas dan berlian seberat pohon beringin, juga uang puluhan miliar atau alasan irasional lainnya yang memberatkan sang istri”.
Seorang suami jika memang berat untuk berpisah dan benar-benar cinta kepada isterinya hendaknya bisa menjaganya dengan menjadi pribadi-pribadi menawan di hadapan belahan jiwanya, bukan membuat sang isteri tidak tahan bersamanya karena prilaku buruknya.
Gugatan isteri tetap berada di tangan suami.Lain halnya jika perkaranya sudah masuk ke pengadilan.Maka hakim di pengadilanlah yang akan memutuskan perkara.
Jika seseorang ingin melangsungkan pernikahan, maka harus secara baik-baik dan jika ingin berpisah, perpisahannya harus dilakukan secara baik-baik pula tanpa harus ada yang disakiti apalagi dirugikan, terlebih lagi saling membuka aib kedua belah pihak pasca perceraian.Hal ini sangat tidak dibenarkan.
وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً
“Dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (QS: Al Ahzab: 49)
Seorang isteri tidak boleh begitu saja mengajukan Khulu tanpa sebab kepada suaminya, jika tiada alasan yang dibolehkan syariat, berarti permintaannya mengada-ada dan telah mempermainkan kesakralan pernikahan, hal demikian bisa mendatangkan kerusakan bagi kehidupan.
Hal ini menjadi alasan kenapa hak cerai ada di tangan suami, bukan di tangan isteri, karena suami lebih matang dalam berpikir adapun para isteri bisa dengan mudah menggugat cerai suaminya lantaran masalah sepele, lupa memberi ucapan ulang tahun berturut-turut, telat memberi uang belanja serta kebutuhan kosmetik, lupa dengan janji karena kesibukan kerja,merasa kurang diperhatikan, mendengar suaminya bahas poligami, tersenggol tangan suami padahal sangat pelan dan alasan yang kurang bisa difahami para lelaki.
Perceraian tanpa sebab hanya akan berakibat buruk!
Anehnya, saat para pasangan memutuskan bercerai, beralasan untuk kebaikan masing-masing!
Kebaikan mana yang dimaksud?
Adakah kebaikan bagi anak-anaknya jika kelak ibu dan ayahnya terpisah oleh ruang, jarak dan dinding waktu?
Bagaimana nasib mereka kelak, karena kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya?
Apa salah dan dosa anak-anaknya sehingga harus menyandang status “broken home”?
Siapkah menanggung beban psikologis seorang anak, karena merasa minder dengan statusnya?
Akankah suami-isteri yang terpisah bisa menjadi kebanggaan anak di hadapan teman-temannya?
Bagaimanapun juga anak-anaklah yang menjadi korban dari fenomena sosial yang marak ini!
Bila masih mungkin untuk bersatu, maka ada baiknya seorang perempuan tidak cepat-cepat memutuskan untuk menempuh jalur ‘Khulu”,karena masih ada dialog sebagai pintu keluar yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.
Renungkanlah duhai sebaik-baik perhiasan dunia!
قَالَ رَسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Perempuan mana yang meminta perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma surga.” (HR. Ahmad. Abu Daud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan sahabat Tsaubaan)
Duhai sebaik-baik perhiasan dunia!
Ketahuilah, bahwa perceraian adalah kejadian yang sangat disukai setan. Imam Muslim meriwayatkan, yang artinya:
“Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air.Lantas, mengutus pasukan-pasukannya. Prajurit yang paling dekat dengannya, ia adalah yang paling besar fitnahnya. Kemudian salah satu dari mereka datang untuk melaporkan :
“Aku telah melakukan ini dan itu!” maka Iblis berkomentar. “Engkau tidak melakukan apa-apa!”. Selanjutnya yang lain datang seraya berkata : “Tidaklah aku tinggalkan (anak adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan isterinya,” maka Iblis mendekatkannya seraya berseru : “Bagus benar dirimu”. (HR. Muslim)
Sebagai kesimpulan, perpisahan dalam rumah tangga dibolehkan,jika kawatir bisa merusak urusan agamanya, dengan harapan Allah Ta’ala akan menggantinya dengan yang lebih baik.Namun bersabar dengan tetap bersatu juga diperbolehkan jika kuat fisik dan mentalnya.
Nabi Ismail pernah menceraikan isterinya yang kurang pandai bersyukur kepada Allah Ta’ala dan kepada suaminya,hal ini sebagaimana saran dari ayahnya Nabi Ibrahim. Kemudiania menikah kembali dengan perempuan terhormat dari suku Jurhum salah satu kabilah Arab yang dari garis keturunannya terlahir seorang Nabi yang mulia Muhammad shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Nabi Muhammad pernah menceraikan salah satu isterinya bernama Hafsah binti Umar bin Khatab yang telah berbuat khilaf dengan menyulitkan Nabi yang membuat dadanya menjadi sempit dan bersedih karena iatelah menyebarkan rahasianya namun setalah itu Rasulullah memaafkan beliau dan rujuk kembali hingga Hafsah dan Umarpun menjadi tenang.
Begitupun dengan para sahabat Nabi yang mulia diantaranya Abdullah bin Umar bin Khatab, iapun menceraikan isterinya atas saran Ayahnya karena dipandang kurang baik dalam perkara agama isterinya dan bukan karena masalah duniawi. Bukankah diantara garis keturunan Umar ada yang menikah dengan rakyat jelata namun dipilih karena bertakwa kepada AllahTa’ala yang kemudian lahir dari pernikahan tersebut seorang pemimpin yang adil yaitu Umar bin Abdul Aziz yang disebut-sebut para ulama sebagai khalifah ke-5.
Pelajaran berharga dari kisah di atas bahwa para suami maupun isteri tidak boleh taat kepada orang tua yang memaksa menceraikan pasangannya karena hawa nafsu, ego,pikiran sempit dan kesombongan orang tuanya.Kecuali jika isteri atau suami tidak taat, zalim, fasik, menelantarkan anak, menjalin hubungan dengan orang lain,senang mengumbar aurat, melalaikan shalat dan sudah dinasehati namun tetap durhaka, maka perintah orang tua untuk menceraikan pasangannya wajib ditaati karena betapa rusak agamanya.
Akhir kata semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga rumah tangga setiap Muslim dari segala keburukan, niat buruk para pendengki, orang-orang fasik dan kaum munafik yang hadir di sekitar kita. Ma’adzallah.
Teruntuk para pasangan yang saling mencinta dan mengasihi karena Allah Ta’ala! Bersabarlah dengan sabar yang indah, pertahankan kesakralan dan keutuhan rumah tangga yang sudah terbina rapi, tepis segala hasudan yang ada. Bersabarlah, bersabarlah dan teruslah bersabar atas segala ujian yang menimpa, karena esok atau lusa mungkin kita sudah tiada.Maka perjuangkanlah mahligai rumah tanggaanda sampai ajal menjadi pemisah. Alangkah indahnyakisah cinta dan cerita rumah tangga seperti ini! Semoga.*/Guntara Nugraha Adiana Poetra, dosen Komunikasi & Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA)