Keempat: Orang yang bersyukur
Orang yang bersyukur adalah orang yang paling agung di antara golongan sebelumnya. Sebab, dia telah menghimpun dua perkara terdahulu dan menambahnya dengan perkara yang ketiga. Yakni, sabar terhadap ujian, ridha, dan hatinya merasa tenang terhadapnya, serta bersyukur atas turunnya ujian kepada dirinya.
Allah SWT telah mengistimewakan diri-Nya untuk memberi balasan kepadanya (orang yang bersyukur) atas rasa syukurnya.
Dia berfirman dalam sebuah ayat mulia –ayat ini turun untuk mengabarkan bahwa Rasulullah SAW adalah manusia, dan setiap jiwa manusia pasti akan mati– yang ditujukan kepada Rasul-Nya:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Al-Anbiya`: 34).
Kematian Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam merupakan musibah terbesar yang karenanya umat diuji. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian tertimpa musibah, hendaknya dia mengingat musibahnya karena (kematian)ku, karena ia adalah musibah terbesar.” (Riwayat Ad-Darimi)
Benar, sebab Anda tidak akan pernah sama sekali tertimpa suatu musibah, dengan kehilangan (seseorang) yang lebih mulia dari beliau, serta lebih penyayang dan lebih utama dari beliau.
Jadi, perkara ini adalah perkara berat, yang membutuhkan kesabaran atas kematian beliau dan ridha atas ketentuan Allah padanya, serta bersyukur atas diutusnya Nabi ini untuk seluruh umat. Sebab, tidaklah beliau mengerjakan suatu kebaikan, kecuali beliau telah menunjukkan Anda atas kebaikan tersebut sebelum kematian beliau. Demikian pula, tidaklah beliau meninggalkan suatu kejelekan pun, kecuali beliau telah memperingatkan Anda dari kejelekan tersebut. Selain itu, beliau juga telah meninggalkan Anda di atas tujuan yang putih (terang) dan menunjukkan Anda ke jalan yang lurus, yakni jalannya Rabb semesta alam sehingga Allah menyempurnakan agama sekaligus menyempurnakan nikmat dengan (perantaraan) beliau SAW. Allah SWT berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. ” (Ali-Imran: 144).
Allah juga berfirman di dalam ayat selanjutnya:
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. ” (Ali-Imran: 145).
Adapun maksud orang-orang yang bersyukur adalah setiap orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi, mencintainya, berpegang teguh dengan akhlaknya, dan berbuat baik dalam bermuamalah dengannya setelah beliau wafat. Pun tidak melanggar perjanjiannya, senantiasa jujur setia kepada Allah dan sunnah Rasulullah sehingga Allah pun bersyukur kepadanya atas perbuatan dan sikap sabarnya serta memberinya pahala dengan sebaik-baik pahala.
Jenis orang seperti ini (orang yang bersyukur) sangat sedikit sekali, sebagaimana yang telah diberitahukan Allah kepada kita. Allah berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba`: 13).
Maka, jadikanlah diri Anda termasuk orang-orang yang bersyukur kepada Rabb mereka atas nikmat-nikmat-Nya yang banyak. Seandainya Anda menjadi hamba-hamba yang bersyukur, maka saat itulah Anda telah sampai kepada derajat yang agung.
Syakir adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas pemberian, jawaban, manfaat, dan derma. Adapun syakur adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas pemberian dan penolakan sekaligus, serta ujian.
Dengan bersyukur, azab akan diangkat dari diri Anda, dan pahala dilipatgandakan, serta pahala ditambah baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaitkan syukur dengan keimanan. Dengan keberadaan keduanya sekaligus, Allah akan mengangkat azab. Dia berfirman:
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. ” (An-Nisa`: 147).
Dia juga mengaitkan syukur dengan zikir. Allah berfirman:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. “(Al-Baqarah: 152).
Inilah kisah kematian Ali bin Fudhail bin Iyadh (kisah ini disebutkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Awliyaur Rahman). Saat itu, Ali sedang mengimami shalat bersama manusia dengan membaca:
“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (Ash-Shaffat: 24).
Tiba-tiba dia jatuh pingsan, lalu meninggal dunia.
Sampailah kabar tersebut pada ayahnya, yakni Fudhail. Beliau pun bersabar dan ber-istirja` (menqucapkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un). Kemudian beliau memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkannya.
Setelah itu, beliau keluar dengan tersenyum sehingga ada seseorang yang merasa heran dan bertanya kepadanya, “Apakah engkau tertawa?” Beliau menjawab, “Benar, sebagai bentuk syukur kepada Rabb-ku.”
Sungguh hal itu merupakan keimanan terhadap qadha` dan takdir, kesabaran, keridhaan, serta kesyukuran dalam dahsyatnya musibah. Sebab, milik Allah-lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan, serta segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.
Tapi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. Sebab, Rasulullah SAW bersedih pada saat putranya meninggal. Beliau adalah suri tauladan kita. Kedudukan beliau adalah kedudukan paling tinggi dalam hal ubudiyah dan beribadah. Padahal, urusan ini adalah urusan perasaan yang bersifat mendalam dan kuat, yang seringkali salah seorang dari kita tidak mampu mengendalikannya.
Rasulullah SAW telah menampakkan ubudiyah kasih sayang dan ridha secara bersamaan. Ini merupakan perkara yang sesuai dengan tabiat manusia dalam menghadapi keadaan kritis, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasul Rabb langit dan bumi SAW. Adapun Fudhail, maka beliau hanya menampakkan ubudiyah keridhaan saja.
Namun, yang bisa kita kendalikan dalam hal ini adalah, hendaknya kita tidak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keimanan dan tidak selaras dengan petunjuk nabi kita, Muhammad SAW. Pernyataan ini adalah kesimpulan dari semua persoalan di atas.
Maka, bersabarlah dan harapkanlah pahala dari Allah. Sebab, takdir Allah turun berdasarkan hikmah, yang mana hamba tidak mengetahui hikmat tersebut.
Karena itu, tatkala ada salah seorang ahli zuhud dan ahli ibadah tertawa ketika orang yang dicintainya meninggal dunia maka manusia merasa keheranan dan mereka pun menemui Ibnu Taimiyyah seraya bertanya kepada beliau, “Bagaimana laki-laki tersebut tertawa, padahal tertawa adalah tanda kegembiraan? Dan bagaimana Rasulullah SAW menangis, padahal menangis adalah tanda kesedihan?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Perbuatan Nabi kita lebih sempurna dan lebih utama. Yakni kasih sayang, menangis, ridha dan ketundukan terhadap qadha’. Adapun lelaki yang disebut, ia tidak menampakkan kecuali keridhaan terhadap qadha` dan tidak berkasih sayang terhadap dirinya dengan menangis! Sebab, dalam segala hal ada cara untuk beribadah kepada Allah. Adapun ubudiyah kepada Allah saat terjadinya musibah adalah hendaknya manusia menampakkan bagi Allah kekhusyukan, ketawadhukan, dan ketundukan terhadap qadha’. Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah SWT:
“Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka…” (Al-An`am: 42-43).*
Dipetik dari tulisan Hani Saad Ghunaim, dari bukunya Seni Menikmati Ujian.