Oleh: Muhamad Ridwan
Hidayatullah.com | KISAH para nabi serta awliyā’ yang disampaikan oleh orang Muslim lewat lisan dari mimbar ke mimbar, melalui pena maupun seni peran, mengandung peristiwa perjalanan hidup yang penuh dengan onak duri. Namun bukanlah drama tragedi yang menggambarkan ratapan kehidupan duniawi yang penuh lara dan nestapa. Jati diri, hikmah serta teladan, itulah buah yang bisa kita petik dari kisah-kisah mereka.
Selintas momen duka memang kadang mewarnai—itu manusiawi—dan musibah terberat memang ditimpakan kepada para nabi serta orang-orang shalih, tetapi mereka memandangnya sebagai ujian dan kebaikan dari Allah Swt. Maka, meski diterpa oleh berbagai cobaan yang bukan main hebatnya, mereka tetaplah orang-orang yang paling berbahagia di muka bumi. Di antara semua manusia yang ada, Sayyiduna Muhammad ﷺ orang yang paling berbahagia. Allah Swt. berfirman:
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ لَهُمُ الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۗ لَا تَبْدِيْلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۗ.
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (Surat Yunus 62-64).
Justru, yang tragis itu adalah orang-orang yang menentang serta tak mengikuti seruan kebenaran dari para nabi. Kaum Nabi Nuh As musnah tenggelam dalam banjir bandang, kaum Nabi Hud As. (Bangsa ‘Ad) habis disapu oleh angin dahsyat disertai gemuruh yang menggelegar, kaum Nabi Saleh As. (Bangsa Tsamud) hancur oleh suara yang keras, kaum Nabi Luth As pun binasa oleh suara yang sangat keras, ditambah dengan hujan batu sijjil dan dibenamkan ke dalam tanah, kaum Nabi Syu’aib As (Bangsa Madyan) diadzab dengan panas terik yang membakar kulit dan gempa.
Sementara penentang Nabi Musa As, yaitu Fir’aun berserta para pengikutnya mati ditelan oleh laut merah, hingga mereka yang memusuhi Rasulullah Muhammad ﷺ akhirnya ditimpa oleh pahitnya menelan kehinaan.
Ketetapan itu tak lekang hingga kini. Orang-orang yang menentang serta jauh dari Tuhan dan risalah kenabian akan selalu mengalami nasib yang tragis. Bentuknya tak hanya berupa adzab yang pedih. Bisa bermacam-macam.
Hidup, bagi mereka demikian getir nan kejam, hampa dan penuh dengan kesengsaraan sekalipun diliputi oleh harta kekayaan, kekuasaan, penghormatan orang, popularitas dan sebagainya. Kalaulah orang pasti bahagia dengan meraih semua hasrat duniawi itu, tentunya kita tak akan menyaksikan kenyataan tentang banyaknya pesohor atau penduduk dari suatu negeri yang “maju” nan sejahtera yang menjadi pecandu narkoba dan miras atau bahkan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Fenomena tersebut cukup sebagai pertanda bahwa mereka berusaha melarikan diri dari keresahan dan kepahitan hidupnya.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Surat Thaha 20: 124).
Bukan Barat
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan dalam karya monumentalnya, Islam and Secularism, bahwa tragedi itu pun menimpa bangsa Barat yang diibaratkannya bagai Sisyphus-nya Albert Camus. Mereka senantiasa meragukan kebenaran hingga tak kunjung menemukannya. Tuhan pun disingkirkan dari alam dan berbagai aspek kehidupan lalu beranggapan bahwa mereka dapat berdikari dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lantaran itulah, menurut Syed al-Attas, drama dan tragedi bahkan menjadi inti, ruh, watak dan kebudayaan mereka yang hidupnya berontak kepada Tuhan seperti Prometheus itu. Maka, kisah-kisah drama mengenaskan pun mereka guratkan sejak lampau dalam sastra heroik mitologi Yunani hingga masa kini yang mungkin jelmaannya agak berubah menjadi berupa lakon-lakon superhero (?).
Cerita pahit pun kerap dimainkan dan dituangkan dalam seni musik, opera, teater dan film-film drama. Rating tinggi dan berbagai penghargaan dianugerahkan kepada lantunan syair, lagu serta sandiwara-sandiwara sedih yang menyayat hati itu. Para biduan, sutradara serta aktornya pun diangkat ke tempat yang paling luhur.
Memang, dalam karya-karya tersebut kadang terkandung pelajaran atau falsafah hidup yang dapat kita serap. Namun, secara umum yang ditonjolkan adalah tragedi atau kesengsaraan.
Lagipula, nilai-nilai yang mereka laungkan itu sebagian besar hanya moral berdasarkan kesepakatan sosial belaka dan berlandaskan worldview atau pandangan hidup mereka yang belum tentu bersesuaian dengan worldview Islam.
Syed al-Attas mengungkapkan juga dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin dan Prolegomena to the Metaphysics of Islam bahwa melalui karya seni drama kelam yang mewakili nasib dan perasaan bangsa Barat itu, mereka jadi merasa tak sendirian dalam mengarungi lautan penderitaan dan dalam merasakan ketakutan karena terombang-ambing di kegelapan tanpa kepastian. Hati mereka pun jadi sedikit terobati daripada ketakutan dan kemalangan nasib dirinya itu walau hanya sejumput waktu.
