Hidayatullah.com–Jujur saja secara pribadi saya mendukung dan menjagokan tim sepakbola Mesir untuk lolos ke Piala Dunia di Afrika Selatan (Afsel) pada musim panas 2010 mendatang, bukan tim Aljazair. Tentunya dengan berbagai alasan. Ada yang sifatnya pribadi, ada pula melihat dari kekuatan dua tim yang sama-sama Arab itu.
Alasan pribadi karena saya cukup lama tinggal menimba ilmu, bahkan sebagai wartawan di negeri Piramida tersebut. Sekitar tujuh tahun berada di negeri Al-Azhar itu, hampir tidak pernah luput dari menonton siaran langsung dari layar kaca liga setempat, yang termasuk liga terkuat di Afrika bila yang bertanding antara dua kubu utama, yakni klub Al-Ahli dan Zamalek, atau antara keduanya dengan klub lain.
Begitu pula halnya dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang hobi bola, rata-rata ikut warga setempat yang mayoritas mendukung dua klub utama kota Kairo tersebut. Jadi tidak aneh bila kebetulan bertemu dengan warga Mesir, apalagi teman akrab, hampir dipastikan bahwa pertanyaan penting yang keluar dari mulut mereka adalah enta ahlawi au zamalkawi (kamu pendukung klub al-Ahli atau Zamalek)?
Kalau saya pribadi tidak pernah langsung menjawab karena tidak ingin bertengkar sama warga setempat yang rata-rata bolamania. Selalu saya balik bertanya, apakah Anda Ahlawi au Zamalkawi? Bila warga Mesir tersebut misalnya menjawab Ahlawi, saya dengan cekatan menepuk pundaknya atau salaman erat-erat sambil mengatakan wallahi ana zayyak (sungguh saya juga seperti kamu). Begitu pula bila yang bertanya adalah pendukung Zamalek –meskipun saya sejatinya pendukung kuat klub Zamalek.
Bila pertandingan resmi atau persahabatan antara tim Mesir dengan tim asing, sekali-sekali menonton di stadium Kairo yang berkapasitas sekitar 90-100 ribu penonton. Kedua klub tersebut (Al-Ahli dan Zamalek) adalah pemegang rekor terbanyak menjuarai piala liga Afrika, bahkan Al-Ahli oleh FIFA dinobatkan sebagai klub abad 20 untuk Afrika, sebagaimana halnya Real Madrid untuk Eropa.
Selama tujuh tahun hidup bersama warga Mesir dan mengikuti persepakbolaan negeri Lembah Nil itu, barangkali menjadi alasan pribadi mengapa saya menjagokan tim Mesir saat melawan tim Aljazair dalam suatu laga penentuan di Khartoum, Sudan, pada 18 Nopember lalu. Kebetulan dua tim sesama Arab ini satu-satunya yang harus melalui laga penentuan karena memiliki poin dan selisih gol yang sama dari semua grup benua hitam Afrika.
Sedangkan alasan kekuatan, sejatinya tim Mesir yang pemegang rekor juara Afrika (6 kali), kebetulan pada 2006 dan 2008 menjadi juara berturut-turut, lebih diharapkan mampu mengimbangi negara-negara bola yang kuat semacam Brazil, Jerman, Italia, Belanda atau Argentina, ketimbang Aljazair yang belum mencapai perfoma seperti saat menjadi tim terkuat Afrika pada tahun 1980-an. Penampilan tim Mesir yang menawan saat piala konfederasi di Afsel beberapa bulan lalu dengan mengalahkan Italia dan hampir imbang dengan tim Brazil, juga menjadi salah satu faktor dukungan agar tim yang disebut Faroenah ini bisa lolos mewakili Arab di Afsel.
Tapi begitulah yang namanya bola bundar. Meskipun pada laga penentuan tim Mesir bermain lebih bagus, namun toh Aljazair yang meraih tiket ke piala dunia 2010 setelah menang tipis 1-0. Meskipun sempat diwarnai insiden saat partai tandang terakhir di Kairo, di mana Mesir menang 2-0 (saat tanding di Aljier tim Aljazair menang 2-0), saya kira setelah partai penentuan di Sudan berakhir, semuanya berakhir dan diterima secara sportif.
Nyatanya, sangat menyedihkan dan memalukan karena masalah bola ini sempat dipolitisasi terutama dari kalangan media kedua negara, sehingga hubungan bilateral, hingga laporan ini diturunkan, masih tegang. Bahkan Sekjen Liga Arab, Amr Moussa pada 21 Nopember di sela-sela lawatannya ke Eropa, kembali minta kedua negara agar menahan diri dan segera mengakhiri perseteruan gara-gara bola bundar tersebut.
Memang sihir bola bundar itu bisa membuat warga kedua negara, terutama di kalangan rakyat biasa, melupakan permasalahan yang dihadapi, sehingga para petinggi berkepentingan agar negaranya bisa lolos ke Piala Dunia guna mengalihkan perhatian rakyat. Terlepas apapun alasan dari para petinggi kedua negara, sejatinya masalah bola bundar itu tidak sampai ke tahap mengganggu hubungan, apalagi saling panggil dubes masing-masing sebagai pertanda dalam kode etik diplomasi bahwa terjadi ketegangan hubungan secara serius.
