MEMINJAM istilah Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dipenjara bukanlah akhir segalanya. Bagi beliau, penjara justru laksana kebun yang membuat diri lebih dekat dengan dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Sama sekali tak takut mati, karena jika mati pun akan mendapat kemuliaan syahid.
“Sejatinya, orang yang dipenjara,” tutur beliau, “adalah yang dipenjarakan (diisolir) dari Tuhannya, dan orang yang ditawan adalah yang dijadikan tawanan oleh hawa nafsunya sendiri.” (Sayyid Husain Affany, Shalaahul-Ummah fii ‘Uluwwil-Himmah, 346)
Mungkin karena persepsi demikian, penjara sama sekali bukan penghalang beliau untuk selalu berkarya. Magnum opusnya yang berjudul “Majmu’ al-Fatawa” yang berjilid-jilid itu, memang lahir dari rahim penjara.
Dalam negeri ini, ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa para pejuang juga tetap berkarya meski dalam penjara; tetap memiliki buah tangan, meski sedang ditahan; karya tulis tak berhenti, meski sedang dalam terali besi.
Kasman Singodimejo
Tokoh Muslim ini begitu tangguh. Dalam penjara sekalipun, tidak menyurutkan diri untuk berkarya. Mohamad Natsir pernah menunjukkannya. Bahwa Kasman mampu membacakan pembelaan di hadapan hakim selama 12 jam berturut-turut tanpa serak, tanpa minum dan bisa menuangkan renungan dalam kesunyian penjara dalam masa kurang dari 21 hari.
Buku “Renungan dari Tahanan” memang ditulis Kasman dalam penjara rezim Orde Lama. Dalam pengantar buku cetakan ke-4 (1974: 8), beliau menuturkan, “teks renungan ini telah selesai ditulis pada tanggal 3 Desember 196 di tempat tahanan di Puncak, Kabupaten Cinajur, dimana penulis ditahan atas tuduhan bukan-bukan (info palsu) dari B.I.P. (Badan Pusat Intelejen pimpinan Soebandrio dan Kepala Setafnya Brijenpol Soetarto).”
Pada tahun 1964, karya itu bisa dibawa keluar oleh penulis sehingga bisa diterbitkan dalam bentuk stensilan dengan judul “Hayya ‘Alal Falah” (Mari Kita Menang) dalam satu jilid. Tulisan ini berisi latar belakang menulis renungan, perjuangan Islam gaya baru, Pancasila, Manipol-Usdek, Poros Nasakom, perjuangan Islam pasti menang dan susunan kata mengenai Pancasila. Bagi yang ingin menikmati buah karya beliau dalam tahanan, disarankan membaca buku ini (Renungan dari Tahanan).
Buya Hamka
Ulama kenamaan ini sewaktu dipenjara oleh rezim Orde Lama malah bisa menghasilkan karya tulis besar: Tafsir Al-Azhar. Bagi beliau, dipenjara justru ada rasa syukur tersendiri karena bisa mendapat waktu luang untuk merampungkan tulisan. Simak kata beliau dalam pembukaan Tafsir Al-Azhar (1987: 53) ini.
“Tuhan Allah rupanya,” tulis Hamka, “menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan al-Qur`anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati.”
Lihat betapa bagi pejuang, dalam penjara pun masih bisa bersyukur. Tidak pernah ada rasa putus asa, kemudian berhenti berjuang. Malah, dengan begitu mereka memiliki banyak waktu untuk instrospeksi diri dan semakin dekat dengan Ilahi. Bahkan di sela-sela itu, juga disempatkan untuk berkarya.
KH. Isa Anshari
Menurut catatan Dadan Wildan dalam buku “Yang Dai Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis” (1997: 94), selama di penjara Madiun, beliau masih tidak lepas dalam membina kadet meski hanya melalui surat menyurat. Yang tidak kalah penting, di dalam rumah tahanan itu, beliau masih menyempatkan diri untuk menulis naskah untuk disebarkan ke jamaah Persis. Karya itu berjudul “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam”.
Bagi figur seperti beliau, yang tajam lisan dan tulisan, bukan suatu hal aneh jika waktu-waktunya dipergunakan untuk menulis. Apalagi, ketika di luar beliau sudah terbiasa dalam dunia jurnalistik. Mengasuh banyak majalah dan lain sebagainya. Sehingga, malah aneh jika dalam penjara tidak menghasilkan karya apa-apa.
Baca: Pemimpin Bukan Pendendam
H. M. Yunan Nasution
Demikian pula H. M. Nasution. Sewaktu dipenjara bersama KH. Isa Anshari di Madiun, salah satu kegiatan rutin beliau adalah membaca dan menulis. Dalam buku berjudul “Kenang-Kenangan di Belakang Terali Besu di Zaman Orla” (1967) disebutkan bahwa selama ditahan di Madiun, ia telah menyelesaikan lima naskah tulisan. Satu di antaranya sudah terbit dengan judul “Dinamika Hidup” yang diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta.
Lebih detailnya bisa dibaca pada penjelasan beliau berikut ini, “Adapun kesibukan-kesibukan jang boleh dikatakan sudah mendjadi hobby dan kebiasaan buat kami sedjak dari kehidupan diluar ialah membatja buku2. Sebagian besar waktu dalam tahanan kami pergunakan untuk membatja buku2 jang berfaedah. Tiap2 bulan, ketika keluarga datang bezoek, mereka membawa buku2 pada bibliotik masing2. Antara sesama kami dapat pula diadakan tukar-menukar buku untuk dibatja, berpindah dari satu tangan kelain tangan, sehingga mengenai buku2 batjaan itu boleh dikatakan tidak pernah putus atau kekurangan.”
“Sebagian diantara kami,” lanjut Yunan Nasution, “ada pula jang mempunjai kegemaran atau kebiasaan menulis (mengarang). Ini termasuk djuga salah satu kesibukan jang mendatangkan faedah.”
Sebagai penutup, cerita Ibnu Qayyim –dalam kitab al-Waabil al-Shayyib (1999: 48)– saat berkunjung ke penjara Syeikh Ibnu Taimiyah bisa diceritakan di sini. Saat berkunjung ke sana, Ibnu Taimiyah menuturkan bahwa kebun dan surganya terletak di dalam dada. Kemanapun dia pergi, pasti akan bersama dengannya. Dipenjara baginya seperti sedang meditasi, kematian pun kan mendapat syahid, bahkan ketika diusir dari negeri laksana orang yang sedang bertamasya.
Ya. Apa yang dikatakan beliau benar adanya. Bagi para pejuang, dipenjara seakan sedang bertamasya, maka tak heran dalam kondisi seperti itu mereka masih tetap berkarya. Bagaimana dengan kita?* Mahmud Budi Setiawan