Ketiga: Orang yang ridha
Orang yang ridha merupakan pemilik derajat yang lebih tinggi dari dua kelompok sebelumnya. Sebab, dia telah bersabar sekaligus ridha dengan ketentuan Allah. Selain itu, dia juga merasa senang dengan takdir dan qadha` dari Rabb Pemilik Bumi dan Langit yang menimpa dirinya.
Di sini, saya ingatkan Anda dengan kabar gembira dari Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam untuk Anda –wahai orang yang diuji– bahwa Anda adalah orang yang dicintai Rabb Anda, Rabb Semesta Alam.
Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Maka, siapa yang ridha (terhadap ujian tersebut), baginya ridha (Allah), namun siapa yang marah (terhadap ujian tersebut), baginya murka (Allah).” (Riwayat Abu Dawud)
Dengan demikian, Anda adalah orang yang dicintai Allah dan Dia adalah Zat yang Anda cintai. Allah SWT berfirman, “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).
Namun demikian, ujian akan menimpa Anda sesuai dengan kadar keimanan Anda.
Nabi bersabda, “Maka siapa yang ridha”, dan tidak bersabda, “Dan siapa yang bersabar”, sebab ridha lebih tinggi derajatnya dari sabar.
Beliau juga bersabda, “Maka baginya murka (Allah)”, dan tidak bersabda, “Maka kecelakaan atasnya”. Hal ini menunjukkan atas kemurkaan yang selalu menyertai dirinya. Jika Anda berkata, ‘Bagi Muhammad buku’, maka berarti buku tersebut miliknya. Oleh karena itu, maka kemurkaan selalu menyertai dirinya dan tidak pernah berpisah.
Perhatikanlah Sufyan Ats Tsauri, salah satu orang saleh pada masanya. Ada salah seorang mendatangi beliau dan bertanya, “Wahai imam, aku ingin agar Allah ridha terhadapku, apa yang harus aku lakukan?” Sufyan menjawab, “Jika engkau ridha terhadap Allah, niscaya Dia akan ridha terhadapmu.”
Kalimat yang sederhana, namun membutuhkan penjelasan. Maka, dia bertanya lagi kepada beliau, “Bagaimana caranya?” Sufyan menjawab, “Pada saat engkau dibuat senang terhadap hukuman sebagaimana senangnya dirimu terhadap nikmat. Sebab, keduanya merupakan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah atasmu.”
Sekarang tanyakan pada diri Anda, siapa di antara kita yang dibuat senang terhadap nikmat sebagaimana senangnya terhadap hukuman? Yakni, Anda senang terhadap musibah seperti senangnya Anda terhadap kabar gembira. Adapun makna senang di sini adalah ridha. Sebab, keduanya (nikmat dan hukuman) adalah takdir yang telah ditetapkan atas diri Anda.
Ibnu Mas’ud berkata mengenai firman Allah SWT, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya: Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Maidah: 119), bahwa yang menakjubkan bukan firman Allah, ‘Allah ridha terhadap mereka,’ namun, yang menakjubkan adalah firman Allah, ‘Dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar‘. Sebab, keberuntungan yang paling besar tidak akan datang kecuali dengan ridha. Maka, siapa yang ridha terhadap takdir dan qadha’ Allah, niscaya Allah akan ridha terhadapnya.
Saya ingatkan diri Anda dan diri saya sendiri dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, Allah SWT berkata kepada penduduk surga, ‘Wahai penduduk surga!’ Mereka menjawab, ‘Aku penuhi panggilan-Mu wahai Rabb-ku dan kebaikan berada di Tangan-Mu.’ Allah bertanya, ‘Apakah kalian ridha (terhadap Rabb kalian)?‘ Mereka menjawab, ‘Apa yang menghalangi kami untuk tidak ridha (terhadap-Mu), padahal Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah diberikan kepada salah seorang pun dari makhluk-Mu.’ Allah berkata, ‘Aku akan memberi kalian yang lebih baik dari hal tersebut.’ Mereka bertanya, ‘ Wahai Rabb-ku, sesuatu apa yang lebih baik dari hal tersebut?’ Allah menjawab, ‘Akan aku turunkan pada kalian keridhaan-Ku, dan setelah itu Aku tidak akan pernah murka kepada kalian selama-lamanya.’” (Riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi)
Sebab dari semua keridhaan tersebut adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Wahai saudaraku! Kelak akan datang kepada Anda suatu hari di mana Rabb Anda berkata kepada Anda, “Apakah engkau ridha (terhadap Rabb-mu)?”
Seakan-akan Dia berkata kepada Anda, “Sungguh telah Ku-ciptakan dirimu, Ku-sempurnakan kejadianmu, Ku-tunjukkan kepadamu jalan yang lurus, Ku-berikan taufik kepadamu dan Ku-berikan hidayah kepadamu di saat berjuta-juta manusia tersesat pada hari itu. Aku telah mengujimu, lalu Ku-sabarkan dirimu, Ku-ridhai dirimu, Ku-teguhkan dirimu di atas kebenaran hingga engkau mati di atasnya, serta Ku-hisab dirimu dengan hisab yang ringan. Kemudian Ku-masukkan dirimu ke dalam surga dengan selamat, lalu dirimu dapat melihat Wajah Allah.”
Inilah puncak dari apa yang engkau harapkan. Maka, bersabarlah.
Perkenankanlah saya menyampaikan kabar gembira kepada Anda dengan hadits berikut. Rasulullah SAW bersabda, “Ketika para penghuni surga masuk ke surga, Allah SWT bertanya, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu yang akan Aku tambahkan untuk kalian?‘ Mereka menjawab, ‘Apakah Engkau sudah memutihkan muka-muka kami? Apakah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah). Maka, Allah SWT membuka hijab-Nya. Sehingga, tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada Rabb mereka. Kemudian Nabi SAW, membacakan ayat ini: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26).
Ketahuilah, sekalipun dosa-dosa Anda sangat banyak, maka ampunan Allah jauh lebih agung. Maka, baktikan diri Anda kepada Allah dan bergembiralah. Siapa yang murka, maka ia tidak akan mendapat ridha-Nya. Sebab tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali apa yang dikehendaki Allah.
Sebelum turun, takdir dan qadha` Allah SWT melewati beberapa fase. Awalnya ialah ilmu. Yakni, Allah telah mengetahui bahwa urusan ini baik bagi hamba-Nya, si fulan. Allah kemudian memilihkan urusan tersebut untuk dirinya dengan hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Lalu, Allah menulis urusan tersebut dan menentukannya atas dirinya. Jadi, takdir Allah adalah apa yang ada di antara langit dan bumi dan belum diturunkan. Namun, jika ia telah turun dan menimpa seorang hamba, ia dinamakan dengan qadha’. Adapun kewajiban bagi hamba tersebut adalah menerimanya dengan ridha. Sebab, penentangan terhadapnya tidak akan bisa mengubah qadha` tersebut sedikit pun.* [Tulisan selanjutnya]
Dipetik dari tulisan Hani Saad Ghunaim, dari bukunya Seni Menikmati Ujian.