Oleh; Ali Akbar Bin Agil
MUHASABAH bisa berarti introspeksi diri, melakukan evaluasi, dan bersikap kritis kepada diri sendiri. Bermuhasabah berarti mencoba mengenali kelebihan dan kekurangan yang ada. Kelebihan yang diberikan Allah akan dimanfaatkan untuk menambah raihan kebaikan. Sementara kekurangan dijadikan sebagai momentum memperbaiki diri agar lebih baik dari waktu ke waktu. Demikian keadaan orang yang aktif melakukan muhasabah.
Sejenak kita perlu melakukan renungan tentang umur, harta, kesempatan, dan waktu yang ada. Untuk apa umur kita selama ini? Dari mana kita memperoleh harta dan ke mana harta tersebut kita keluarkan? Bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang ada? Dan dengan apa kita mengisi waktu hidup ini?
Nabi mengajarkan kepada kita untuk muhasabah lewat sabdanya; “Orang yang beruntung adalah orang yang menghisab dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu serta berangan-angan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala.” (HR. Turmudzi).
Ungkapan Nabi ini mengajak kita untuk fokus kepada visi kehidupan setelah kematian dan bersikap introspektif dalam memperbaiki aksi sebagai hamba Allah. Dari Nabi juga berikut para Salafus Shalih (orang-orang terdahulu yang baik), kita bisa memperoleh suguhan aksi muhasabah mereka.
Ada empat aspek yang perlu kita lakukan muhasabah di dalamnya. Pertama, Muhasabah dalam makanan dan minuman yang kita konsumsi. Makanan dan minuman yang kita masukkan ke dalam perut akan memberi energi. Selama makanannya halal dan diperoleh dengan cara yang tepat, akan melahirkan energi positif yang darinya kita terbawa kepada hal-hal yang baik. Namun, jika ternyata kita mengonsumsi makanan haram atau diperoleh dengan cara yang culas, maka makanan dan minuman tadi berubah menjadi energi negatif.
Rasululullah pernah tidak tidur semalaman. Kali ini Nabi tidak tidur bukan karena tengah bermunajah tapi tengah tenggelam dalam memikirkan sebutir kurma yang dimakannya pada siang hari sebelumnya. Beliau khawatir jika sebutir kurma yang telah tertelan oleh beliau itu ternyata adalah sedekah untuk kaum fakir-miskin.
Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq juga tidak mau kalah soal mengevaluasi sumber makanan dan minuman. Beliau pernah meminum segelas susu yang ada di meja hidangan karena rasa haus selepas beraktifitas.
Setelah minum, datanglah pembantunya dan memberi tahu bahwa susu itu merupakan upah yang ia terima ketika dulu ia masih berprofesi sebagai juru ramal (dukun). Seperti disambar petir di siang bolong Abu Bakar mendengar berita dari pembantunya ini. Beliau berusaha memuntahkan susu dengan sekuat tenaga hingga tidak sadarkan diri. Usai siuman beliau mengatakan, “Seandainya aku harus menebus nyawaku untuk mengeluarkan susu ini, akan kulakukan, karena aku mendengar Rasul telah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih pantas untuknya.”
Kedua, muhasabah perbuatan. Kadang kala tindak tanduk berakibat fatal kepada diri sendiri maupun orang lain. Disadari atau tidak, kita sering jatuh dalam kesilapan dan kesalahan. Akibatnya, orang lain yang tidak tahu apa-apa bisa terkena getahnya.
Sikap muhasabah dalam tindak-tanduk tampak dari sosok Sayidina Umar bin Khattab yang pernah memukul kakinya dengan cemeti seraya berkata, “Apa yang telah engkau kerjakan siang tadi.”
Lain halnya dengan Ar-Rabi` bin Khaitsam, ia menggali lubang seperti kuburan di dalam rumahnya. Setiap kali ia merasa malas beribadah, ia langsung masuk ke dalam lubang tersebut agar selalu ingat bahwa dirinya suatu saat akan menjadi penghuni kubur, sehingga ia bergegas dalam beramal membawa pundi-pundi bekal sebanyak-banyaknya.
Ketiga, menghukum diri. Kita sering mendengar bunyi pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.” Pepatah lama ini ingin kembali kita ingat, berapa sering kita melihat kesalahan orang lain tanpa pernah mampu melihat kesalahan sendiri, berapa sering kita melihat orang-orang yang menyakiti kita dan mengumpat namun jarang menyadari bahwa luka yang sama bahkan lebih dalam lagi telah kita torehkan di hati orang lain, berapa sering kita melempar batu dan sembunyi tangan, menjadi orang yang sangat pengecut padahal Allah mengetahui apa apa yang kita lakukan.
Ada banyak cara dilakukan untuk dapat menyadari kesalahan, seperti seseorang yang pernah berpapasan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya. Tanpa sengaja ia melihat ke arah wanita tersebut. Menyadari bahwa dirinya telah melihat yang tidak halal baginya, segera ia menampar matanya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah melihat hal yang merugikanmu.”
Tidak kurang Sahabat Thalhah juga melakukan penghukuman diri. Ia pernah ketinggalan shalat berjamah di masjid karena sibuk mengurus kebun miliknya. Sebagai bentuk hukuman dan tebusan atas kelalaian menunaikan ibadah shalat dengan berjamaah, ia menyedekahkan kebunnya untuk umat.
Aspek keempat dalam muhasabah adalah mengevalusi alam pikiran tentang dahsyatnya api neraka. Sayidina Ali bin Abi Thalib merupakan sosok yang pantas diteladani dalam membayangkan betapa pedih siksa neraka itu.
Pada suatu hari, datanglah Aqil bin Abi Thalib yang merupakan saudara kandung Ali yang kala itu menjadi Amirul Mukminin. Ia meminta uang lebih dari apa yang sudah ia terima dari Baitul Mal. Ali memintanya untuk datang di malam hari.
Aqil datang di malam yang sudah dijanjikan. Sesampainya di kediaman Ali, Ali menyuruh Aqil mengambil satu bungkusan yang tertutup rapat. Dengan cekatan Aqil mengambil bungkusan tadi. Tak dinyana Aqil menjerit kesakitan tepat ketika ia mengambil bungkusan itu. Ternyata bungkusan itu adalah bara api yang ditutup dengan rapi. Aqil menjerit sampai pingsan.
Setelah sadar, Ali berkata kepada saudaranya, “Baru dengan api dunia saja engkau sudah menjerit sedemikian rupa, bagaimana jika kita diikat dengan rantai jahannam karena menyelewengkan amanat umat, wahai Aqil!”
Ada pula seseorang yang berusaha mengingat panas mendidihnya neraka dengan berguling-guling di gurun pasir pada siang hari. Orang ini berkata, “Wahai Diri! rasakan ini. Dan neraka jahannam jauh lebih panas dari panas yang engkau rasakan saat ini.”
Keempat, hal yang perlu kita evaluasi menjadi semacam ukuran sejauh mana keseriusan dalam memanfaatkan umur, harta, waktu, dan kesempatan, yang tersisa setelah menginjak tahun baru ini. Jika pada tahun sebelumnya, kita masih abai dan sering memandang sebelah mata pentingnya mengevaluasi makanan dan minuman halal, perbuatan, menghukum diri, dan pikiran akan siksa neraka, kini saatnya perlu untuk mengingat itu semua. Agar bukan sekadar ucapan selamat tahun baru yang kita lakukan namun juga melakukan aksi nyata dan menyemesta. *
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang