Tanya:
Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ustaz, saya melihat ada orang yang sudah tergolong tokoh dari kalangan kaum muslimin yang melakukan cara bermakmum agak aneh. Dia bermakmum shalat Dzuhur, dengan tetap mengqashar dua rakaat, yaitu bersalam ketika imam selesai tasyahhud awwal. Setelah itu dia berdiri lagi dan bermakmum kembali. Saya yakin ia melakukan shalat Ashar dengan qashar dua rakaat dan bersalam bersama salamnya imam.
Yang saya tanyakan, bolehkah menjamak qashar dua shalat seraya bermakmum di belakang imam yang shalat secara sempurna karena memang sang imam tidak dalam kondisi safar? Syukron.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Cak Hud, Surabaya
Jawab:
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Akhi fillah rahimakallah, membaca pertanyaan Anda, hal pertama yang tertangkap dalam benak saya adalah adanya semangat yang tinggi dari saudara kita –yang Anda katakan sebagai tokoh itu- untuk menjaga shalat dalam kondisi berjamaah. Karena hanya ada satu kali jamaah yang berlangsung, maka dia beride untuk “menjamaahkan” dua shalatnya itu. Melihat bahwa jamaah shalat yang berlangsung terdiri dari empat rakaat –sebab diimami oleh orang mukim–, maka jadilah kreasi bermakmum sebagaimana yang Anda sebutkan.
Semangat tersebut sangat bagus, namun masih harus disempurnakan dengan pengetahuan tentang teknis pelaksanaannya. Karena shalat adalah ibadah, maka kaidah pelaksanaan ibadah jelas berlaku di sana.
Kaidah yang dimaksud, pertama, ikhlas karena Allah dan kedua ialah mengikuti contoh yang ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w. Dalam hal shalatnya seorang musafir, pada dasarnya sunnahnya adalah qashar. Tetapi bila demi keutamaan jamaah harus bermakmum di belakang seorang yang mukim, maka tentang ini sudah ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w.
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Ibn Abbas ditanya seseorang: ”Kenapa seorang musafir shalat dua rakaat ketika sendirian, dan shalat empat rakaat saat bermakmum di belakang seorang yang mukim?” Ia menjawab: ”Itu adalah sunnah.”
Jawaban tegas Ibn Abbas bahwa yang demikian adalah sunnah Nabi telah menutup ruang ijtihad yang menghasilkan pendapat di luar sunnah tersebut. Hadis ini diperkuat dengan riwayat shahih dari Nafi’ tentang perilaku sahabat Nabi yang masyhur. Nafi’ mengatakan: ”Adalah Ibn Umar, jika ia shalat bersama imam, maka ia shalat empat rakaat. Dan bila shalat sendiri, maka ia shalat dua rakaat.” (HR. Muslim). Apalagi secara umum yang namanya imam memang diadakan dalam rangka untuk diikuti. Untuk itu Nabi bersabda: ”Sesungguhnya imam itu diadakan untuk diikuti, maka janganlah kalian berbeda dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memang ada satu macam shalat di mana imam hanya diikuti separuh shalatnya, kemudian makmum meneruskan sendiri, yaitu shalat khauf. Tetapi upaya mengqiyaskan shalat jamaah seorang musafir di belakang imam mukim adalah pengqiyasan yang tidak berdasar dan jauh dari kesamaan ‘illah (alasan hukum). Dalam bahasa fikih qiyas, demikian dikatakan, sebagai “qiyas ma’a al-faariq”. Apalagi menurut kaidah ushul dikatakan “ la qiyaasa fi ma’rid al-nash” (tiada qiyas dalam masalah yang telah ditetapkan hukumnya melalui teks hukum, baik hadis maupun ayat al- Qur’an).
Kesimpulannya, cara shalat sebagaimana yang Anda tanyakan, adalah tidak benar secara hukum, sekaligus tidak sah. Tetapi tetap saja kita berdoa semoga Allah berkenan menerimanya. Dan selanjutnya semoga segera mengetahui yang sunnah dan kemudian mengikutinya. Wallahu a’lam.