IBRAHIM bin Adham rahimahullah (Abu Ishaq dari Balakh, seorang pangeran yang meninggalkan istana demi mencari kepuasan batin mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala) pernah berkata kepada seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, “Jangan risau dan jangan bersedih hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ke-rahah-an yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya.”
Adapun sebab Ibrahim bin Adham mengeluarkan dirinya dari kemewahan kehidupannya dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti dari buntelannya, lalu minum air, dan selesai itu tidur dengan sangat lelapnya dalam bayang-bayang istana. Ibrahim bin Adham sangat terkesan dan kagum akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rahah-annya. Ia memerintahkan seorang pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga.
Ketika orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, “Telah Anda makan roti itu dalam keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?”
“Ya,” jawabnya lagi.
Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, “Jika nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya kemewahan dunia ini bagiku?!”
Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dari istananya, meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar.
Dengan uraian ini, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan. Makin besar yang “itu”, makin besar pula yang “ini”, dan makin patut seorang manusia menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, ke-rahah-an, dan pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegundahan dan kerisauannya, makin damai pula hati manusia karenanya.
Di samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yang berpaling darinya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang dan jelas bagi siapa saja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap dirinya sendiri.*
Dipetik dari tulisan Al-Allamah ‘Abdullah Al-Haddad, seorang ulama yang dilahirkan di pinggiran Tarim, kota Hadramaut, Yaman.