Untungnya antara Mesir dan Aljazair tidak terdapat tapal batas darat langsung, sehingga hampir dipastikan tidak berkembang menjadi bentrokan bersenjata, sebagaimana kejadian aneh antara dua negara tetangga di Amerika Tengah, yakni Elsalvador dan Handuras yang terlibat perang 100 hari gara-gara bola tahun 1969 pada babak kualifikasi piala dunia 1970. Pasalnya, apa yang sedang terjadi antara dua negara Arab di ujung utara Benua Afrika itu sudah mengarah kepada bentrokan bersenjata bila keduanya berbatasan langsung.
Tertawaan Israel
Melihat gelagat kedua negara Arab yang bersitegang tersebut, salah seorang tokoh dan pakar Muslim terkemuka Arab, Sheikh Dr. Yusuf Al-Qardawi mengingatkan agar tidak menjadikan bola sebagai patung yang “disembah“ karena seolah-olah menang dalam pertandingan bola bundar tersebut sebagai kemenangan yang menentukan “masa depan“.
Dalam pernyataannya bertajuk “Imbauan buat saudara-saudara di Mesir dan Aljazair“, Ketua Persatuan Ulama Muslim sedunia itu mengingatkan agar kedua negara kembali ke semangat persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan sesama bangsa Arab. “Mana persaudaraan Islam dan persaudaraan Arab, di mana setiap orang mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri, bahkan mengedepankan saudaranya”.
Ulama Arab kharismatik itu mengingatkan juga bahwa sikap kedua negara setelah pertandingan laga penentuan di Khartoum menjadi bahan tertawaan Israel yang dapat dilihat dari pemberitaan media massa negeri Zionis itu. “Bila ketegangan terus dipelihara, bukan Mesir atau Aljazair yang menang, tapi pemenang utamanya adalah Israel,“ tegas Sheikh Al-Qardawi.
Apa yang dinyatakan Sheikh Al-Qardawi menyangkut hubungan bola dengan strategi perluasan pencaplokan dan invasi Israel, bukan mengada-ada. Sebut saja sebagai contoh pada perhelatan dua piala dunia terakhir (2002 dan 2006), di mana negeri Zionis itu dengan lihai dapat memanfaatkan momentum peristiwa olah raga paling populer sejagat itu untuk melaksanakan invasinya ke wilayah Arab.
Pada Piala Dunia 2002 yang berlangsung di Jepang dan Korsel, pasukan Israel melakukan invasi besar ke Gaza (meskipun tidak sebesar serangan yang dilakukan terakhir), di saat hampir sepertiga mata masyarakat internasional sedang tertuju ke Jepang dan Korsel untuk menikmati suguhan langsung lewat layar kaya kejuaran sepak bola sekali empat tahun itu.
Pada Piala Dunia di Jerman pada 2006, pasukan Zionis kembali memanfaatkannya untuk menyerang Libanon dalam perang 33 hari yang menewaskan lebih dari seribu warga sipil Libanon. Namun pada perang 2006 itu, negeri Yahudi itu menghadapi perlawanan Hizbullah yang tidak diduga sebelumnya karena dari pihak Israel sendiri lebih dari 200 orang tewas, termasuk tentara di samping puluhan tank Merkava yang dibanggakan berhasil dihancurluluhkan oleh perlawanan Hizbullah.
Dengan kejadian perseteruan bola antara Aljazair dengan Mesir itu, paling tidak Israel telah dapat melakukan “test case“ secara gratis bahwa bolamania yang menimpa warga Arab dapat dimanfaatkan untuk melanjutkan strateginya, terutama terkait dengan perluasan pencaplokan untuk pemukiman Yahudi di tanah Palestina. Dan tidak menutup kemungkinan saat Piala Dunia berlangsung pertengahan tahun mendatang (2010), Gaza akan menjadi sasaran lagi.
Sedangkan sasaran Libanon kemungkinannya jauh karena masih trauma oleh perlawanan Hizbullah pada 2006 dengan persenjataan yang makin canggih. Apalagi Sekjen Hizbullah, Sheikh Hassan Nasrullah sejak beberapa bulan lalu mengancam bahwa bila Israel menyerang bagian mana pun di Libanon, maka Hizbullah langsung menyerang ibu kota Tel Aviv. Ancaman ini lebih maju ketimbang ancaman sebelumnya yang menyebutkan bahwa bila Israel menyerang Beirut maka Hizbullah menyerang Tel Aviv.
Isyarat Israel akan memanfaatkan perhelatan sepak bola sebagai momentum untuk melaksanakan strateginya, terutama di wilayah pendudukan Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat, makin jelas. Seperti biasa Gaza bakal mendapat kiriman berbagai jenis senjata canggih dan senjata terlarang internasional dengan dalih menghentikan perlawanan pejuang Palestina dan Tepi Barat bakal kebagian penghancuran ratusan rumah warga Arab untuk digantikan oleh rumah-rumah baru warga Yahudi.
