Oleh: Nurlaillah Sari Amallah Mujahidah
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٌ۬ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٍ۬ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ (١٨)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allaah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allaah, sesungguhnya Allaah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Setiap Mukmin dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas amalnya. Untuk peningkatan kualitas amal, muhasabah sangat diperlukan. Tanpa muhasabah tidak akan ada peningkatan kualitas amal. Karena itu, muhasabah menjadi karakter utama pribadi seorang mukmin, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.
Umar bin Khattab ra, seorang sahabat yang dikenal sebagai Amirul Mukminin pernah mengingatkan umat Islam dengan perkataannya yang sangat populer, “Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu.” Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.
Muhasibi, seorang sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu, seperti hadits dan fiqih. Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Basri Al-Bagdadi Al-Muhasibi. Ketika ia ditanya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan soal muhasabah. “Dengan apa jiwa itu dihisab?” Ia menjawab, “Jiwa itu dihisab dengan akal.” Ia ditanya lagi, “Dari mana datangnya hisab itu?” Ia menjawab, “Hisab itu datang dari adanya rasa takut akan kekurangan, hal-hal yang merugikan, dan adanya keinginan untuk menambah keuntungan.”
Muhasabah dalam pandangan Muhasibi, mewariskan nilai tambah dalam basirah, kecerdikan, dan mendidik untuk mengambil keputusan yang lebih cepat, memperluas pengetahuan, dan semua itu didasarkan atas kemampuan hati untuk mengontrolnya. Ketika ditanya, “Dari mana sumber keterlambatan akal dan hati untuk menghisab diri?” Ia menjawab, “Keterlambatan itu disebabkan karena hati. Dalam keadaan demikian hati sangat dihegemoni oleh kekuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal, ilmu, dan argumen.”
Ketika ditanya, “Dari mana kebenaran datang?” Ia menjawab, ”Kebenaran itu datang karena pengetahuan kita bahwa Allah Subhanahu Wata’ala. Maha Mendengar dan Maha Melihat. Pengetahuan merupakan dasar bagi kebenaran dan itu merupakan dasar dari akhlaqul karimah. Karena kemampuan dan kekuatan kebenaran itulah, seorang hamba dapat meningkatkan segala perbuatan baik dan kebajikannya.”
Muhasabah merupakan kesadaran akal untuk menjaga diri dari pengkhianatan nafsu melalui proses pencarian kelebihan dan kekurangan diri. Karena itu, muhasabah menjadi lampu di hati setiap orang yang melaksanakannya. Sejatinya momentum pergantian tahun baru Masehi semestinya kita jadikan sebagai sarana untuk evaluasi diri (muhasabatun nafsi) atas berbagai amal yang telah dilakukan agar kehidupan kita lebih baik dan bermakna di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.*