Meski ada di antara mereka yang menyangka bahwa kehidupannya di dunia ini menyenangkan, Syed al-Attas menjelaskan bahwa itu karena mereka tak sadar akan keadaan dirinya yang sesungguhnya merana sebab jiwanya telah sesat dan mereka menyia-nyiakan hidupnya. Namun, orang-orang itu akan tersadar dan menyesal kelak saat tiba di akhirat: yaum al- ḥasrah (hari penyesalan ketika semua perkara telah diputus, sedang mereka lalai dan tidak beriman. Lihat Surat Maryam 19: 39).
Sedangkan dalam tradisi Islam, kehidupan tak dipandang seperti demikian sehingga budaya yang mengangkat tragedi tidaklah begitu berkembang. Sebagaimana telah disebutkan di muka, para nabi dan orang shalih yang mewakili visi Islam itu memandang dengan penuh keyakinan bahwa kesulitan yang mereka alami adalah merupakan ujian dari Allah Swt yang pada hakikatnya baik bagi diri mereka apabila disikapi dengan benar.
Kisah-kisahnya yang kemudian diriwayatkan dan dikemas dalam bentuk sastra syair, sirah, hikayat dan lainnya itu adalah merupakan salah satu instrumen yang mengungkapkan bagaimana cara yang tepat dalam menghadapi ujian tersebut.
Syaikh Muhammad al-Khudari Bek dalam kitab Nūr al-Yaqīn-nya mengatakan bahwa dalam kisah-kisah orang terdahulu, terutama sejarah Nabi ﷺ adalah merupakan pelajaran yang paling baik dan guru yang paling berharga. Kita dapat menjadikannya petunjuk hidup, misalnya dalam menghadapi perlakuan yang menyakitkan, belajar untuk bersabar dengan teguh, bahkan juga dalam hal kepemimpinan dan kebijaksanaan.
Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pun menuturkan dalam Fiqh al-Sīrah bahwa riwayat kehidupan Nabi adalah suatu contoh paling baik serta pegangan yang ada di tangan kita dalam menjalani segala urusan hidup. Ia juga merupakan kunci untuk memahami makna al-Qur’an serta agar dapat merasakan ruhnya. Di dalamnya pun terkandung ilmu keimanan, hukum hakam serta akhlak.
Oleh karena itu, melalui karya-karya dalam peradaban Islam tersebut, kita pun diajak untuk bertalian dengan Islam, memetik ibrah dan teladan baik dari para tokoh yang berperan di dalamnya yang senantiasa taat dan menularkan kecintaan, keyakinan dan kedekatan kepada Allah Swt. serta senantiasa mengingatkan diri kita pada-Nya.
Berarti, mempelajarinya adalah termasuk ibadah dzikir yang dapat membuat hati kita tenang, apalagi bila ia termuat dalam al-Qur’an. Inilah obat hati yang tepat bagi kita yang khasiatnya tidak bersifat temporer. Allah Swt. berfirman.
.الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
“Orang-orang yang beriman, keadaan hati mereka menjadi tenang dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Surat Al-Ra’d: 28).
Jadi, apabila mengikuti jejak para nabi dan waliyullah yang yakin, beriman, bertakwa dan senantiasa berdzikir kepada Allah, hidup kita semestinya jauh dari drama dan tragedi. Sebaliknya, apabila kita mengikuti jejak Barat dan mengadopsi worldview serta prinsip-prinsip yang mereka anut seperti humanisme, sekularisme dan lainnya, maka kita pun akan terperosok ke dalam lembah tragedi yang sama dengan mereka.
Iman dan keyakinan adalah kepastian yang membawa kepada ketenangan abadi. Ia abadi karena diperoleh dari “keyakinan” yang sifatnya abadi. Kata Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya Risālah al-Mu’āwanah, “yakin” itu adalah kekuatan iman yang permanen, menetap, tak goyah oleh keraguan maupun kesesatan yang tersamar, kokoh ibarat gunung yang menjulang tinggi. Dan tidaklah ketenangan hadir kecuali memijarkan kebahagiaan di hati. Berlawanan dengan keraguan yang membawa kepada kegelisahan dan terkait erat dengan kesengsaraan atau tragedi. Ia juga berbeda dengan kebahagiaan fisik atau panca indera yang sifatnya sementara.
Maka, tak seperti masyarakat Barat yang tertimpa tragedi terombang-ambing dalam keraguan juga terasing dalam kesendirian yang memilukan akibat “menyingkirkan” Tuhan dan agama jauh-jauh dari tiap sendi kehidupan, bagi umat Muslim yang punya iman serta ketakwaan kepada Allah Sang Tempat Bergantung dan Memohon, apatah yang mesti diresahkan dalam hidup ini?. Musibah tak membuatnya goyah. Yang ditakutkannya adalah bila jauh dan terhalang dari-Nya ataupun bila mendurhakai-Nya.*
Alumnus Ma’had al-Imarat dan STAIPI Bandung. Pengurus Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung. Instagram: @muhamad.rdwn