DI mata Presiden Pertama Indonesia (Soekarno), Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah figur yang sangat agung. Untuk mengetahui pandangan sang proklamator kemerdekaan ini terhadap sang Nabi, bisa dibaca dalam kumpulan pidato serta karya tulisnya yang menyinggung tentang beliau.
Ketika Ayah Guntur ini membahas tema “Laki-laki dan Perempuan” dalam buku “Sarinah” (1963: 16), ada pernyataan beliau yang menarik mengenai Nabi Muhammad. Berabad-abad lamanya sebelum Maxwell, Pharaday, Nicola Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson, Nabi Muhammad sudah mengemukakan hakikat penting bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan.
“Ilmu jang maha-hebat, jang maha-mengagumkan,” tulis Soekarno, “telah keluar dari Mulutnja Muhammad s.a.w. di tengah-tengah padang pasir , beratus-ratus tahun sebelum di Eropah ada maha-guru maha-guru.” Dari ungkapan tertulis ini, menunjukkan pujian secara jujur bahwa Nabi Muhammad adalah pribadi agung yang ilmunya –melalui al-Qur`an– melampaui tokoh-tokoh besar di Barat yang baru muncul empat belas abad kemudian.
Di samping keagungan ilmu, beliau juga mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang berjiwa besar. Dalam pidatonya yang berjudul “Hakkul jakin bahwa Tuhan ada” (1964: 10), Soekarno menyatakan, “Alangkah djiwa-besar Muhammad.”
Lebih spesifik, dalam buku “Bung Karno dan Islam: kumpulan pidato tentang Islam, 1953-1966” (1990: 147), saat Nabi menangis di depan Ka’bah seraya memohon ampun kepada Allah karena dakwahnya belum bisa diterima secara umum oleh penduduk Makkah, Bung Karno menulis, “Coba, alangkah jiwa besar Muhammad, yang mohon diampuni oleh Tuhan, mohon diberi kekuatan oleh Tuhan.”
Bagi Bung Karno, tangis Nabi di depan Ka’bah merupakan bentuk kebesaran jiwa beliau. Tepat sekali apa yang ditulis oleh beliau. Dalam al-Qur`an, kebesaran jiwa beliau diistilahkan “alam nasyrah laka shadrak” (bukankah Aku [Allah] telah melapangkan dadamu). Kebesaran jiwa ini membuat beliau tidak akan berhenti dalam dakwahnya meski menghadapi banyak cercaan, celaan bahkan siksaan.
Dalam buku yang sama, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai sosok yang hebat (1990: 48), ahli strategi dan taktik (1990: 117), sebagai Nabi dan pemimpin terbaik dibandingkan dengan yang lainnya, laksana mentari yang menjadi sinar bukan hanya untuk bangsanya (1990: 142). Selain itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dipandang Bung Karno sebagai Nabi Pembangunan, sosok pekerja keras, tidak pernah salah dan teladan sempurna.
Apa yang disebutkan tadi, hanya sebagian dari penilaian Bung Karno mengenai Nabi Muhammad. Maka sangat aneh dan disayangkan jika baru-baru ini salah satu putri beliau dikabarkan membandingkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bapaknya sendiri selaku pejuang kemerdekaan Indonesia.
Bayangkan, jika Soekarno yang telah mengakui bahwa Nabi adalah orang hebat, tidak pernah salah, terbaik dibandingkan Nabi dan pemimpin lainnya, kira-kira apa reaksi beliau ketika putrinya membandingkan Nabi dengan beliau? Silakan dijawab oleh masing-masing pembaca.
Lain halnya dengan Guntur, putra pertama Bung Karno yang mengamini bahwa beliau begitu takzim kepada Rasulullah. Dalam bukunya berjudul “Bung Karno & Kesayangannya” (1981: 108), ia mengisahkan bahwa buku “Mentjapai Indonesia Merdeka” sangat dipengaruhi oleh tauladan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kata Guntur, ayahnya pernah bercerita kepada sang ibu bahwa buku itu begitu dipengaruhi oleh teladan Nabi Muhammad saat menjadi pemimpin di tanah Arab. Bahkan pembagian dua periode perjuangan dalam buku “Mentjapai Indonesia Merdeka” berupa : tahap perjuangan nasional kemudian pembangunan masyarakat adil dan makmur, terinspirasi oleh tahapan dakwah Nabi yang dibagi menjadi dua: dakwah Makkah dan dakwah Madinah.
Pembaca bisa menyimak dengan baik ungkapan Bung Karno berikut yang diceritakan Guntur (1981: 108, 109), “Sungguh mati memang luar biasa Nabi besar kita itu! Seribu empat ratus tahun; sekali lagi bayangkanlah seribu empat ratus tahun dus berarti empat belasa abad sebelumnya Karl Marx; Lenin; Karl Kautsky; dan lain-lain, pentolan-pentolannya kaum Revolusioner …. ternyata Nabi besar kita dengan tuntunannya Al-Qur`an….sudah melantunjan teori-teori tahapan dalam perjoangan mencapai satu cita-cita.”
Baca: Al-Qur`an Sebagai Inspirator dan Mata Air Keberanian Bung Karno
Sebagai tambahan, menurut Guntur, ayahnya (Soekarno) bukan saja kagum dan cinta kepada Nabi, tapi beliau juga sangat cinta kepada al-Qur`an. Setiap kali keluar rumah (entah karena urusan pribadi atau tugas kenegaraan), baik sebelum dan sesudah kemerdekaan yang selalu dibawa adalah kitab suci al-Qur`an.
Sekali lagi, itu baru sebagian bukti kecil mengenai pandangan Soekarno tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagi orang yang bijak, akan lekas mengerti bahwa penghormatan beliau kepada Nabi sungguh luar biasa.
Sebagai penutup, pernyataan kagum Bung Karno kepada Nabi Muhammad berikut bisa menjadi refleksi terhadap kasus pembandingan yang masih hangat di jagat media baru-baru ini, “Saya anggap Muhammad itu, baik di dalam badaniahnya maupun di dalam kepemimpinannya, maupun di dalam tindak tanduknya, menonjolkan satu sifat hebat,” (Bung Karno, Islam, Pancasila, NKRI, 2006: 451).* Mahmud Budi Setiawan