Rasulullah ﷺ melarang seseorang mengerjakan shalat di tujuh tempat; tempat sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah jalan, kamar mandi, kandang unta dan di atas bangunan Ka’bah
Hidayatullah.com | PARA ulama berbeda pendapat tentang tempat-tempat yang dilarang shalat di dalamnya. Salah satu penyebab perbedaan mereka adalah terdapatnya beberapa hadits terkait yang masih diragukan keshahihannya, sebagian hadits yang lain masih bersifat umum.
Di antara hadits yang menyebut masalah ini adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ : فِي الْمَزْبَلَةِ ، وَالْمَجْزَرَةِ ، وَالْمَقْبَرَةِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ ، وَفِي الْحَمَّامِ ، وَفِي مَعَاطِنِ الْإِبِلِ ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang seseorang mengerjakan shalat di tujuh tempat; tempat sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah jalan, kamar mandi, kandang unta dan di atas bangunan Ka’bah.” (HR. at-Tirmidzi, 346. Ibnu Majah, 746. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Ibnu ‘Umar, sanadnya tidak kuat.’)
Para ulama juga berbeda pendapat tentang alasan dilarangnya shalat di tempat-tempat tersebut.
Berkata al-Mardawai di dalam al-Inshaf, “Larangan shalat di tempat-tempat tersebut alasannya adalah ta’abbud (ketaatan mutlak sebagai bentuk ibadah). Alasan inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama. … Ada yang berpendapat bahwa alasan dilarangnya shalat di tempat tersebut adalah terdapatnya najis.”
Di bawah ini pembahasan secara rinci mengenai tempat-tempat yang dilarang untuk shalat;
1. Tempat Sampah
Alasan utama dilarangnya shalat di tempat sampah adalah terdapatnya najis. Menurut al-Hanafiyah dan al-Malikiyah, boleh melakukan shalat di tempat sampah jika tidak terdapat najis.
Ini berdasarkan keumuman hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu di atas yang menyatakan bahwa seluruh tanah itu suci. Alasan lain, bahwa sampah itu ada dua jenis; sampah yang najis dan sampah yang tidak najis seperti kertas, kardus, dedaunan, dan lainnya.
2. Tempat Penyembelihan
Tempat penyembelihan dilarang untuk shalat di dalamnya, karena diprediksi banyak darah dan kotoran yang najis. Jika tempat tersebut bersih dari dua hal itu maka dibolehkan.
Pertanyaannya: Kenapa pada zaman Rasulullah ﷺ penyembelihan hewan kurban dilakukan di al-mushalla?
Jawabannya:
1.Bahwa yang dimaksud al-mushalla pada zaman itu adalah lapangan yang dipakai untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha, bukan mushalla yang dipahami oleh umat Islam Indonesia.
2.Tujuan menyembelih hewan kurban di lapangan agar lebih leluasa dan umat Islam bisa berkumpul lebih banyak untuk menyaksikan ritual penyembelihan hewan kurban, sekaligus sebagai syiar Islam.
3.Penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah pelaksanaan shalat ‘Idul Adha, sehingga dianggap tempat tersebut masih bersih dan suci.
3. Kuburan
Sebagian ulama juga berbeda pendapat soal ini. Mayoritas ulama al-Hanabilah berpendapat tidak sah shalat di kuburan secara mutlak, baik di kuburan yang dibongkar maupun yang tidak dibongkar, dengan menggunakan sajadah atau tidak, kuburan di rumah maupun kuburan umum. Adh-Dhahiriyah juga berpendapat seperti itu.
Namun Imam asy-Syafi’i membedakan antara kuburan yang sudah dibongkar dan yang belum dibongkar. Beliau mengatakan bahwa jika kuburan tersebut sudah bercampur dengan daging orang mati dan nanahnya, dan apa saja yang keluar darinya, maka tidak boleh shalat di dalamnya karena tempat tersebut dianggap najis.
