Hidayatullah.com–Saat itu, tahun 1888, Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, berkeinginan menikah lagi. Calon yang dipilih gadis bernama Muhammadi Begum, anak dari Al-Mirza Ahmad Bek, yang merupakan putra dari bibinya. Namun tidak seperti selayaknya laki-laki yang hendak meminang, Mirza mendatangi keluarga si gadis dengan menebar ancaman sekaligus janji. Jika pihak keluarga si gadis menerima pinangannya, maka hal itu akan memberikan keberkahan yang besar, namun jika ditolak maka sesuatu yang buruk akan terjadi kepada si gadis. Jika dinikahkan dengan pemuda lain, maka suaminya itu akan mati setelah dua setengah tahun.
Mirza juga mengatakan, ”Allah telah memberi kabar kepadaku, ‘gadis Al-Mirza Ahmad Bek yang paling besar (Muhammadi Begum) akan menjadi istrimu dan keluarganya akan memusuhimu. Dan mereka melarangmu dan berupaya keras untuk menggagalkan hal itu (pernikahan). Akan tetapi Allah akan mewujudkan janjinya dan memberikan kepadamu baik dalam keadaan gadis maupun janda dan hilanglah penghalang dan hal ini terwujud. Tidak ada yang bisa menolak terhadap apa-apa yang ditetapkan Allah.”
Walau Mirza berkali-kali menyatakan bahwa semua itu bersumber dari wahyu, pihak perempuan tetap pada pendiriannya, tidak mau menikahkan si gadis dengan Mirza. Malahan gadis itu dinikahkan dengan seorang pemuda lain bernama Al-Mirza Sulthan Muhammad pada tanggal 7 April 1892.
Istri anaknya Mirza, Fadhlu Ahmad, juga tidak setuju akan hal itu, hingga Mirza memerintahkan anaknya agar mencerai istrinya. Para pengikut Ahmadiyah akhirnya berdoa di masjid-masjid agar ancaman yang ditebarkan Mirza sebagai wahyu dan janji Allah itu benar-benar terjadi. Namun, apa yang terjadi?
Ternyata setelah keduanya menikah, tidak terjadi apa-apa terhadap wanita tersebut. Dan setelah waktu berlalu dua setengah tahun, suami gadis itu, Al-Mirza Sulthan Muhammad, juga baik-baik saja. Bahkan, Mirza meninggal terlebih dahulu pada tahun 1908, sedangkan Sulthan Muhammad masih hidup bersama istrinya hingga perang dunia pertama.
Sebelumnya, Mirza pertama kali menikah tahun 1852 atau 1853. Dari pernikahan ini, ia memperoleh dua anak. Kemudian pada tahun 1884 ia menikah lagi di Delhi. Namun, pada tahun 1891 terjadi perceraian, antara Mirza dengan istri pertamanya. Istri kedua ini oleh para pengikut Ahmadiyah disebut dengan penggilan “ummul mukminin”. (Sirah Al-Mahdi, 1/53)
Tak Shalatkan Anak karena Menolak Bergabung
Putra sulung Mirza dari istri pertama yang bernama Fadhlu Ahmad enggan mengikuti seruan ayahnya itu. Hingga ketika meninggal ia pun tidak dishalati oleh Mirza, walau dalam urusan duniawi ia taat kepadanya. (lihat, Anwar Khilafat, hal. 91)
Gaya Hidup Mewah Keluarga Mirza
Mengenai gaya hidup keluarga Mirza, Khawajah Kamaluddin pernah mengeluh baik kepada Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore maupun Syaikh Surur Syah yang juga pengikut Ahmadiyah. Anak-anak perempuan dan istri Syaikh Surur Syah mulai menentang pengiriman uang ke Qadian, setelah mereka pergi ke tempat itu dan tinggal sesaat. Anak-anak dan istrinya mengatakan, ”Kami telah menyaksikan kehidupan nabi, para sahabatnya dan istri-istrinya di Qadian. Sesungguhnya mereka hidup dalam kenikmatan.” Mereka merasa ditipu, dan setelah itu mereka tidak mau menyumbangkan uang ke tempat itu lagi. (lihat, Kasyfu Al-Ikhtilaf, hal. 13)
Khawajah Kamaluddin juga pernah mengatakan kepada Muhammad Ali, ”Sesungguhnya Hadzrat Mirza telah memerintahkan kita berinfaq untuk dakwah, sedangkan ia sendiri hidup dalam kebanggaan dan kenikmatan.”
Muhammad Ali menjawab, ”Sesungguhnya saya tidak bisa memungkiri hal ini, namun kita tidak diharuskan untuk mengikuti nabi dalam sifat manusiawinya.” (Haqiqah Al- Ikhtilaf, hal. 50)
Sebenarnya, pada awalnya, Mirza hanya seorang pegawai rendahan, namun lama-kelamaan taraf hidupnya mulai meningkat. Hingga ia terbiasa dengan makanan yang bergizi dan minyak misk. Terkadang juga ia mengonsumsi minuman penguat yang memabukan alias tonic wine. (Majmu’ Ar Rasail, hal. 5)
Di masa remajanya, Mirza pernah memiliki masalah dengan psikisnya, karena menderita hysteria. Ketika penyakit ini kambuh ia bisa pingsan dan menjerit-jerit. (Sirah Al-Mahdi, 1/67)
Keluarganya termasuk pihak yang amat loyal terhadap pemerintahan Inggris. Bahkan ayahnyalah yang membantu Inggris dengan 50 ekor kuda untuk kepentingan revolusi tahun 1807. (Kitab Al-Bariyah, hal. 3-5)
Meninggal Pasca Mubahalah
Pada tahun 1907, setelah memiliki banyak pengikut, Mirza mengadakan mubahalah dengan Maulana Tsanaullah Amritsari, dengan risiko barang siapa berbohong salah satu di antara keduanya, maka ia akan mati. (Tabligh Ar Risalan, 10/120)
Pada Mei tahun 1908 Mirza terjangkiti penyakit kolera parah dan akhirnya meninggal. Ia dimakamkan di pemakaman yang ia namakan sebagai pemakaman surga (Bahesti) di Qadian. Sedangkan Maulana Tsanaullah Amritsari sendiri baru wafat pada tahun 1948.*