Oleh: Shalih Hasyim
Hidayatullah.com | JIKA merujuk ayat pertama pada surat pertama diturunkan – اِقْرَا باسْم رَبّك الذي خَلَق – (Bacalah dengan nama Rabb yang menciptakan). Sesungguhnya memberi pesan penting kepada kita arah pendidikan kenabian adalah mendidik dengan memberi titik tekan pada awal penciptaan makhluk.
Sesungguhnya awal penciptaan manusia adalah dengan ditiupkan pada jasadnya ruh-Nya. Jadi, inti pendidikan kenabian adalah pemberdayaan fitrah.
Pendidikan yang menggali secara berkesinambungan pada kekuatan inti seseorang. Inti kekuatan pendidikan itu berhulu dan berhilir pada kekuatan tauhid dan adab. Sebuah pendidikan yang berorientasi kepada nilai-nilai keimanan kepada kebesaran, keagungan, dan kemuliaan Rabb.
Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan yang terhunjam di dalam lubuk hati yang terdalam bahwa kehidupan dan kematian seseorang berada di dalam genggaman Allah Subhanahu Wata’ala. Sekalipun seluruh anak Adam dari dahulu sampai sekarang berkongsi untuk mendatangkan manfaat kepada seseorang, tidak bisa mewujudkannya tanpa izin dan restu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebaliknya, walaupun seluruh anak Adam sejak awal hingga kini, bersinergi untuk mendatangkan madharat kepada seseorang, tidak kuasa melakukannya tanpa campur tangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Keimanan yang mengantarkan seseorang untuk tenang dalam menghadapi tiga hantu yang ditakuti manusia modern, yaitu ketakutan tidak mendapatkan jatah jodoh, rizki, dan takut kehilangan nyawa satu-satunya. Seorang mukmin meyakini dengan sepenuh jiwa bahwasanya jodoh, rizki, kematian, hanya di tangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Mukmin membenarkan individu, sosial, peradaban, memiliki ajal. Eksistensi makhluk bersifat mumkinul wujud. Karena, memiliki kemungkinan imkaniyyatul ‘adam (kemungkinan tidak ada). Dan tidak adanya sekarang memiliki kemungkinan untuk mewujud (imkaniyyatul wujud).
Sedangkan, eksistensi Allah bersifat wajibul wujud. Karena, tidak menerima imkaniyyatul ‘adam (kemungkinan tidak ada).
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman pada Surat Ali ‘Imran : 185
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Surat Ali ‘Imran : 185).
Demikian pula firman Allah pada Surat Al-A’raf : 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS: Surat Al-A’raf : 34).
Peradaban juga memiliki masa ajal. Dalam Surah Ar rahman ayat 26 disebutkan
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.”
Surah Ar rahman ayat 27
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Seorang Mukmin meyakini bahwa Allah Maha Kuasa untuk menyempitkan dan melapangkan rizki seseorang. Sehingga, ia tetap terkontrol dalam menerima pasang dan surutnya rizki.
Sebagaimana firman-Nya pada Surat Al-Mulk Ayat 21
أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ
“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” (QS: Surat Al-Mulk Ayat 21).
Mukmin meyakini jodoh seseorang adalah kiriman dari Allah Subhanahu Wata’ala.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar Rum (30) : 21).
Pada ayat tersebut Allah Subhanahu Wata’ala menciptakan jodoh dengan menggunakan kalimat kholaqa (hanya Dia yang menciptakannya) tanpa bantuan siapapun, berbeda dengan kalimat ja’ala. Jika seseorang tidak menghargai pasangan hidupanya sama dengan tidak mensyukuri pengirim-Nya. Keimanan mengharuskan adanya perasaan adanya ma’iyyatullah (kebersamaan dengan Allah Subhanahu Wata’ala) dalam menghadapi segala kondisi, sebagaimana ketenangan Nabi Musa ketika dihadapkan situasi terjepit, disusul bala tentara Fir’aun dari belakang, sedangkan di depannya berupa laut merah.
Perhatikan firman Allah pada Surat Asy-Syu’ara’ Ayat 61
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.”
Surat Asy-Syu’ara’ Ayat 62
قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Keimanan itulah yang menjadikan Rasulullah ﷺ merasa tenang hatinya berada di Gua Tsur, sekalipun nyawanya terancam. Sebagaimana diceritakan oleh Allah pada surat At-Taubah Ayat 40
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qur’an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Setiap lintasan perasaan seorang Mukmin meyakini bahwa tiada yang bersembunyi dan disembunyikan dari penglihatan Allah Subhanahu Wata’ala. Baik yang tampak maupun yang tersembunyi di ujung langit dan di ujung bumi. Inilah yang menjadikan seorang Mukmin dalam kehidupannya merasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala (muraqabatullah).
Sebagaimana firman Allah pada surat Al-Mujadilah Ayat 7
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dua modal ma’iyyatullah dan muraqabatullah membuat seorang Mukmin mampu melawan godaan syubhat dan syubhat serta ghoflah (lalai dari misi kehidupan ). Ia sukses ketika diberi amanah, sekalipun tanpa ada pengawasan.
Allah berfirman pada surat Al-An’am Ayat 59
۞ وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”.
Sekalipun ia berada di kawasan terpencil dan terjauh dari keramaian, ia tidak merasa sendiri. Tetapi, benar-benar merasakan kebersamaan dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana ungkapan Imam Syafii berikut :
اذا ما خلوتَ يومًا فلا تقُل # خلوتُ ولكن قُل علَيَّ رقِيبُ
ولا تحسبنّ الله يغفِل ساعةً # ولا انّ ماتُخفَى عليه يغِيبُ
Jika kamu sunyi seorang diri, jangan engkau katakan aku sepi sendiri. Namun, ucapkanlah Malaikat Raqib tetap bersamaku.
Jangan engkau kira Allah lengah, walau sesaat . Apapun yang tersembunyi segalanya tidak ada yang misteri bagi Allah.*