Oleh Ustadz Hamim Thohari*
Assalamu’alaikum wr wb
Saya telah berumah tangga hampir sepuluh tahun dan dikaruniai tiga orang anak. Keluarga kami tidak tergolong kaya, tapi tidak juga miskin. Hampir semua kebutuhan hidup saya dipenuhi oleh suami, meskipun sampai saat ini saya tidak pernah tahu berapa penghasilan suami saya yang sebenarnya. Pertanyaan saya, bolehkah suami merahasiakan penghasilannya di hadapan istrinya sendiri?
Atas perhatian dan jawabannya, saya ucapkan terimakasih.
AMZ Sukabumi
Wa’alaikumsalam wr wb
Hidayatullah.com–Semua ulama sepakat, kewajiban suami kepada istrinya adalah memenuhi nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir meliputi sandang, pangan, dan papan sesuai dengan kemampuannya. Allah SWT telah menegaskan tentang kewajiban tersebut sebagaimana Allah SWT firmankan dalam surah al-Baqarah 233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Ath-Thalaq/65:7):
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allâh kepadanya. Allâh tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allâh berikan kepadanya. Allâh kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”.
Memberi nafkah yang cukup kepada istri adalah kewajiban mutlak bagi semua suami. Adapun ukuran kecukupan itu disesuaikan dengan pendapatan suami dan kebutuhan istri. Hendaknya suami tidak terlampau pelit, sedangkan istri tidak terlalu boros. Itulah makna kata ma’ruf (layak dan patut).
Kata ma’ruf atau patut dan layak itu memang relatif, tidak bisa diukur dengan prosentase atau ukuran matematika. Yang terpenting di sini, suami ridha dan istri menerima.
Ketika sang suami telah memenuhi kebutuhan istri secara ma’ruf, maka kewajiban istri adalah taat dan patuh sepenuhnya kepada suami. Ketika suami tidak memberi izin kepada sang istri untuk keluar rumah demi mencari nafkah tambahan, misalnya maka kewajiban istri adalah mematuhi larangan tersebut. Meskipun demikian, musyawarah dalam menyelesaikan segala urusan rumah tangga adalah jalan terbaik. Suami istri tidak bersikap mutlak-mutlakan. Sebagai pemimpin keluarga, suami yang baik adalah yang besikap bijaksana.
Masalahnya sekarang, apakah suami harus menyerahkan semua penghasilannya kepada istrinya dan memberi keleluasaan kepada istri untuk mengelola keuangan tersebut? Kedua, bolehkan seorang suami merahasiakan penghasilannya dan menyimpan sebagian penghasilan untuk memenuhi kebutuhan diri dan anggota keluarganya?
Syariat Islam tidak mengatur masalah tersebut secara detail. Yang penting adalah bil ma’ruf dalam arti pantas dan layak dipandang dari dua sudut secara adil. Suami tidak pelit, sedang sang istri tidak boros. Di sini yang berperan adalah manajemen hati. Artinya, yang menjadi ukuran itu tak semata-mata materi.
Boleh-boleh saja seorang suami yang pegawai negeri, misalnya menyerahkan semua penghasilan bulanannya kepada istrinya secara penuh atas dasar percaya. Demikian juga tidak ada larangan bagi suami untuk tidak menyerahkan semua penghasilannya kepada istrinya dan hanya memberikan sebagian saja dari penghasilannya untuk nafkah istrinya. Sah dan tidak terlarang.
Yang perlu diketahui, seorang suami tidak hanya berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya saja. Disamping istri masih ada pihak lain yang wajib diberi nafkah, yaitu orangtua dan adik kakak yang tidak mampu. Dalam hal ini, suami bisa mendelagasikan tugas kepada istrinya atau bisa juga menjalankan otoritas pembagiannya di tangannya sendiri. Wallahu a’lam.
*Anggota Dewan Pertimbangan Hidayatullah