Hidayatullah.com | NYAWA adalah kehidupan bagi makhluk Tuhan, yang pemilik hakikinya adalah Allah SWT. Manusia hanya diberikan “pinjaman” untuk beberapa saat, sampai Sang Empunya menariknya kembali.
Peristiwa ini disebut dengan kematian (wafat). Secara hakiki, hidup adalah hak yang inheren pada setiap manusia. Hak ini melekat dalam statusnya sebagai ciptaan Allah. Tidak ada hak sesama makhluk untuk memberi atau menariknya, tanpa legitimasi Sang Pemiliknya.
Makanya, dalam Al-Quran dikatakan, jika Sang Empunya ingin menarik kembali nyawa makhluk-Nya, tidak ada yang bisa mempercepat atau memperlambatnya walau sesaat. Nyawa adalah hak asasi manusia.
Dalam agama, diantara hak yang harus dijamin adalah hak hidup. Pemerintah harus hadir menjamin bahwa nyawa manusia terlindungi dari berbagai ancaman.
Demikian pula dalam agama, seperti Islam, tegas dinyatakan bahwa “membunuh seorang manusia tanpa sebab yang dibenarkan oleh syari’ah, diibaratkan sama dengan memusnahkan semua kehidupan. Demikian pula sebaliknya, menyelamatkan 1 nyawa, sama dengan menyelamatkan semua kehidupan.” (QS: Al Ma’idah:32 ).
Demikian tinggi penghormatan Islam kepada kehidupan. Bahkan dalam hadits nabi, dinyatakan lebih eksplisit lagi, “yang (berniat) membunuh dan dibunuh, keduanya di Neraka”. Karena ada keinginan atau kehendak sadar untuk menghabiskan nyawa orang lain, tinggal persoalan kesempatan.
Oleh karenanya, membunuh yang tidak mendapatkan legitimasi syari’at dimasukkan ke dalam salah satu dosa besar. Penulis meyakini agama lain juga mengajarkan hal yang sama. Dalam film The Schindler’s list, besutan sutradara terkenal Steven Spielberg tahun 1993.
Film ini diangkat dari novel Thomas Keneally yang berjudul Schindler’s Ark, diterbitkan di Amerika Serikat. Diceritakan seorang pengusaha panci pengikut Nazi Hitler.
Karena dorongan rasa kemanusiaannya, ia menggunakan uang yang ia miliki untuk membebaskan orang-orang Yahudi dari kamp konsentrasi. Ringkas cerita, orang-orang Yahudi ini kemudian selamat.
Seorang rahib Yahudi menghadiahkan Tuan Schindler sebuah cincin, yang di dalamnya bertuliskan firman dari Taurat, “Who saves one life, saves the world entire” (Siapa yang menyelamatkan satu nyawa, berarti menyelamatkan semua kehidupan). Pesan humanis nyaris sama dengan diajarkan dalam Al-Quran.
Oleh karenanya kita menjadi sangat heran, jika ada orang yang dengan mudah memandang rendah nyawa manusia. Termasuk dengan mengatas-namakan Tuhan. Memang ada pengecualian, baik dalam konteks agama dan hukum positif, seperti dalam status hukuman mati maupun dalam peperangan.
Namun ada kriteria yang sangat ketat baik dalam ketetapan hukuman dan kriteria qital dan harb (peperangan). Hukuman mati hanya boleh karena alasan yang dibenarkan syar’i, seperti dijelaskan dalam QS: al An’am ayat 151. Bahkan dalam konteks qisas dalam ajaran Islam, qisas pembunuhan sekalipun, ternyata masih terbuka alternatif pilihan sanksi yang lebih ringan, seperti pemberian maaf dan bayar tebusan. (QS: Al-Baqarah:178).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ Arab-Latin
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS: Al Baqarah :178).
Pertanyaan berikutnya, apa yang menyebabkan manusia cenderung mudah memandang rendah harga nyawa manusia? Tentu akan banyak alternatif jawaban atas pertanyaan yang sangat fundamental ini.
Penulis mencoba memotret pertanyaan ini dalam persfektif banalitas Hannah Arendt, ketika ia menyimpulkan pandangannya dalam kasus Eichmann. (Bukunya Eichmann in Jerusalem a report on the banality of evil, terbit tahun 1963). Seorang perwira Nazi yang disidangkan di Israel. Hannah sampai kepada kesimpulan mengapa orang menjadi banal (menganggap biasa kejahatan), termasuk membunuh.
Setidaknya kesimpulanya 2 hal, yaitu karena manusia cenderung tidak menggunakan pikirannya. Manusia lebih memilih taat kepada sebuah perintah, atas nama loyalitas dan kesetiaan, tanpa mau memikirkan kembali apa yang diperintahkan dan apa yang harus dilakukan.
Perilaku ini terjadi pada Eichmann yang kebetulan saat peristiwa Hollocaust menjadi perwira yang mengirim orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi. Faktor kedua adalah, minimnya rasa emphati atas penderitaan orang lain.
Sekiranya Eichmann beremphati atau berupaya menyelami penderitaan mereka yang ia kirim ke kamp pembantaian itu, tentu sedikit banyak akan timbul rasa iba. Tapi karena ketidak mampuan atau ketidak mauan untuk beremphati terhadap penderitaan orang, sehingga ia merasa biasa dengan kekerasan.
Apa yang dikemukakan oleh Hannah Arendt, kiranya dapat menjelaskan berbagai fenomena yang jamak terjadi akhir-akhir ini. Dimana banalitas menjadi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Tentu ada banyak variabel lain yang juga dapat menjelaskan, betapa manusia menjadi banal terhadap harga nyawa antar sesama.
Pada akhirnya kita harus kembali menegaskan, bahwa agama dan negara harus hadir, tampil kemuka, untuk menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan nyawa manusia, dari segala bentuk ancaman. Kejahatan terhadap manusia, terlebih lagi penghilangan nyawa tanpa dasar yang dibenarkan oleh agama dan hukum positif (hukum negara) adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra ordinary crime againt humanity). Semua pihak harus menaruh perhatian pada persoalan ini. */ Eka Hendry, Ar. penulis, Direktur Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) IAIN Pontianak