Hidayatullah.com | REGENERASI dalam dakwah sangat penting diupayakan. Hal ini diusahakan agar estafeta fungsi diutusnya Nabi dan Rasul bisa terus berjalan. Dalam sejarah, salah satu bentuk kesuksesan Nabi Muhammad ﷺ selama 23 tahun adalah keberhasilannya dalam kaderisasi.
Para pemuda yang memiliki usia pontensial ini tidak dibiarkan berlalu tanpa arti. Mereka dibidik, dikembangkan, bahkan dibuatkan media untuk pengambangan diri. Sosok seperti Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Amru bin ‘Ash, Anas bin Malik adalah contoh konkret bagaimana regenerasi dai tetap berjalan.
Tidak berlebihan jika beliau pernah mengatakan, “Sebaik-baik generasi adalah pada masaku,” (HR. Bukhari) suatu masa gemilang yang kebanyakan diisi oleh pemuda-pemuda cemerlang dan brilian yang berkontribusi besar dalam suksesi dakwah Islam ke seantero alam.
Pada zaman berikutnya, Umar misalnya juga perhatian dalam masalah regenerasi. Bahkan, setiap kali menghadapi urusan yang pelik, beliau sering melibatkan para pemuda. Mustahil pemuda bisa dilibatkan dalam masalah-masalah pelik kenegaraan kalau mereka bukan buah dari kaderisasi.
Betapapun pentingnya masalah regenerasi pejuang dakwah, seringkali pejuang dakwah mengalami kekhawatiran tersendiri mengenai penerus perjuangannya. Hal ini pernah dibahas secara gamblang oleh M. Natsir.
Sebagaimana Nabi Zakariya ‘Alaihis salam, kata Buya Natsir, orang-orsng besar biasanya khawatir mengenai penerus atau pengganti perjuangannya. Siapakah yang akan meneruskannya bila meninggal dunia? Akankah perjuangannya berhenti? Kalaupun berjalan, akankah sekaliber dengan dirinya? Dll.
Saat M. Natsir, bertakziah ke Perguruan Diniah Putri Padang Panjang (pada 8 Maret 1968) atas wafatnya Ibu Rahmah El Junusiah (26/2/1969), beliau menyampaikan angin segar mengenai kemungkinan bertumbuhnya generasi penerus perjuangan.
“Kalau Dia (Allah) merelai satu amal perbuatan dari pada ummat jang ditjintai-Nja, Allah swt. itu mempunjai kekajaan jang tak terbatas pula. Bagi-Nja tidaklah susah untuk menggantikan dahan jang sudah lapuk dengan tunas jang muda. Begitu Djuga di ‘alam manusia ini. Patah tumbuh hilang berganti.” (M. Natsir, Patah Tumbuh Hilang Berganti, 1969). Intinya, kalau perjuangan itu diridhai Allah, maka Allah pasti akan menyiapkan pengganti.
Kapan regenerasi atau penerus perjuangan putus di tengah jalan? Meminjam bahasa Natsir patahnya tak bertumbu dan hilangnya tak berganti? Beliau menjawab, “Apabila Allah mentjabut ni’matnja dari pada djama’ah itu sendiri. Pabilakah Allah swt. Rela untuk menjabut ni’mat jang telah dikurniakan-Nja kepada suatu ummat atau djama’ah? Al-Qur`an menerangkan, Allah swt. tidak akan mentjabut satu ni’matpun dari satu kaum, ketjuali kalau kaum itu sudah merobah diri, sifatnja.” Ini bisa dilihat dalam surah al-Anfal ayat 53.
Artinya, sifat yang baik dari pejuangan dakwah jika dirubah, maka membuat amal baik yang dirintisnya akan terbengkalai. Bisa jadi, banyak lembaga-lembagai dakwah yang tidak teregenerasi dengan baik perjuangan dan amal usahanya lantaran di samping tidak memiliki generasi juga kalaupun punya tidak menjalankan semangat dan sifat perjuangan yang dirintisnya selama ini. Makanya, penyiapan kader dakwah atau regenerasi pejuanga dakwah sangat penting untuk dibentuk.
Kita merindukan sosok Hamka, Natsir, Prawoto dan lain-lain yang merupakan hasil dari regenerasi tokoh muslim kawakan Indonesia laksana Tjokro Aminoto, H. Agus Salim dan lain-lain. Semoga Allah menganugerahkannya kepada kita semua. Bukan menunggu tentunya, kita terus berusaha saja memantaskan diri sekaliber perjuangan mereka dan menyiapkan regenerasi yang baik.
Mungkin sosok sekaliber mereka mustahil muncul kembali, namun dengan pengkaderan dan regenerasi yang matang, secara kolektif atau berjamaah, peran-peran mereka bisa diteruskan kembali sehingga dakwah tetap berjalan hingga akhir zaman.*/Mahmud Budi Setiawan