SETIAP manusia yang melakukan suatu perbuatan mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukan dan diusahakan. Apapun pekerjaan itu, selalu ada harapan yang menyertainya.
Begitu pula pada orang-orang bekerja. Bermacam-macam alasan atau tujuan yang dipunyai. Ada orang bekerja karena ingin dihargai orang lain, merasa bermanfaat bagi sesama, ingin mendapat posisi tertinggi dalam karir, ada pula yang bekerja dan beramal karena panggilan hidup.
Alasan paling mendasar adalah untuk mencari nafkah, menutupi kebutuhan hidup. Semua tujuan itu, dengan satu alasan ingin mendapatkan sebuah kebahagiaan.
Amal tapi Sholeh
Agama Islam mengajarkan tidak semua amalan harus berbalas materi. Karena materi bagian terkecil dari unsur yang ikut membahagiaan manusia.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٩٧) فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (٩٨)
“Barangsiapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Surat an-Nahl [16]: 97-102].
Pengertian hayatan thayyiban (kehidupan yang lebih baik) حَيَاةً طَيِّبَةً tidak selalu identik dengan materi.
“Beriman dan beramal shalih” merupakan salah satu frase yang sering digunakan al-Qur’an secara bersamaan. Konsep “iman” bersamaan dengan konsep “amal shaleh” disebut sebanyak 71 dalam al-Qur’an.
Dr. Quraisy Shihab dalam bukunya Wawasan al-Quran menyebutkan, amal shaleh berasal dari dua kata, amal dan shaleh. Menurut Quraish, kata shaleh diambil dari akar kata shaluha yang merupakan lawan dari fasid (rusak).
Dengan demikian, shaleh diartikan dengan tiada atau terhentinya kerusakan. Shaleh juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Sedang amal shaleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan tidak menyebabkan dan mengakibatkan mudharat (kerusakan) atau bila pekerjaan itu dilakukan akan diperoleh manfaat dan kesesuaian (h. 562).
Untuk itu pengertian amal shaleh bisa disimpulkan sebagai amal perbuatan yang terkait dengan syariat dan diniatkan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ini sesuai dengan hadits Nabi:
لاَ يُقْبَلُ إِيْمَانُ بِلاَ عَمَلٍ وَلاَ عَمَلٌ بِلاَ إِيْمَانٍ (الطبراني)
“Tidak diterima iman tanpa amal dan tidak diterima amal tanpa iman.” (Riwayat at-Thabrani).
Beberapa dalil secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan manusia yang kelihatannya baik tetapi hanya sia-sia dan tidak berguna di akhirat, jika tidak disertai dengan iman.
Amal perbuatan baik yang tidak disertai dengan iman digambarkan oleh Allah seperti debu-debu yang beterbangan yang tidak ada manfaatnya.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Surah al-Kahfi [18]: 103-104).
مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَّ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلاَلُ الْبَعِيدُ
”Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Surah Ibrahim [14]: 18)
Bisa dipahami betapa manusia itu hina dan merugi ketika yang ia lakukan susah payah itu ternyata bernilai hampa. Ia kosong tak bermakna.
Perbuatan yang diharapkan menguntungkan malah menjadi sebab kerugian dan kecelakaan.
Inilah petaka terbesar manusia yang berbuat tanpa dipondasi dengan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maksud hati berbuat baik apa daya ia dianggap sia-sia. Ia yang diniatkan menyenangkan hati justru menjadi tabungan kesengsaraan kian menggunung di hari Kiamat kelak.
Layaknya butiran debu yang beterbangan, perbuatan orang tersebut musnah tak bersisa. Demikian tegas Allah bagi orang-orang yang tidak mengimani al-Qur’an.
Orang-orang seperti itu adalah korban tipuan diri mereka sendiri. Menganggap menunaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, namun rupanya ia tertipu oleh ilusi anggapan kebaikan itu.
Segala potensi telah dikerahkan dan dikorbankan dalam pekerjaannya. Bahkan asanya sudah melambung untuk berbuat baik dan bersedekah manfaat.
Namun Allah Mahaadil dan Mahakuasa untuk menyatakan hal itu tak berguna. Sebabnya –sekali lagi- di sana tak ada iman sebagai sumbu yang melahirkan kebaikan dan kemanfaatan bagi kehidupan manusia.
Kebaikan itu Ada Syaratnya
Berilmu sebelum berbuat (al-ilmu qabla al-qauli wa al-amali) adalah panduan dasar yang telah digariskan oleh agama. Tentunya ilmu yang dimaksud di sini bukan sekedar banyaknya pengetahuan dan luasnya wawasan yang dimiliki.
Ilmu bagi orang beriman adalah ilmu yang melahirkan pengakuan kepada Allah serta terdorong untuk beramal shaleh.
Trilogi (ilmu, amal, iman) yang saling berintegrasi inilah yang menjadi dasar kebahagiaan setiap manusia.
Meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah (shahih al-aqidah), menumbuhkan budaya ilmu secara terus menerus (faqih fi ad-din), dan mengasah setiap perbuatan menjadi amalan yang terbaik (ahsanu amalan).
Ayat di atas mengajarkan dasar keselamatan yang menjadi pegangan orang beriman. Bahwa amal shaleh tak cukup dengan niatan yang baik saja. Ia juga tak bisa bersandar kepada naluri atau perasaan semata.
Amal shaleh berbeda dengan ajaran humanisme sekular yang sekedar mematok kebaikan dengan berbuat baik di dunia.
Sering kita dengar slogan ‘lebih baik kafir asal tidak korupsi’, misalnya. Atau ungkapan lainnya seperti “biar melacur asal suka menolong tetangga”.
Ini jelas konsep keliru dan menyesatkan. Sebab Allah tidak pernah menerima amal tanpa diiringi iman dan sesuai syariat Islam.
Terakhir, secara terang Allah juga membantah orang-orang yang menuhankan logika manusia. Menganggap kebenaran hanya diukur dengan ukuran logis dan empiris.
Berbeda dengan Barat, Islam justru menempatkan wahyu al-Qur’an sebagai sumber ilmu yang tertinggi. Sebab apalah arti suatu perbuatan jika ternyata melenceng dari ajaran agama.
Sebagaimana pekerjaan itu menjadi nirpahala ketika tak dibangun dengan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an dan sunnah.*/Masykur Abu Jaulah