YANG dapat menepis rasa takut dari hati seorang hamba ialah perasaan aman, teperdaya, lalai terhadap keagungan hak-hak Allah Azza wa Jalla, tidak tahu dengan kewajiban untuk menaati-Nya, bangga dengan secuil ibadah yang dilakukan, dan menganggap banyak amal yang sejatinya sedikit.
Diriwayatkan Mas’ud berkata, “Kehancuran ada pada dua hal; putus harapan dan bangga diri.” Jadi, orang yang bangga diri, pasti lupa terhadap dosanya yang besar, dan hatinya pun pasti merasa aman dan teperdaya. Tanda seseorang merasa aman adalah hatinya keras membatu, sehingga bersikap dingin terhadap ancaman Tuhan. Singkatnya, kebekuan hati melahirkan rasa aman dari siksaan-Nya.
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Al-Baqarah: 74).
Menurut salah satu tafsir, batu dipilih sebagai ilustrasi karena bisa pecah, terbelah, dan hancur karena takut kepada-Nya. Sedangkan orang yang hatinya keras karena merasa aman dari siksa Allah, hatinya lebih keras dari batu. Tidak pecah dan tidak takut pada ancaman Allah. Gemar melakukan sesuatu yang dimurkai Tuhan, dan suka menyia-nyiakan sesuatu yang dicintai-Nya.
Adapun tanda orang yang teperdaya ialah bermimpi memperoleh ampunan. Jiwanya merasa tenteram, berbaik sangka dan berharap kepada Allah, tapi ia tetap menyukai perbuatan maksiat. Ini adalah cermin orang yang teperdaya, bukan orang yang berharap. Sebab orang yang meletakkan harapan bukan pada tempatnya adalah orang teperdaya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharapkan orang yang bertobat tidak putus asa, tidak durhaka, tahu bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan sadar bahwa Dia berharap manusia tidak berlebihan.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195).
Menurut Al-Barra’, tafsir ayat ini adalah, hamba yang terjerumus ke dalam dosa besar berkata, “Binasalah aku!”, lalu tidak mau mencari nafkah di jalan Allah. Allah kemudian melarangnya putus asa, dan menyuruhnya mendekatkan diri dengan amal saleh.
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal yang saleh.” (Al-Kahfi: 110).
Menurut salah satu tafsir, yang dimaksud dengan “mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” ialah mengharapkan pahala-Nya.
Sikap berharap (raja’) diperintahkan dalam tiga bentuk. Pertama, tidak putus asa setelah melakukan dosa, sehingga bergegas tobat –sebagaimana diharapkan Allah– dengan harapan Dia menerima tobat tersebut. Jika putus asa berhasil disingkirkan, jiwa kita akan mengharapkan ampunan-Nya.
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar,” (Thaha: 82).
Kedua, mengingat dosa-dosa yang lalu, kemudian beramal saleh, dan jangan takut tidak diterima, sebab Allah menyuruh kita tidak berputus asa. Ketiga, sikap berharap dapat membangkitkan keinginan beramal saleh. Bila jiwa merasa berat untuk menjalankan amal saleh, kita beri harapan dengan keagungan pahala dan anugerah melimpah dari Allah Azza wa Jalla, sehingga beramal saleh menjadi ringan. Hanya gambaran akan limpahan anugerah saja yang dapat membuat seseorang merasa ringan melakukan amal saleh.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,” (Al-Baqarah: 218).
Ada yang berkata kepada Hasan Al-Bashri, “Kaum sufi berharap tetapi mereka menyia-nyiakan amal.” Hasan Al-Bashri mengelak, “Percuma! Mereka hanya mengunggulkan angan-angan. Orang yang ingin memperoleh sesuatu, pasti berusaha mendapatkannya. Dan orang yang takut pada sesuatu, pasti lari menjauhinya.”
Pernyataan senada juga ditegaskan Muslim bin Yasar.*/Abu Abdillah Al-Muhasibi, dari bukunya Hidup Tanpa Derita. [Tulisan berikutnya]