Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 26 Desember 2015, di kampus Univesitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, dilangsungkan acara “Launching 5 Buku dan Muhasabah 50 Tahun Adian Husaini.” Acara yang diprakarsai oleh Fakultas Pasca Sarjana UIKA itu dihadiri sekitar 300 peserta. Hadir dalam acara tersebut Dekan Pasca Sarjana UIKA Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Rektor UIKA Dr. Ending Bahrudin, Ketua Yayasan UIKA Didi Hilman, para dosen, undangan, dan peserta dari berbagai daerah.
Alhamdulillah, ibu saya, Hj Tamlikah dan seluruh saudara beserta anak-anaknya, juga hadir. Sejumlah sahabat dari Solo, Semarang, Bandung, dan sebagainya pun menyempatkan hadir. Tentu saja itu sebuah kehormatan bagi saya pribadi. Saya memandang perlu melakukan “muhasabah ilmiah”, sebab saya teringat, dua ulama besar, Imam asy-Syafii dan Imam al-Ghazali meninggal dunia di usia 54 dan 55 tahun. Sejumlah sahabat dan teman kuliah saya di IPB pun telah dipanggil Allah terlebih dahulu. Hingga kini, saya masih diberi waktu, juga kesehatan jiwa dan badan.
Pada 17 Desember 2015, menurut tahun syamsiyah, alhamdulillah, saya memasuki umur 50 tahun. Tentu itu bukan umur yang muda lagi. Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan karunia dan amanah tujuh orang anak. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” begitu perintah Allah Subhanahu Wata’ala sebagaimana tercantum dalam QS at-Tahrim ayat 6. Itu amanah berat. Menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Padahal, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, sorga itu diselimuti hal-hal yang tidak disukai manusia; sedangkan neraka diselimuti hal-hal yang disukai manusia (syahwat).
Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan penjelasan, cara menjaga diri dan keluarga agar tidak terjatuh ke dalam neraka adalah dengan mendidik diri dan keluarga menjadi manusia-manusia beradab dan berilmu. “Addibūhum wa-‘allimūhum,” begitu kata Ali bin Abi Thalib r.a.
Mendidik keluarga menjadi beradab dan berilmu, dalam praktiknya, bukan sederhana dan mudah. Tugas itu memerlukan ilmu dan kemampuan. Menddik tidak sama dengan menyekolahkan. Pendidikan tidak sama dengan sekolah. Bisa jadi, sekolah merupakan bagian dari proses pendidikan. Bisa juga, sekolah justru menjauhkan anak dari proses pendidikan yang sebenarnya, karena salah guru dan salah kurikulum. Mendidik – dalam istilah Prof. Naquib al-Attas — adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri seseorang. “Menanamkan” (to inculcate) bukan sekedar mengajarkan. Menanamkan nilai-nilai kebaikan itu perlu kesungguhan, keikhlasan, dan kemampuan ilmu.
Di sinilah bisa dipahami bahwa pendidikan adalah sebuah usaha lahir batin yang harus dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Usaha ini tidak akan berhasil jika guru dan murid tidak bersungguh-sungguh dan saling ikhlas. Karena itu, proses pendidikan tidak sama dengan proses pembuatan roti. Pendidikan berhadapan dengan manusia yang memiliki jiwa dan aneka problema kehidupan. Penanaman nilai-nilai kebaikan itulah yang disebut sebagai proses ta’dib atau proses penanaman adab dalam diri seseorang. (Lihat, uraian Prof. Naquib al-Attas tentang masalah ini dalam buku Islam and Secularism).
Inilah tanggug jawab orang tua yang sangat berat. Yakni, menanamkan adab dalam diri dan keluarganya. Proses ini akan berhasil jika ada faktor keimanan, keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin aturan. Karena itu, orang tua harus terus mendidik dirinya dengan adab dan ilmu, agar mereka bisa mendidik anaknya dengan baik. Tugas orang tua bukan hanya cari uang untuk memberi makan dan menyekolahkan anak. Sebab, anaknya adalah manusia, yang harus dididik dengan adab, agar menjadi manjadi manusia yang mulia.
Sejauh yang saya jalani dan saya perhatikan, ternyata tidak mudah berlaku adil dan beradab terhadap diri, keluarga, dan juga masyarakat serta bangsa. Tugas-tugas dakwah dan kemasyarakatan yang sangat padat bisa saja suatu ketika berdampak kepada perlakuan tidak adil kepada diri dan keluarga. Kita bukan hanya wajib memperjuangkan tegaknya kebenaran pada tataran sosial-kemasyarakatan, tetapi juga wajib membangun jiwa dan raga sendiri. Jiwa harus semakin bersih dari waktu ke waktu. Proses pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) wajib terus dilakukan, tanpa henti. Sebab, hanya manusia yang mensucikan jiwanya yang akan meraih kemenangan. Celakalah orang-orang yang mengotori jiwanya.