Menyangkut Tepi Barat, isyaratnya adalah perubahan mendasar sikap AS yang tadinya mendukung agar perundingan dilanjutkan setelah Israel menghentikan kebijakan perluasan pemukiman (baca pencaplokan), namun Menlu AS, Hillary Clinton saat berkunjung ke Israel awal bulan ini ingkar janji, yang ibaratnya sebagai tamparan buat otoritas Palestina. Pertengahan bulan ini, otoritas kembali mendapat tamparan kedua ketika juru bicara Gedung Putih menolak keinginan Palestina mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak lewat forum PBB.
Kedua tamparan itu sudah cukup kuat sebagai lampu hijau bagi Israel untuk dapat dengan semena-mena menerapkan strateginya. Syukur jatah Arab kali ini di Piala Dunia hanya diwakili satu negara saja (Aljazair). Bayangkan bila jatah Afrika dan Asia diwakili semua oleh negara Arab, dapat dipastikan bahwa sebagian besar publik, bahkan petinggi Arab, akan tertuju perhatiannya ke bola bundar tersebut, yang tentunya dinanti-nantikan negeri Yahudi itu.
Kembali ke isyarat penyerangan atas Gaza dengan memanfaatkan perhelatan Piala Dunia mendatang di Afsel, telah dibuktikan oleh Angkatan Udara negeri Zionis itu saat melakukan serangan di wilayah tengah dan utara Gaza pada 22 Nopember lalu dengan dalih menghancurkan dua pabrik yang diduga sebagai pembuat senjata dan serangan di selatan, dengan target terowongan yang diklaim dimanfaatkan untuk penyelundupan senjata ke Gaza. Serangan itu menewaskan dan melukai sedikitnya tujuh warga sipil Palestina.
Kondisi umat
Sebagian analis Arab menilai bahwa ketegangan akibat sepak bola yang terjadi setelah pertandingan menentukan di Khartoum, menunjukkan kondisi umat (bangsa) Arab sesungguhnya saat ini yang menyedihkan akibat perpecahan yang makin menjadi-jadi. Memang sejak lama Arab tidak akur, namun kejadian tersebut menunjukkan bahwa perpecahan telah mencapai tingkat yang sangat memalukan.
Memang sedikitnya dalam tiga tahun belakangan ini, situasi di beberapa negara Arab makin terpecah dengan bangkitnya keinginan untuk memisahkan diri dari negara induk, yang kesudahannya dipastikan berdampak bagi stabilitas regional Arab. Wilayah Darfur di Sudan misalnya, melalui intervensi Barat, masih bersikeras ingin pisah dari Sudan meskipun pemerintah pusat telah bersedia memberikan konsesi.
Belum lama ini, sekitar pertengahan Agustus lalu, berkecamuk pula perang ke-6 antara milisi al-Houthi dan pasukan pemerintah di Yaman. Pemerintah Yaman menilai milisi tersebut sebagai pemberontak yang ingin merongrong stabilitas dan keutuhan unifikasi sehingga tidak ada jalan lain, kecuali penyelesaian militer, setelah upaya-upaya damai yang ditawarkan pusat selalu mentah.
Namun sangat dikhawatirkan, pemberontakan tersebut berdampak regional, mengingat sejak sekitar dua pekan lalu, pasukan Arab Saudi terlibat karena sebagian milisi al-Houthi diklaim menyeberang ke wilayahnya. Belum lagi Iran yang nampaknya bersimpati kepada kelompok al-Houthi –karena alasan satu mazhab–, tentunya mengkhawatirkan terjadinya perang antar mazhab yang pernah dicoba disulut oleh Israel di Libanon pada perang 2006 namun gagal.
Bentrokan di Darfur dan perang di Yaman, masih belum jelas kapan akan berakhir? Yang makin memperdalam luka perpecahan di kalangan negeri-negeri Muslim di kawasan. Karena itulah, sangat disesalkan bila masalah sepele seperti olah raga sepak bola dapat memperdalam luka tersebut, yang sejatinya siapa saja yang unggul akan mengatasnamakan bangsa Arab.
“Sungguh kita akan menunggu cukup lama untuk menyembuhkan luka perpecahan akibat pertandingan bola di Khartoum tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Arab sedang dalam kondisi menyedihkan,” tulis Zaher Majid, seorang analis dan kolumnis Arab, di harian Al-Watan Oman tentang pertandingan tersebut.
Meskipun demikian, banyak pihak yang yakin bahwa himbauan Sheikh Al-Qardawi dan para ulama lainnya, di samping sejumlah pakar dan pengamat Arab, akan menemukan telinga-telinga yang siap mendengar dari para pemimpin kedua negara agar kelanjutannya tidak makin memperdalam perpecahan. Pasalnya si musuh Zionis tetap berharap agar situasi makin keruh hingga ia makin mantap melanjutkan strateginya. [7 Zulhijjah 1430 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman