Bisnis Hari Kasih Sayang
Apapun hal yang sebenarnya melatarbelakangi Valentine’s Day, ia kini telah berkembang menjadi sesuatu yang populer. Kebiasaan mengirimkan kartu ucapan mungkin baru muncul secara terbatas setelah abad ke-14 atau ke-15. Namun seiring dengan makin populernya Valentine’s Day, kartu ucapan Hari Kasih Sayang mulai diproduksi secara besar-besaran pada pertengahan abad ke-19. Sejak saat itu, Valentine’s Day menjadi sebuah bisnis yang sangat menguntungkan. Sebagaimana dikutipoleh Wikipedia dari Asosiasi Kartu Ucapan di Amerika Serikat, jumlah kartu Valentine yang beredar setiap tahunnya bisa mencapai 1 miliar kartu, hanya di Amerika Serikat saja!
Sebagaimana umum diketahui, sekarang ini ada banyak hal lainnya yang diperdagangkan pada saat Valentine’s Day: coklat, bunga, dan banyak barang lainnya yang bisa diberi warna merah jambu atau dikaitkan dengan cinta. Valentine’s Day pada hari ini merupakan sesuatu yang memiliki nilai bisnis tinggi, yang berjalan beriringan dengan menguatnya budaya konsumerisme masyarakat.
Lee Williams dalam sebuah tulisannya tentang Valentine’s Day di independent.co.uk tahun 2013 lalu menulis:
On Valentine’s Day millions of people will buy cards and flowers for their loved one – some with more serious intent than others. All of us who do, however, will be feeding the giant corporate monster that has somehow emerged from the saint’s day of a Christian martyr who wasn’t associated with romantic love in his time ….
Ya, secara sadar atau tidak, orang-orang yang membeli produk-produk Valentine’s Day telah ikut memperkaya korporasi-korporasi kapitalis. Dan sementara perusahaan-perusahaan itu mendapatkan keuntungan besar setiap tahunnya, banyak orang yang tidak mendapatkan manfaat apa pun dari aktifitas ini selain meningkatnya syahwat pada diri mereka. 14 Februari seperti memberi sebuah legitimasi bagi orang-orang untuk berhubungan lebih bebas dengan pasangan-pasangan mereka, atas nama ‘cinta’. Pada hari itu mereka berpesta, berdansa, minum-minuman keras, dan bersenang-senang. Mereka jatuh dalam tragedi kemaksiatan dan banyak dari mereka yang tenggelam dalam dosa, termasuk dosa besar.
Kesedihan terbesar kita adalah saat menyaksikan bahwa masih ada anak-anak muda Muslim yang ikut merayakan Valentine’s Day. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Valentine’s Day sekarang ini merupakan bagian dari budaya kapitalistik yang permisif (serba boleh). Budaya ini bersumber dari tradisi Kristen, bahkan mungkin juga dari tradisi pagan. Tidak ada satu pun dari semua itu yang memiliki kaitan dengan Islam. Lantas dari jalan mana kaum Muslimin hendak ikut-ikutan mengucapkan selamat dan merayakan Valentine’s Day?
Ingatlah kembali kisah keluarga Indian suku Innu di awal tulisan ini. Rumah dan anak-anak yang berada di dalamnya habis terbakar saat orangtuanya pergi merayakan Valentine’s Day, perayaan yang sama sekali bukan bagian dari tradisi mereka. Jika kaum Muslimin pada hari ini ikut-ikutan mengamalkan tradisi yang ganjil ini, maka sebenarnya mereka pun sedang ‘membakar rumah dan anak-anak’ mereka sendiri. Mereka ‘membakar’ rumah Islam merekasertamenghancurkansecara perlahan generasi penerus mereka. Semoga kita dijauhkan dari hal semacam ini.*/Kuala Lumpur, 14 Rabiul Akhir 1435/ 14 Februari 2014
Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis hidayatullah.com