Dalam lanskap sejarah Indonesia, Haji Agus Salim dikenal sosok multitalenta, sastrawan pejuang, bahkan memiliki pikiran yang brilian tentang Islam di Indonesia
Hidayatullah.com | HAJI AGUS SALIM (1884-1954) dalam lanskap sejarah Indonesia terhitung sebagai sosok multitalenta, juga dikenal sastrawan pejuang. Ini bisa dilihat dari keragaman kontribusi dan bidang garapan beliau yang sangat luas didukung dengan pikiran yang brilian.
Selain itu, beliau pernah penjadi jurnalis, politisi, diplomat, ulama, filosof, ahli hukum Islam, orator, ahli debat dan masih banyak lagi sematan lainnya. Sisi lain yang jarang diungkap adalah beliau sebagai tokoh Islam yang handal dalam membuat syair dan puisi bahasa lain bisa disebut sebagai sastrawan.
Asvi Marwan Adam dalam buku “H. Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme” (2004: 41) menyebut beliau sebagai manusia komplet. Bukan saja sebagai ulama, penerjemah, wartawan dan diplomat, tapi juga sastrawan.
Masih terkait dengan masalah kepiawaian beliau dalam bidang sastra, dalam buku “Seratus Tahun Haji Agus Salim” (1984: 252-265) dimuat tulisan Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) berjudul “Haji Agus Salim Sebagai Sastrawan dan Ulama”.
Tulisan ini sangat menarik, sebab mengangkat sisi dari Haji Agus Salim yang jarang diperhatikan orang kebanyakan. Secara khusus HAMKA menulis:
“Menjadi seorang sastrawan, atau disebut lebih luas dengan Pujangga, bukanlah tujuan beliau. Sebagai juga Maulana Mohammad Iqbal di Pakistan, beliau ini terkenal sebagai penyair, padahal penyair bukanlah jadi tujuan hidupnya. Penyair bagi beliau ini adalah semata-mata alat untuk menyampaikan apa yang terasa di hatinya.” Bisa diistilahkan : syair sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita.
Jadi keindahan kata-kata yang lahir dari lisan dan tulisan beliau, tujuan utama bukan sastra untuk sastra; seni untuk seni; keindahan untuk keindahan; tapi dijadikan alat untuk mewujudkan cita-cita luhur yang kala itu di antaranya adalah : kemeredakaan.”
Berikut ini beberapa contoh tulisan H. Agus Salim. Pada tahun 1930, H. Agus Salim menulis puisi berjudul “Tanah Air Kita”. Berikut bait-baitnya:
Apa keikatan kita?
Menyebuahkan usaha
Menjadi asas utama
Pada tujuan mulia
Tujuan kita yang sama
Meninggikan derajat Indonesia
Pesan penting dari puisi ini adalah adalah tujuan besar bangsa Indonesia adalah meninggikan derajat Indonesia. Namun, untuk mewujudkannya dibutuhkan kerja sama melalui ikatan tanah air yang dijadikan asas untuk menggapai tujuan luhur itu: meninggika derajat Indonesia.
Penulis dapat data menarik mengenai puisi tersebut dengan isi lebih lengkap dan judul yang asli dimuat dalam koran lawas, yaitu: Koran Mustika No. 5 (8 Mei 1931), rubrik “Serba Serbi” dengan judul dan isi sebagai berikut:
TANAH-AIR ISLAM INDONESIA
Karangan Hadji A. Salim
I
Mana tanah-air kita?
Sumatra-kah atau Djawa
Borneo, Selebes, Sumbawa,
Ambon, Ternate, Papoea?
Tiada begitoe terpetjah:
Indonesia melimpoeti semoeanja!
II
Apa kebangsaa kita,
Melajoe-kah atau Djawa
Berlainan adat dan basa.
Berbeda toetoer dan kata.
Tidak begitu terpisah:
Indonesia satoe nasib dan asalnja!
III
Apa perikatan kita?
Menjeboeahkan oesaha,
Mendjadi asas bersama.
Pada toedjoean moelia:
Islam, agama kita berbahagia!
IV
Mana persatoean kita?
Pakaiankah atau roepa?
Njanjian ataoe soeara?
Tidak itoe teroetama
Toedjoean kita jang sama:
Meninggikan deradjat Indonesia.
Bila menurut catatan Asvi potongan puisi Haji Agus Salim berjudul Tanah Air Kita, maka dalam koran yang diasuh langsung oleh Agus Salim ini diberi judul lengkap “TANAH-AIR ISLAM INDONESIA”. Melalui puisi ini beliau memberi pesan-pesan penting kepada bangsa Indonesia bahwa tanah air kita bukan terutama pada daerah masing-masing tapi semuanya menjadi satu kesatuan yaitu: INDONESIA.
Demikian juga mengenai bangsa. Meski berlainan bahasa, budaya dan lain sebagainya, tapi muaranya tetap satu, yaitu: INDONESIA.
Menariknya, dalam asas usaha untuk mewujudkan itu semua, sebagai muslim maka agama Islam menjadi asasnya. Bahkan disifati dengan kebahagiaan.
Di sini terlihat betapa Islam tidak bertentangan dengan keindonesiaan. Justru untuk mencapai tujuan luhur menjadi Indonesia utuh bisa ditempuh melalui asas Islam. Dan pada tujuan besarnya, semuanya akan bertemu pada cita-cita mulia yaitu : meninggikan derajat INDONESIA.
Dalam buku “Pepatah” karya A. Hassan, ada beberapa kata Indah yang dinukil dari H. Agus Salim. Contohnya sebagai berikut:
Tak dapat kita mengolah keyakinan kita,
Bahwa jika kita anak Indonesia
hendak memuliakan,
memerdekan ibu Indonesia,
Hendaklah ia mengikhlaskan
diri kepada Allah.
Misal lain yang bisa disebutkan pada tulisan ringkas ini:
Jangan kita memuji suatu hari,
sebelum datang maghribnya.
Yang tidak kalah indah juga sebagai berikut:
Kalau engkau tidak takut kepada Tuhan,
dan tidak mau jaga kehormatan,
maka apa yan engekau suka
boleh engkau kerjakan.
Sebagai penutup akan penulis nukilkan karya Agus Salim berjudul “PERSATUAN”. Disusun dengan cukup puitis:
Persatuan
Kaum Muslimin suka berkehendak,
Mencari persatuan.
Tetapi apabila Islam mau diinjak,
Dimana keislaman mau dimuskahkan,
Dimana keimanan mau ditindas,
Kaum Muslimin selalu mengutamakan Allah dari:
persatuan ibu bapak,
persatuan anak dengan istri,
persatua kaum dengan kaum,
persatuan bangsa dengan bangsa,
persatuan badan dengan jiwa.
Pendeknya: Mengutamakan agama Allah,
dari apa saja,
yang dapat difikirkan,
oleh manusia.
Inilah beberapa contoh yang menunjukkan sisi kesastrawanan H. Agus Salim. Yang menjadi catatan menarik, sebagaimana tulisan Buya HAMKA, bagi Agus Salim, seni bukan untuk sekadar seni, sastra bukan berhenti pada sastra, tetapi sebagai alat untuk perjuangan menggapai cita-cita luhur.*/ Mahmud Budi Setiawan