Oleh: Shalih Hasyim*
KETIKA seorang memproklamirkan dirinya sebagai seorang Muslim, pada saat yang bersamaan ia dituntut sebagai muhajir (berhijrah secara maknawi – spiritual – dan atau makani –teritorial – dari lingkungan social yang gelap menuju cahaya iman – dan mujahid (memperjuangkan kesadaran barunya). Hijrah dan jihad merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Allah SWT akan menurunkan pertolongan-Nya berupa bonus (pahala) berbanding lurus dengan kualitas kelelahan kita (al Ujratu ‘ala qadril masyaqqati). Bahkan, kenikmatan Islam yang kita rasakan hari ini efek dari tetesan darah dan air mata pendahulu kita (salafus shalih).
Jika kita menengok ke belakang, sesungguhnya madrasatul Islam telah meluluskan para pahlawan dalam berbagai aspek kehidupan. Pahlawan ilmu, pahlawan spiritual, pahlawan harta dan pahlawan di medan laga. Mengerahkan pikiran (ijtihad), hati (mujahadah) dan pisik (jihad) untuk mengharumkan nama Allah SWT memiliki nilai yang sama pentingnya dalam timbangan Islam. Bahkan, indicator penting generasi sahabat adalah mereka laksana pendeta di malam hari dan singa di siang hari (rahibun fillail wa farisun finnahar).
Pengorbanan monumental yang diperagakan oleh Ibrahim as dan Ismail as merupakan uswah dan qudwah bagi kita wujud kongkrit kecintaan dan ketaatan sejati dan kesiapan berkorban untuk Allah SWT. Berkorban disini tidak sekedar menyembelih hewan korban, tetapi berkorban dalam arti yang luas.
“Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At Taubah (9) : 24).
Ayat ini mengandung pelajaran yang cukup penting, yaitu menomorsatukan kecintaan kita hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Di saat pengorbanan harta, ilmu, jiwa dan seluruh potensi diminta untuk kepentingan Allah dan Rasul-Nya, maka kita mengedepankan sikap sami’na wa ‘atha’na, tanpa ada rasa keberatan dan pertimbangan. Disinilah kunci pembuka pertolongan, kemenangan, dan kemuliaan citra diri kita.
Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah SWT bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang beriman (Al Munafiqun ( ) : 8).
Islam bukan sekedar rumusan abstrak yang mengendap di otak, tetapi menuntut bukti perjuangan, pengorbanan pemeluknya. Islam bukan sebatas kaya serimonial tetapi miskin aplikasi. Islam adalah gabungan iman dan amal shalih. Iman bagaikan pohon, amal shalih adalah buahnya.
Rekamlah kehidupan perjuangan para nabi dan rasul hingga junjungan kita Rasulullah SAW para sahabat, para syuhada, mujahidin dan shalihin. Tak seorangpun diantara mereka yang sepi dari perjuangan dan pengorbanan, baik dalam bentuk moril maupun material, spiritual dan finansial, jiwa dan harta. Mereka telah menyerahkan secara all out seluruh potensi yang mereka miliki untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin.
Khadijah mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mensupport misi suaminya, Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya untuk Islam, Ali bin Abi Thalib berani mempertaruhkan nyawanya untuk meniduri ranjang Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah. Pada malam harinya dikeluarkan keputusan akan membunuh Nabi SAW oleh para pemuda pilihan dari setiap kabilah.
Imam Malik dipenjara, diikat, dan dicambuk oleh penguasa yang zhalim hingga ruas-ruas tulangnya nyaris putus. Imam Syafii dimasukkan di balik jeruji karena fitnah ulama jahat, bahkan beliau diperintah berjalan kaki diterik padang pasir dua bulan lamanya, dari Yaman ke Baghdad. Imam Nawawi penyusun kitab hadits Arbain dan Riyadhus Shalihin diusir dari tanah kelahirannya Syam, karena berpegang teguh pada aturan Allah dan menentang kebijakan penguasa yang serakah dan represif.
Imam Abu Hanifah tewas karena dipaksa minum racun, setelah sebelumnya dipenjara dalam keadaan dirantai besi yang berat pada lehernya. Imam Ahmad Ibnu Hambal disiksa dan dipenjara bertahun-tahun lamanya karena keteguhan sikapnya dalam mempertahankan aqidah, beliau menolak Al Quran disebut makhluk (ciptaan) karena firman Allah Al Khaliq adalah Allah SWT.
Hasan Al Banna yang membentuk milisi Mujahidin yang memerangi Yahudi dan penjajah Inggris di Mesir, syahid diberondong peluru. Sayid Qutub yang terkenal di Indonesia dengan karya spektakulernya “Tafsir Fi Zhilalil Quran” dan Abdul Aziz Badri yang terkenal karyanya ‘Ulama dan Penguasa’ keduanya syahid di tiang gantungan.
Pahlawan Yang Lahir Dari Rahim Pertiwi
Di Indonesia pula ditulis dalam tinta emas sejarah para pejuang kemerdekaan. Yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan terhadap kezhaliman, membekali dirinya dengan pemahaman agama (tafaqquh fiddin) sebelum terjun bebas dalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kedaulatan negeri. Memulai karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada masa itu Soedirman adalah muballigh masyhur yang mengakar di benak public.
Ia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahanya hanyalah seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan pisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.
Sebagai kader Muhammadiyah, Panglima Besar Jendral Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam halaqah pengajian ‘malam Selasa’ yaitu pengajian yang diadakan di oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah SAW dalam kesederhanaan, sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya dipandang terlalu berlebihan dan ditolaknya secara halus.
Seorang jendral yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wujud nyata pelaksanaan jihad fi sabilillah. Spirit inilah yang diwariskan kepada anak buahnya bahwa mereka yang gugur di medan laga tidaklah mati melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk mensosialisasikan gelora jihad, baik di kalangan internal tentara maupun rakyat secara umum, Jendral Besar ini menyebarkan pamphlet/selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus melawan Belanda dengan mengutip tarjamah hadits Rasulullah SAW.
“Insjaflah ! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnya) beloem pernah toeroet berperang (membela kebenaran dan keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafikan”.
Perang gerilya yang dilakukan, tak lepas dari usaha mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Jendral Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, mempersepsikan desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta Abu Bakar saat akan hijrah ke Madinah.
Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, patut dijadikan pelajaran dan contoh kita semua, sebagai anak bangsa. Perjalanan panjang seorang mujahid dakwah yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat untuk bangsanya yang tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya 38 tahun, Soedirman kembali kepada-Nya pada tanggal 29 Januari 1950, hari Ahad. Bangsa Indonesia mencatat satu lagi pejuang yang lahir dari rahim ummat, untuk ummat dan selalu berjalan seiring dengan kepentingan ummat.
Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah kepada para tentara-Nya yang rela berkorban lahir dan batin demi menegakkan nilai-nilai immaterial. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam perang gerilya, bersama pasukannya saat sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa karena pesawat Belanda telah mengepung dari atas dan tidak ada lagi tempat berlindung. Namun, atas kekuasaan Allah SWT, gumpalan awan menutupi Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-pesawat tempur Belanda, sehingga beliau selamat.
Fenomena nashrullah inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung Tomo. Spirit jihadnya semakin berstamina. Dan secara berkesinambungan ia injeksikan kepada teman-temannya. Terjadilah peristiwa 10 Nopember 1945. Bung Tomo berhasil menggerakkan arek-arek Suroboyo hanya dengan membawa senjata bamboo runcing. Dengan pekikan “Allahu Akbar” beliau berubah menjadi pahlawan yang gagah berani. Maka, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda. Bagi yang dapat menagkapnya atau membunuhnya hidup-hidup akan dijanjikan hadiah besar.
Muhasabah
Demikianlah keteladanan yang dipentaskan oleh wali-wali Allah SWT dalam berjuang dan berkorban. Sangat kontradiktif dengan kondisi kaum Muslimin sekarang. Misalnya, bila memasukkan uang di kotak masjid, tangannya tidak seringan mengeluarkan uang untuk membeli karcis sepak bola. Ke mall, tempat-tempat perbelanjaan dan tempat-tempat rekreasi. Ummat Islam kurang tertarik pergi ke majlis ilmu dan majlis shalat jamaah, tetapi semangat pergi ke matahari shopping center. Hadiah-hadiah untuk berbagai hiburan, konser musik mencapai ratusan juta rupiah, sedangkan dana untuk para pengungsi dan relawan, guru ngaji, muballigh, berjumlah sangat minim.
Sekedar mengorbankan sedikit saja dari apa yang kita anggap milik kita, rasanya berat untuk Allah SWT semata. Kita perlu berbagai kiat dan rekayasa dalam memotivasi diri kita hanya untuk sekedar merelakan sebagian kecil ‘milik’ kita. Untuk berkorban kita terlalu mempertimbangkannya dari berbagai sudut, terutama dari sisi ekonomi, dari aspek untung-rugi. Seringkali setelah pertimbangan yang njelimet, akhirnya tidak jadi berkorban. Kalaupun terpaksa berkorban, kita memasang harapan pahala yang berlipat-ganda.
Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di jalan Allah SWT secara all out ?. Jika sudah, berapa bagian harta yang telah kita nafkahkan di jalan-Nya, dibandingkan yang kita keluarkan untuk anggaran BBM dan belanja rokok setiap harinya ?. Berapa banyak waktu, tenaga, pikiran yang telah kita habiskan di jalan Allah dibandingkan dengan yang telah kita habiskan di jalan syetan dan hawa nafsu demi untuk memenuhi syahwat perut dan syahwat farji ?. Sudahkah kita membalas kebaikan Allah SWT yang tidak terhitung dengan balasan yang setimpal ? Nikmat Allah SWT mana lagi yang engkau dustakan ?
Karenanya, Hassan al Banna pernah mengatakan, “Jadilah engkau mangga, ketika engkau melempar, ia menjatuhkan dirinya kepada yang melempar.”
*)Penulis adalah kolumnis hidayatullah, kini tinggal di Kudus, Jawa Tengah