Menurut Imam asy-Syaukani bahwasannya mendengar nyanyian termasuk wilayah khilaf antara para imam ahlul ilmi dan masalah yang semestinya tidak keras dalam mengingkari
Hidayatullah.com | ASSALAMU’ALAIUKUM Warahmatullah Wabarakatuh. Akhir-akhir ini terjadi polemik cukup tajam berkenaan dengan hukum nyanyian. Bagaimana sebenarnya duduk permasalahannya? Apakah memang para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini? Jika memang itu masalah khilaf, bagaimana kita menyikapinya? Jazakumullah atas jawabanya.
Muhammad | Gresik
____
Masalah hukum nyanyian merupakan masalah khilafiyah di kalangan para ulama dan bukan masalah yang disepakati hukumnya. Hingga Imam asy-Syaukani menyanggah siapa saja yang menyatakan bahwa hukum dalam masalah ini merupakan kesepakatan atau ijma, dengan menulis sebuah kitab Ibthal Da`wa al- Ijma` ala Tahrim Muthlaq as- Sama` (Pembatalan Klaim Ijma` atas Pengharaman Mendengar Musik dan Nyanyian secara Mutlak).
Dalam kitab itu Imam asy-Syaukani menyampaikan berbagai pendapat para ulama yang membolehkan maupun yang melarang nyanyian.
Imam Badr ad- Dien al -Jama`ah ketika ditanya mengenai hukum nyanyian beliau menjawab; ”Ini adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendat, red), di mana dalam masalah itu ada perbedaan tajam yang tidak terdapat pada masalah selainnya.
Dan para ulama pun menulis dalam masalah itu banyak karya, dan mereka tidak meninggalkan setiap perkataan bagi siapa yang berpendapat.
Dan ringkasannya, bahwa manusia dalam hal ini terbagi menjadi empat kelompok. Yakni kelompok yang memandang bahwa perkara itu baik, ada pula yang menyatakan mubah, ada yang menyatakan makruh, serta ada yang mengharamkan.” (Ithaf as- Sadah al- Muttaqin, 7/7)
Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan sebelas pendapat mengenai hukum bernyanyi dan mendengarkan nyanyian, yang berasal dari berbagai madzhab. (lihat, Kaff ar-Ri`a` an Muharramat al- Lahwi wa as-Sama`, hal. 53-55)
Dalam satu mazhab saja perbedaan pendapat mengenai ghina` (nyanyian) terjadi banyak perbedaan, demikian pendapat masing-masing madzhab. Tentu yang ibahas di sini adalah nyanyian yang tidak ada unsur kebatilannya.
Madzhab Hanafi
Dalam Madzhab Hanafi dijelaskan bahwasannya yang tertolak kesaksiannya adalah orang yang memiliki profesi sebagai penyanyi untuk manusia.
Az Zaila`i menyebutkan alasannya, karena ia membuat orang berkumpul untuk perbuatan sia-sia dan permainan dan malah biasanya diiringi dengan perbuatan dosa besar dan kebohongan. Jika demikian, maka siapa yang bernyanyi untuk dirinya sendiri untuk mengusir kesepian maka hal itu boleh menurut pendapat shahih dan tidak gugur kesaksiannya.
Hal ini karena berhujjah kepada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Anas bin Malik mengunjungi saudaranya al-Barra` bin Malik yang termasuk dari para sahabat yang zuhud dan saat itu Anas bin Malik bernyanyi.
Asy Syibli menyebutkan bahwa Anas bin Malik memiliki suara yang merdu. Jika ada yang melagukan syair yang kandungannya terdapat peringatan dan hikmah maka hal itu sepakat diperbolehkan.
Namun jika dalam nyanyian itu disebutkan seorang wanita tertentu, jika ia telah wafat atau menyebut wanita tanpa spesifik maka hal itu tidaklah mengapa. Jika disebutkan di dalam nyanyian wanita tertentu, maka makruh hukumnya.
