Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Salim A Fillah
Menurut Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, bersebab kian besarnya kekhawatiran akan bahaya haji, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831 dan 1859 mengeluarkan berbagai Oordonnatie yang ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.
Puncak dari kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap bahaya dari para haji ini tampak dengan dikeluarkannya Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1903 Nomer 26, Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927 Nomor 508, dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Ringkasan dampaknya antara lain adalah:
Tidak boleh lagi orang-orang asing, terutama Arab, berkunjung ke daerah Indonesia karena dianggap melakukan provokasi.
Sultan, kaum priyayi, penguasa daerah, dan abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh Pan-Islamisme.
Membuka Karantina Haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta
Untuk alasan kesehatan memang di sinilah tempat penampungan para haji untuk dipastikan tak membawa penyakit menular. Tapi tercatat pula, di sinilah banyak para haji yang jika pulang dinilai akan menimbulkan masalah bagi pemerintah jajahan hidupnya berakhir.
Mengharuskan yang sudah berhaji untuk selalu mencantumkan gelar hajinya, agar mudah diawasi. Orang yang pergi haji hanya diberi passpor khusus haji, agar tidak bisa pergi ke tempat lain.
Masjid tidak boleh dibangun di tempat-tempat ramai. Kuburan didekatkan ke Masjid dan dihembuskanlah propaganda bahwa kuburan itu angker agar Masjid tak menjadi pusat pergerakan, tempat kaum muda berkumpul membahas nasib bangsa.
Disebabkan aturan inilah seorang putra Wedana di Kleco-Madiun sekaligus cucu Bupati Ponorogo yang bernama Oemar Said meninggalkan jabatannya sebagai ambtenaar dan bersungkal-faham dengan mertuanya. Dia memilih untuk berhaji, dan sepulangnya ke Nusantara membesarkan Sarekat Islam untuk menjadi Ibu bagi semua pergerakan Nasional dan rumahnya pun menjadi tempat tinggal para pemuda yang kelak menjadi para Bapak Bangsa. Namanya terus bergaung, sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Semboyannya yang berbahaya terus berkumandang: semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasat.
Inilah para haji kita, manusia-manusia yang berbahaya bagi segala kezhaliman, kemunkaran, dan kekejian. Kedatangan mereka ke tanah air dinantikan untuk menghabisi penindasan, keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan. Kedatangan mereka ke tanah air harus menjadi tonggak perubahan sosial, perbaikan ekonomi, pembinaan moral, peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta kemakmuran.
Selamat datang kembali di tanah air jama’ah haji Indonesia. Selamat menjadi manusia berbahaya. Selamat berkiprah berdarma bakti untuk ummat dan bangsa. Atau jangan kita bangga menyandang rukun Islam agung itu di depan nama.*
FB: Salim A. Fillah
Twitter: @Saimafillah