Akan tetapi jika seseorang shalat di tempat yang suci dari kuburan itu maka dianggap sah.
Adapun ats-Tsauri dan al-Auza’i serta Imam Abu Hanifah berpendapat makruh shalat dalam kuburan.
Sedangkan Imam Malik berpendapat boleh shalat di kuburan, tetapi hadits di atas membantah pendapat ini. (al-Mubarakfury, Tuhfatu al-Ahwadzi, 2/219-220).
Dalam hal ini terdapat pengecualian yaitu bolehnya shalat jenazah di kuburan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
“Bahwa seorang wanita berkulit hitam atau seorang pemuda biasanya menyapu masjid, pernah dicari oleh Rasulullah ﷺ, maka beliau pun menanyakannya. Para sahabat menjawab, “Orang itu telah meninggal.” Beliau bersabda: “Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” Sepertinya mereka menganggap remeh urusan kematiannya. Beliau pun bersabda: “Tunjukkanlah kepadaku di mana letak kuburannya.” Maka para sahabat pun menunjukkan kuburannya, dan akhirnya beliau menshalatkannya. Setelah itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena shalat yang aku kerjakan atas mereka (doaku atas mereka).” (HR. al-Bukhari, 440 dan Muslim, 1588. Ini lafadz Muslim)
Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (2/197);
وَفِي الْحَدِيثِ فَضْلُ تَنْظِيفِ الْمَسْجِدِ ، وَالسُّؤَالِ عَنْ الْخَادِمِ وَالصَّدِيقِ إِذَا غَابَ . وَفِيهِ الْمُكَافَأَةُ بِالدُّعَاءِ وَالتَّرْغِيبُ فِي شُهُودِ جَنَائِزِ أَهْل الْخَيْرِ وَنَدْبُ الصَّلَاة عَلَى الْمَيِّتِ الْحَاضِرِ عِنْدَ قَبْرِهِ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ ، وَالْإِعْلَام بِالْمَوْتِ .
“Hadits di atas menunjukkan;
(1). Keutamaan membersihkan masjid.
(2). Bertanya kepada pembantu atau teman jika terputus beritanya.
(3). Membalas kebaikan dengan mendoakannya.
(4). Anjuran untuk menghadiri jenazah orang baik.
(5). Menshalatkan mayit secara langsung di kuburannya bagi yang tidak sempat menshalatkannya.
(6). Mengumumkan kematian seseorang.”
4. Persimpangan Jalan
Yang dimaksud persimpangan jalan di sini adalah persimpangan jalan yang dilalui banyak manusia, atau jalan raya yang sangat padat lalu lintasnya.
Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah (an-Nawawi, al-Majmu’ 3/162) mengatakan makruh shalat di persimpangan jalan karena hal itu akan mengganggu lalu lintas masyarakat dan menyebabkan tidak khusyu’ dalam shalat.
Bahkan bisa menjadi haram jika menyebabkan madharat yang lebih besar, seperti terjadinya kecelakan lalu lintas yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Adapun jika ada kebutuhan mendesak atau darurat seperti pelaksanaan shalat Jum’at atau shalat ‘Id yang membutuhkan jalan tersebut, maka hal itu dibolehkan. Inilah yang dilakukan umat Islam selama ini di seluruh pelosok dunia.
Begitu juga dibolehkan melakukan shalat di persimpangan jalan yang tidak dilalui oleh manusia atau tidak terpakai, karena tidak mengganggu orang lain dan tidak pula mengganggu kekhusyu’an shalat.
Dalam hal ini, tidak dianjurkan mendirikan masjid di tepi jalan yang berisik, di mana suara kendaraan bermotor dan hiruk pikuk orang di sekitarnya terdengar dari dalam masjid.
Karena suara-suara tersebut akan mengganggu kekhusyu’an shalat, apalagi jika suara imam pelan, dan tidak menggunakan mikrofon.>>> (bersambung artikel KEDUA)