Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
ADAKAH puasa kita membawa kepada taqwa? Ataukah hanya berpindahnya jadwal makan dan minum saja? Adakah puasa kita mengendalikan hasrat kepada dunia, meski kita mampu memenuhinya secara halal? Ataukah sekedar menunda hasrat? Adakah puasa kita menggugurkan dosa-dosa? Ataukah hanya mendatangkan lapar dan dahaga? Tak ada yang bernilai dari puasa kita?
Adakah bau nafas kita seumpama misik terbaik karena puasa sepenuh iman dan ittiba’ kepada Nabi? Atau nilainya lebih busuk daripada bangkai karena hanya menahan diri dari makan minum, tapi tak henti menggunjing kanan kiri?
Mari sejenak kita merenungi hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani:
“رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ”
Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani).
Adakah yang puasanya tak bernilai sama sekali itu kita? Betapa banyak yang merasa bangga dengan puasanya, padahal ia tak menyempurnakannya. Betapa banyak yang merasa telah gugur dosa-dosanya bersebab puasa padahal ia tak meninggalkan perkara yang menjadikan puasanya sia-sia.
Mari sejenak kita renungi sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ”
“Barangsiapa tidak tinggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR Bukhari).
Adakah berbuka puasa menjadi kegembiraan karena telah menunaikan ketaatan berupa perintah puasa di siang hari? Atau kegembiraan untuk pesta?
“كَانَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلّـِيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ”
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam berbuka dengan beberapa ruthab (kurma matang namun masih basah) sebelum melakukan shalat, jika tak ada ruthab maka dengan beberapa tamr (kurma matang kering), jika itu tidak ada maka beliau meminum air beberapa kali tegukan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Daruquthni, Hakim & Baihaqi).
Adakah cara berbuka kita mendekati yang dicontohkan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah justru sangat bertentangan? Adakah buka puasa kita sekedar menguatkan untuk ‘ibadah? Ataukah justru menjadi penghalang kita menyungkurkan kening dengan khusyuk?
Mari sejenak kita bertanya pada diri sendiri.*
Twitter @Kupinang