Oleh: Muhammad Hanif Alatas
‘AMR bin Murroh Radhiyallah ‘anhu, seorang ulama yang lahir di masa Khilafah Sayyidina Utsman ra, pada suatu hari didatangi oleh laki-laki yang memohon petunjuk lantaran kebingungan melihat perselisihan di tengah-tengah muslmin.
Untuk menegaskan kesungguhannya ‘Amr mengajukan pertanyaan “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, engkau benar-benar datang untuk memohon petunjuk?“ laki-laki itupun menjawab “Demi Allah yang tiada tuhan selainnya, aku datang untuk memohon petunjuk!” ‘Amr-pun mulai melontarkan beberapa pertanyaan balik, untuk memecahkan kejanggalannya:
‘Amr: Apakah Muslimin berselisih bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, dan apa yang beliau bawa merupakan HAQ ?? laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa al-Qur’an merupakan Kitabullah ? laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa agama yang di ridhoi Allah adalah Islam? laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa Ka’bah adalah kiblat? Laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa ada lima solat yang diwajibkan atas mereka? Laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa Romadhon adalah bulan puasa bagi mereka? Laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa ibadah haji ditunaikan di Baitillah? Laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa dalam setiap 200 dirham mereka wajib menunaikan zakat sebesar 5 dirham? Laki-laki: Tidak
‘Amr: Apakah mereka berselisih bahwa mandi besar merupakan kewajiban bagi yang berjunub? Laki-laki: Tidak
Setelah melanjutkan beberapa pertanyaan serupa, ‘Amr melantunkan Firman Allah ta’ala :
{ هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ} [آل عمران: 7]
‘Amr kembali bertanya kepada laki-laki tersebut taukah kau, apa itu muhkam? “Lagi-lagi ia menjawab “Tidak“ ‘Amr berkata: Muhkam merupakan sesuatu yang disepakati oleh Muslimin dan mutasyabih merupakan hal yang diperselisihkan oleh mereka, mantapkan langkahmu diatas muhkam, dan jangan sampai kau tenggelam dalam mutasyabih. Mendengar jawaban ‘Amr, laki-laki itu berkata “segala puji bagi Allah yang telah memberiku petunjuk melaluimu, demi Allah aku berdiri dari tempat ini dalam keadaan yang baik.“
Usai meriwayatkan kisah ini, al-Imam al-Maqdisi al-Basyyari dalam kitabnya Ahsan at-Taqasiim Fi Ma’rifah al-Aqaliim berkata, “setelah mendengar riwayat itu, saya memantapkan diri untuk tidak pernah menghukumi dan mensesatkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam selama masih ada jalan keluar yang lain.“
Tanpa menafikan adanya perbedaan, Umat Sayyiduna Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dengan berbagai mazhab, firqah, thariqah, partai sampai organisasi di dalamnya, memiliki segudang titik kesamaan yang merupakan unsur pemersatu diantara mereka.
Unsur pemersatu ini sepatutnya membuat kita sadar, bahwa persaudaraan Islam di bawah naungan besar Syahadatain, harus diletakkan di atas segala-galanya, selama tidak ada penyimpangan fatal yang menyebabkan pelakunya keluar dari barisan Muslimin. Dengan memegang teguh prinsip tersebut, kekuatan ummat Islam takkan pernah terbendung, serta strategi “ farriq tasud “ yang dimainkan oleh iblis dan sekutunya akan menemukan jalan buntu, insya Allah.
Dalam rangkaian syi’ir yang ditujukkan kepada anggota Nadwah al-‘Ulama di India, Al-‘Allamah Abubakar bin Abdurahman bin Syihab berkata:
أفبعد هذا الاتفاق يصيبنا # نزغ ليفتنا من الشيطان وإن اختلفنا في الفروع فذاك عن # خير البرية رحمة المنان
“Setelah serentaknya suara kita dalam al-Qowasim al-Musytarokah, apakah kita masih terpengaruh dengan hasutan syaihan yang memecah belah? Kalaupun kita berbeda dalam furu’, maka perbedaan tersebut merupakan rahmat dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagai mana sabda Manusia Terbaik Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.“ (bersambung)
Penulis adalah santri Ma’had Darullughoh Wadda’wah dan mahasiswa fakultas Syariah Wal Qonun, Universitas al-Ahgaff, Tarim-Hadhramaut