Oleh: Muhaimin Iqbal
DALAM mendeteksi kematangan buah, manusia sering kalah dengan codot – maka kita jumpai buah-buah yang matang berjatuhan setelah sebagian dimakannya. Codot diberi Allah mata yang besar untuk bisa melihat dalam kegelapan malam, telinga yang fokus kedepan untuk bisa berfungsi seperti pendeteksi sonar, hidung yang panjang untuk mencium perubahan aroma buah yang matang dari jauh. Maka ketika codot menggunakan seluruh pemberian Allah ini, dia bisa mendahului manusia untuk memperoleh buah-buah terbaik yang matang di pohon. Sesungguhnya kita diberi lebih dari itu, hanya belum dioptimalkan saja penggunaannya.
Selain diberi telinga, mata dan penciuman – manusia diberi akal yang dengannya manusia seharusnya bisa mendengar, melihat dan mencium dan kemudian mencernanya dengan pemberian lain yang tidak diberikan ke codot yaitu dengan akalnya.
Lebih dari itu manusia diberi petunjuk – yang dengannya bahkan dia bisa ‘mendengar’ yang tidak bersuara, ‘melihat’ yang tidak terlihat dan ‘mencium’ yang tidak berbau – artinya manusia tidak hanya bisa mengolah yang bersifat natural atau secara fisik ada, dengan petunjukNya manusia bisa mencerna dan bahkan meyakini yang ghaib sekalipun.
Hanya saja karena kita lalai mensyukuri seluruh pemberian berupa akal dan petunjuk tersebut, kita belum menggunakannya secara optimal. Berapa kalipun kita membaca perintah untuk memperhatikan ketika buah masak di pohonnya, perintah itu kita biarkan berlalu – dan kita memilih untuk mengimpor saja buah dari negeri-negeri lain dengan mahalnya.
Akibat tidak digunakannya petunjuk, manusia yang paling cerdas dan paling maju-pun akalnya menjadi tidak berfungsi secara optimal. Negeri yang sangat maju dalam teknologi penanganan pasca panen buahnya seperti Amerika misalnya, hingga kini mereka masih ‘membuang’ sekitar 25% – 30% buahnya yang tidak dimakan. Separuh makanan ini dibuang di tangan konsumen karena busuk, separuh lagi hilang sejak dari panen sampai distribusi akhirnya – juga mayoritas karena busuk sehingga tidak layak jual.
Di negeri-negeri yang teknologi pasca panennya belum banyak dikembangkan, kehilangan panenan baik di tingkat produsen maupun konsumen tentu jauh lebih tinggi lagi prosentasenya.
Akibatnya sekitar 1 dari setiap 10 penduduk dunia hingga saat ini masih kelaparan, karena produksi makanan yang sebenarnya cukup – belum dikelola secara maksimal. Mengapa ilmu dan teknologi manusia modern-pun belum cukup untuk mengelola karunia Allah seperti buah-buahan tersebut?
Ibarat Anda mengemudi mobil yang paling bagus dan paling cepat jalannya, apa yang terjadi ketika Anda tidak tahu arah kemana yang Anda tuju – maka mobil yang Anda tumpangi tersebut tidak akan membawa Anda sampai ke tujuan.
Demikianlah fungsi petunjuk itu, memberi arah – agar kita bisa selamat sampai tujuan kita. Maka ketika kita disuruh untuk memperhatikan ciptaanNya di langit dan dibumi – antara lain seperti memperhatikan matangnya buah tersebut (QS 6:99) – serta merta setelah itu kita disuruh mensucikan namaNya dan berlindung dari api neraka (QS 3:190-191), karena inilah tujuan akhir kita yaitu selamat dari api neraka dan dimasukkan ke surgaNya.
Mengapa memperhatikan ciptaanNya ini terkait langsung dengan surga dan neraka? Ya seperti contoh di atas – kalau kita bisa menyelamatkan buah dari kebusukan saja – dan juga hasil panenan lain seperti biji-bijian dlsb., insyaAllah kita sudah akan bisa mengatasi seluruhnya atau minimal sebagian kelaparan di muka bumi.
Sedangkan bila kita tidak melakukan apa-apa tentang kelaparan ini – yang per hari ini dugaan saya di Indonesia saja ada sekitar 20 juta-an orang yang lapar karena yang miskin naik dalam 6 bulan terakhir menjadi 28.59 juta – kita sudah dicap sebagai pendusta agama!
Nah sekarang kita bisa lihat, petunjuk yang satu ini (memikirkan ciptaanNya misalnya) saja – bila kita sungguh-sungguh laksanakan – sudah bisa menjadi salah satu jalan untuk melindungi kita dari api neraka.
Masalahnya adalah petunjuk untuk memperhatikan cipataanNya tersebut untuk bisa berefek sampai mencegah atau mengurangi kelaparan – tentu tidak cukup hanya dibaca dan dipahami saja, harus bener-bener diamalkan di lapangan. Itulah sebabnya di rangkian ayat tentang memikirkan ciptaanNya tersebut – juga dijelaskan langsung oleh Allah – bahwa yang dikabulkan doanya adalah do’a orang-orang yang beramal baik laki-laki maupun perempuan (QS 3:195).
Karena petunjuk Al-Qur’an itu juga bersifat detail lengkap dengan penjelasannya, petunjuk untuk memperhatikan kematangan buah-pun sebenarnya dilengkapi dengan berbagai petunjuk atau isyarat detil lainnya. Bila bisa kita tangkap dan jalankan ini semua – maka insyaAllah kita akan bisa mengungguli teknologi pasca panen yang paling unggul sekalipun yang ada di dunia saat ini.
Itulah karakter mukjizat itu, karena Al-Qur’an adalah mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi kita untuk umat akhir jaman ini – maka barang siapa yang bener-bener bisa menggunakannya – maka dialah yang akan mengungguli obsesi apapun yang ada pada jamannya.
Dimana petunjuk atau isyarat tentang teknologi pasca panen buah-buahan dan biji-bijian ini ada di Al-Qur’an? Yang berupa petunjuk jelas antara lain ada di surat Yusuf ayat 47. Yaitu ketika panen biji-bijian kita disuruh mempertahankan di bulir/tangkainya, dengan itu minimal biji-bijian akan tidak menurun kwalitasnya – untuk bisa ditanam kembali – setelah 7 tahun!
Teknologi pembibitan manusia yang paling modern sekarang – seperti ketika kami mengimpor bibit Alfaafa dari Amerika beberapa tahun lalu – karung bibit tersebut diberi peringatan bahwa umur bibit hanya 2 tahun. Artinya kalau kita mengelola biji-bijian seperti di surat Yusuf 47 tersebut saja, ini sudah lebih canggih dari teknologi pengelolaan biji-bijian yang paling modern yang ada sampai saat ini.
Secara ilmiah ini bisa dijelaskan bahwa bibit yang dipertahankan ditangkainya menunda terjadinya abscission – yaitu proses pelemahan/pembusukan melalui jalur makanan yang terjadi ketika buah/biji lepas dari tangkainya.* (Bersambung)
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar