Oleh: Alwi Alatas
BANYAK orang yang suka melakukan perjalanan.Mereka mengunjungi tempat-tempat yang menarik untuk tujuan wisata, untuk menambah pengetahuan, untuk berpetualang, atau untuk beribadah.Terlebih pada masa sekarang ini ketika alat transportasi semakin banyak dan semakin murah, sehingga semakin banyak pula yang melakukan perjalanan.Namun sayangnya, tak banyak yang mau bersusah payah membuat sebuah jurnal perjalanan, jurnal yang menuangkan pengalaman dan pengamatan mereka selama melakukan perjalanan tersebut.Padahal jurnal atau catatan semacam itu mungkin bisa menjadi rujukan sejarahpada suatu masa nanti.
Pada masa-masa terdahulu, kita menemukan adanya orang-orang yang melakukan perjalanan (rihlah) dan mencatat berbagai hal yang dialaminya dalam sebuah jurnal.Beberapa dari jurnal perjalanan ini memberi manfaat bagi para sejarawan di masa-masa berikutnya. Karena di dalamnya mereka menemukan banyak informasi yang berguna, baik informasi yang tidak dijumpai pada sumber-sumber lainnya, maupun informasi yang mengonfirmasi ataupun mengkritisi fakta yang diberikan oleh sumber sejarah lain.
Di antara jurnal perjalanan yang cukup dikenal luas dan banyak dirujuk oleh para sejarawan Muslim abad pertengahan, bahkan hingga sekarang ini, adalah catatan perjalanan Ibnu Jubair (w. 1217). Catatan perjalanan ini dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair.
Sebenarnya tempat yang dikunjungi oleh Ibn Jubair bukanlah sesuatu yang sangat unik jika dibandingkan dengan perjalanan Ibn Fadlan ke Kazan, Tatarstan, di tepian Sungai Volga (kini wilayah Rusia)sekitar dua abad sebelumnya atau perjalanan Ibn Battutah (w. 1368) hingga ke China lebih dari satu abad setelahnya.
Ibn Jubair hanya melakukan perjalanan haji ke Baitullah melalui Mesir. Kemudian setelah haji ia mengunjungi Mesopotamia dan Suriah, sebelum kembali ke negerinya di Andalusia. Tapi sesuatu yang kelihatannya biasa pun bisa menjadi istimewa, tergantung bagaimana seseorang melihat dan menggambarkannya.
Pada masa itu sebenarnya ada banyak orang yang melakukan perjalanan haji atau mengunjungi tempat-tempat yang didatangi oleh Ibn Jubair.Namun catatan perjalanan yang dibuat oleh Ibn Jubair sangat bermanfaat karena ia mencatat berbagai hal yang dilihat dan didengarnya secara detail dan informatif, tanpa mengecilkan atau melebih-lebihkan. Maka catatan perjalanan itu pun menjadi sebuah sumber yang berharga hingga sekarang ini.
Ibn Jubair berasal dari kota Valencia di Andalusia. Menurut Nafis Ahmad dalam bukunya Muslim Contribution to Geography, Ibn Jubair adalah seorang penyair yang cukup masyhur di negerinya. Tetapi belakangan ia dikenal sangat luas karena jurnal perjalanannya saat melakukan ibadah haji yang kemudian ia bukukan itu.
Ibn Jubair melakukan perjalanan sejak awal tahun 1183 hingga tahun 1185 (578-581 H).Waktu yang dilaluinya itu bertepatan dengan masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi serta masa-masa menjelang perang Salib III.Hal ini membuat catatan perjalanan Ibn Jubair menjadi sangat menarik bagi para peneliti Perang Salib.
Dalam masa dua tahun perjalanannya, ia mengunjungi beberapa kota di Andalusia, mengarungi Laut Mediterrania, melintasi Mesir mulai dari Aleksandria hingga Aydzab, lalu menyeberangi Laut Merah dan menuju Makkah. Ia menetap agak lama di Makkah, karena tujuan utama perjalanannya adalah untuk melaksanakan haji di kota itu. Setelah itu ia mengunjungi Madinah, lalu meneruskan perjalanan ke Utara hingga menyeberangi sungai Eufrat, mengunjungi Baghdad, Tikrit, Mosul, dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Selanjutnya ia masuk ke wilayah Suriah, yaitu Aleppo, Hamah, Homs, hingga ke Damaskus. Akhirnya ia meninggalkan Suriah melalui pelabuhan Acre, menyeberangi Laut Mediterrania, mampir di Sisilia, sebelum pulang ke Andalusia.
Melalui catatan perjalanan Ibn Jubair ini kita mendapatkan banyak informasi yang berharga, seperti sistem imigrasi bagi para pelancong pada masa itu yang kadang kurang adil dan kurang ramah terhadap para pelancong, walaupun sama-sama Muslim. Di Aleksandria, barang-barang para pelancong diperiksa dan dilemparkan dalam satu tumpukan sehingga sulit dicari kembali dan banyak yang hilang.
“Tak ada keraguan bahwa hal ini tersembunyi dari sang Sultan yang agung yang dikenal sebagai Shalahuddin,” tulis Ibn Jubair saat menceritakan kejadian itu. “Jika ia mendengarnya, berdasarkan apa yang telah diketahui berkenaan dengan keadilan dan kecenderungannya pada kesolehan, ia tentu akan mengakhirinya.”
Shalahuddin memang lebih banyak berada di luar Mesir selama masa kepemimpinannya, sehingga banyak hal yang terpaksa ia percayakan pada orang-orang di bawahnya. Bagaimanapun, Ibn Jubair menyatakan bahwa selain apa yang telah disebutkannya itu, tidak ada hal buruk lainnyayang terjadi di wilayahpemerintahan Shalahuddin – kalaupun ada, tidak signifikan untuk disebutkan. Sebaliknya, Ia menceritakan banyaknya keutamaan Shalahuddin serta wakaf-wakafdan dana bantuan yang disediakan olehnya untuk keperluan masjid, madrasah, rumah-rumah penginapan serta bantuan makanan bagi para pelancong (Ibnu Sabil). /bersambung ke halaman berikutnya