Dan dari sebagian ulama membolehkan nyanyian untuk pernikahan. Di antara para ulama ada yang membolehkan bernyanyi untuk menyelaraskan irama syair.
Dan dari sebagian ulama menyatakan makruh secara mutlak dan dari para ulama ada yang membolehkan secara mutlak. (lihat, Tabyin al-Haqaiq, 4/222).
Perincian dan khilaf masalah nyanyian juga disebutkan dalam beberapa kitab, di antaranya adakah al-Inayah Syarh al-Hidayah (7/412), demikian pula dalam Majma` al-Anhar (2/198).
Mazhab Maliki
Ibnu Hajib berpendapat bahwa nyanyian tanpa alat hukumnya makruh dalam Madzhab Maliki. Sebab itu tidak mencacati persaksian jika ia melakukannya sekali, baru mencacatinya ketika melakukannya berkali-kali, karena ia telah menjatuhkan muru`ah-nya. Demikianlah apa yang dinukilkan oleh Al Maziri dan lainnya.
Adapun bernyanyi dengan alat seperti alat musik petik, semisal tanbur atau oud, maka hal itu dilarang sama dengan seruling.” (At Taudhih fi Syarh Mukhtashar Ibni Hajib, 7/467).
Dalam Syarh al-Kharasyi ditegaskan bahwa bernyanyi hukumnya makruh sedangkan mendengarkan mendengarnya makruh jika melakukannya berkali-kali.
Kesimpulannya, mendengar nyanyian tanpa alat hukumnya makruh, meski dilakukan berulang kali dan bukan perkara yang haram. (dalam Syarh al-Kharasyi `ala Mukhtshar Khalil, 7/178)
Madzhab Syafi’i
Nyanyian yang tidak disertai alat baik bernyanyi maupun mendengarkan hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan alat musik dipetik seperti seperti oud, thanbur, autar dan seruling haram hukumnya, baik menggunakannya maupun mendengarkannya, karena itu merupakan syiar dalam minum khamr. Sedangkan memukul rebana hukumnya halal untuk pernikahan, khitan serta selainnya. (dalam Asna al-Mathalib, 4/345).
Ibnu ar-Rif`ah juga menyatakan; ”Nyanyian tanpa alat hukumnya makruh bagi kami menurut pendapat masyhur dan tidak haram.”
Madzhab Ahmad
Qadhi Abu Ya’la menyatakan; ”Para ulama dalam madzhab berbeda pendapat dalam hal nyanyian. Abu Bakr al-Khalal dan Abu Bakr temannya menyatakan mubah. Berkata Abu Bakr Abd al-Aziz; ”Nyanyian seperti ratapan satu, selama tidak ada kemungkaran, dan tidak ada pula pencacatan, ia mubah.”
Lantas ia melanjutkan; ”Dan sekumpulan dari ulama madzhab berpendapat bahwa ia makruh.” (dalam ar-Riwayatain wa al-Wajhain, 3/98)
Sedangkan Qadhi Abu Ya`la berpendapat bahwa ia makruh tidak haram. Sedangkan sebagian ulama dalam Madzhab Hanbali mengharamkannya. (al-Mughni, 10/155).
Menyikapi khilaf soal musik dan nyanyian
Dengan demikian, kita ketahui bahwa hukum musik dan nyanyian dalam satu mazhab saja terdapat berbagai macam perbedaan pendapat. Nah, bagaimana kita menyikapinya?
Imam asy-Syaukani berkata; ”Jika demikian, maka jelaslah bagi siapa saja yang objektif yang mengetahui bagaimana cara menyimpulkan hukum, mengetahui sifat adu argumen dan perdebatan, bahwasannya mendengar nyanyian termasuk wilayah khilaf antara para imam ahlul ilmi dan termasuk dari masalah-masalah yang semestinya tidak keras dalam mengingkari pelakunya”. (dalam Ibthal Da`wa al-Ijma` ala Tahrim Muthlaq as-Sama`, hal. 18.*/ Thoriq, Lc, MA