Jiwa yang sehat adalah yang bersih dari kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, riya’, sombong, dengki, cinta dunia, cinta kedudukan, dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Membersikan jiwa dari penyakit-penyakit tersebut bukan perbuatan yag mudah, tetapi perlu perjuangan yang sungguh-sungguh. Inilah yang disebut sebagai “mujahadah ‘alan nafsi”, yang disabdakan oleh Rasulullah saw sebagai satu bentuk jihad fi sabilillah (HR Imam Tirmidzi).
Imam al-Ghazali menjelaskan secara panjang lebar tentang pentingnya pensucian jiwa ini dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin. Seharusnya, setiap kita, setiap manusia, semakin bertambah umur, semakin suci pila jiwa kita dari penyakit-penyakit jiwa tersebut. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang tenang, jiwa yang bahagia, jiwa yang tidak mudah galau dan resah oleh aneka ujian kehidupan. Dengan jiwa yang tenang, maka kita akan meraih hidup bahagia. Saya berharap, untuk saya prbadi, keluarga, dan kita semua, semoga jiwa kita semakin bersih, sejalan dengan bertambahnya umur kita. Amin.
Peluncuran buku
Acara inti pada 26 Desember 2015 di Kampus UIKA Bogor tersebut sebenarnya dalah peluncuran lima buku, yaitu: (1) 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, (2) Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, (3) Kerukunan Beragama, (4) Liberalisasi Islam di Indonesia, (5) 10 Kuliah Agama Islam (di Perguruan Tinggi).
Buku terpenting adalah “Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab” (Insists-Bina Qalam: 2015). Buku ini merupakan hasil penelitian tentang konsep adab dan aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan dan pendidikan di Indonesia. Penelitian itu berlangsung di Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM). Selama penelitian di CASIS-UTM, saya berkesempatan menggali konsep adab yang dirumuskan Prof. Naquib al-Attas dan berdiskusi dengan para dosen di sana, khususnya dengan pendiri CASIS-UTM, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Itu kesempatan yang sangat mahal harganya. Selama itu, saya juga berkesempatan bertemu dengan Prof. al-Attas dan mendengarkan uraian beliau tentang berbagai hal.
Selama “menyepi” di Kuala Lumpur beberapa bulan itu, saya juga sempat menelaah ulang pemikiran para tokoh Islam di Indonesia, seperti pemikiran KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Mohammad Natsir, Hamka, dan sebagainya. Kesempatan seperti ini sangat mahal harganya. Tidak setiap dosen atau aktivis dakwah berkesempatan melakukan penelitian semacam ini.
Akhir tahun 2014, penelitian usai, dan saya mempresentasikan hasil penelitian itu dalam sebuah seminar di CASIS-UTM. Setelah hampir setahun naskah monograf itu “tersimpan”, akhir 2015, saya mendapatkan kesempatan selama satu bulan untuk tinggal di Negara Sudan. Alhamdulillah, naskah tersebut bisa saya kembangkan lagi, sehingga terwujud sebuah buku berjudul “Mewujudkan Indonesia Adil Beradab”.
Buku ini membuktikan bahwa masalah “adab” adalah hal yang sangat mendasar kedudukannya dalam ajaran Islam. Al-Quran, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam, dan kitab-kitab para ulama Islam, begitu banyak menekankan pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Tesis penting telah disampaikan Prof. Naquib al-Attas tahun 1977, bahwa problem yang paling mendasar dari umat Islam saat ini adalah “loss of adab”, hilang adab. Adalah mengagumkan, bahwa tiga istilah kunci dalam konsep adab rumusan Prof. al-Attas, yakni “hikmah, adil, dan adab”, tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam perspektif Islamic Worldview, Pembukaan UUD 1945 tampak sebagai suatu rumusan yang kokoh konsep suatu negara merdeka yang ideal.
Siapa sebenarnya perumus Pembukaan UUD 1945? Rumusan itu adalah produk dari Panitia Sembilan yang dipimpin Soekarno, dan beranggotakan empat tokoh Islam: KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzakkir. Saya belum menemukan data siapa konseptor awal rumusan Pembukaan UUD 1945 tersebut. Saya menduga-duga, bahwa rumusan itu ada pengaruh dari para ulama, khususnya KH Hasyim Asy’ari, ayah dari KH Wahid Hasyim.
KH Hasyim Asy’ari adalah penulis kitab “Adabul Alim wal-Muta’allim”, yang juga berkedudukan sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi ketika itu. Kitab KH Hasyim Asy’ari tersebut memuat rumusan tentang adab yang sangat mendasar dan komprehensif. Dalam kitab ini, kita bisa memahami, bahwa tanpa adab, maka keimanan dan syariat menjadi tidak bernilai.
Perlu dicatat, bahwa baik Soekarno maupun Muhammad Yamin mengajukan salah satu sila dalam rumusan dasar negara sebagai “kemanusiaan dan perikemanusiaan”. Jadi, tambahan kata “yang adil dan beradab” dalam sila kedua, merupakan perubahan konsep kemanusiaan yang sangat mendasar.*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com