Hidayatullah.com–Dengan segala kesempurnaan potensi dan karunia yang diberikan, manusia tetap saja tertatih bahkan terjatuh dalam menunaikan segala perintah dan menjauhi semua larangan yang digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt).
Untuk itu mau tidak mau manusia butuh bertaubat kepada Allah. Memohon ampun kepada Allah atas kekurangan tersebut.
Menurut Abdurrahman Nashir as-Sa’di, penulis Tafsir as-Sa’di, inilah korelasi kuat mengapa taubat itu dikaitkan dengan keberuntungan hidup seorang Muslim.
Sebab tak ada jalan lain untuk menguatkan keimanan kecuali dengan memperbanyak sandaran kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Yaitu meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh Allah Subhanahu Wata’ala menuju hal-hal yang dicintai-Nya, baik secara zhahir atau batin. Sedang ketika iman seorang Muslim menguat maka bayangan keberuntungan hidup itu menjadi sebuah keniscayaan baginya.
Senada, Ibn Katsir menegaskan, tak ada keberuntungan dan kesuksesan hidup kecuali dengan menaati perintah AllahTa’ala dan Rasul-Nya dalam segala aspek kehidupan.
Hal ini berlaku bagi seluruh orang beriman, sebab dalam ayat di atas Allah memanggil mereka semua dengan lafadz “ayyuha al-mukminun”.
Bagi seorang Muslim, inilah pembeda yang paling utama ketika menyebut makna kebaikan dan keberkahan hidup.
Ketika orang itu berusaha untuk menjalankan agamanya maka apapun kondisi hidup yang dijalaninya, tetap saja hatinya merasa lapang.
Ibarat seekor ikan di dalam sebuah kolam air, jiwanya puas dan tenang menjalani kehidupan.
Lain halnya dengan kehidupan Barat yang mengukur segala kesuksesan hidup hanya dengan bingkai materi dan paradigma kebendaan. Akibatnya orang itu tak pernah merasa tenang dan bahagia.
Alih-alih fikiran dan hati tenang ketika mendapatkan sesuatu, setiap hari pikirannya justru kian digerogoti oleh nafsu serakah mengejar semua bayang-bayang kesenangan duniawi yang tak kunjung habis.
Akibatnya, ketenangan hidupnya berubah menjadi gersang sebab semua yang dirasakan adalah kebahagiaan palsu alias semu.
Taubat yang tulus
Masih menurut as-Sa’di, Allah Ta’ala juga mengisyaratkan jenis taubat yang dikehendaki-Nya. Yaitu taubat yang tulus dan murni hanya kepada Allah (ilallahi). Bukan yang dipenuhi oleh interest duniawi, seperti riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar) misalnya.
Sebab semua itu bisa merusak daripada niat bertaubat dan istighfar, memohon ampunan hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala (taubat nasuha).
Lebih jauh, mufassir Mushtafa Ahmad al-Margahi menerangkan beberapa syarat diterimanya taubat seorang hamba.
Pertama, memutus diri dari perbuatan dosa yang dilakukan. Taat kepada syariat adalah kebahagiaan hidup dan dosa serta maksiat adalah pangkal kesengsaraan. Inilah harga orang-orang beriman.
Untuk itu tak ada jalan lain kecuali ia harus menutup rapat-rapat pintu kemaksiatan yang pernah ia perbuat. Sebab sekali kemaksiatan itu berulang, maka setitik noda pula akan melekat dan mengotori jiwanya.
Kedua, menyesali atas dosa yang telah berlalu. Sesal kemudian tiada berguna. Ungkapan tersebut biasa terdengar dan tidak salah. Namun sepertinya kalimat itu tak selamanya juga benar.
Sebab penyesalan adalah bagian tak terpisahkan dari permohonan ampun kepada Allah. Ia adalah syarat untuk taubat yang dijanjikan bisa terampuni oleh Allah.
Tentu saja, sesal yang dimaksud di sini adalah pengakuan jujur atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan. Ia menyebutnya bukan karena rasa bangga tapi sebagai ungkapan ketidakberdayaan di hadapan Allah Yang Mahakuasa.
Ketiga, bermujahadah agar tidak mengulangi kemaksiatan yang serupa. Bagi hamba yang hendak bertaubat, pengakuan serta penyesalan tak cukup tanpa disertai bukti yang nyata.
Olehnya ia dituntut all out secara maksimal membuktikan hal itu. Salah satunya dengan memutus semua rantai yang menghubungkan dirinya dengan masa kelam tersebut.
Orang-orang shaleh terdahulu memberikan teladan dalam hal di atas. Di antaranya dengan berhijrah secara fisik. Meninggalkan lingkungan yang buruk menuju tempat yang lebih baik dan kondusif dalam merawat keimanan dan menjauhi kemaksiatan.
Termasuk di dalamnya, dengan selektif memilih sahabat dalam pergaulan sehari-hari. Sebab umum diketahui, faktor teman dan lingkungan berpengaruh terhadap kondisi keimanan dan akhlak seseorang.
Jika tiga syarat di atas sekait dengan perbuatan dosa kepada Allah, maka syarat keempat ini berhubungan dengan praktik muamalah dengan sesama manusia. Yaitu mengembalikan hak orang lain yang pernah dizhalimi.
Berbeda dengan hubungan kepada Sang Pencipta, urusan dengan makhluk tak cukup hanya dengan meminta maaf kepadanya lalu urusan dianggap beres tak berbekas.
Hal ini terutama jika ada harta atau materi yang pernah terambil secara zhalim, maka sepatutnya selain bertaubat kepada Allah, meminta maaf kepada yang bersangkutan, juga mengembalikan harta tersebut atau dengan nilai yang sepadan.
Apa yang pernah menjadi kebiasaan Nabi Muhammad Shallalallahu alaihi wasallam (Saw) kiranya layak menjadi renungan bagi setiap manusia. Abdullah ibn Umar menceritakan, aku mendengar Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari hingga seratus kali.” (Riwayat al-Bukhari).
Allah berfirman:
وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
“… Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]: 31).*/Masykur Abu Jaulah