Hidayatullah.com– Pemerintah Brazil, hari Sabtu (25/1/2025), mengutarakan kemarahannya setelah puluhan migran yang dideportasi dari Amerika Serikat tiba dan tirun dari pesawat dalam keadaan tangan diborgol, menyebutnya sebagai “pengabaian nyata” terhadap hak-hak mereka.
Ketika pesawat mendarat di kota Manaus, aparat Brazil memerintahkan petugas dari AS untuk “segera melepaskan borgol-borgol itu,” kata Kementerian Kehakiman dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir AFP.
Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski melaporkan kepada Presiden Luiz Inacio Lula da Silva tentang pelanggaran terhadap hak fundamental warga Brazil tersebut, imbuh pernyataan itu.
Kementerian Luar Negeri Brazil lewat platform X mengatakan pihaknya akan meminta penjelasan dari Washington tentang perlakuan tidak layak atas para migran penumpang penerbangan yang tiba pada Jumat malam tersebut.
Pemerintah mengatakan terdapat 88 warga Brazil di dalam penerbangan itu.
Edgar Da Silva Moura, teknisi komputer berusia 31 tahun, termasuk salah satu di antara migran yang dideportasi, setelah mendekam di dalam tahanan selama 7 bulan di AS.
“Di dalam pesawat mereka tidak memberikan kami air minum, kami diikat di bagian kaki dan tangan, mereka bahkan tidak mengizinkan kami ke toilet,” paparnya kepada AFP.
“Udaranya sangat panas, sebagian orang bahkan pingsan.”Luis Antonio Rodrigues Santos, seorang pekerja lepas berusia 21 tahun, menceritakan bahwa selama 4 jam penerbangan mereka kepanasan dan mengalami kesulitan bernapas karena konon katanya sistem pendingin udara di dalam pesawat mengalami gangguan.
“Banyak hal berubah (sejak Trump dilantik), para migran diperlakukan seperti kriminal,” imbuhnya.
Menteri HAM Brazil Macae Evaristo mengatakan kepada awak media bahwa sejumlah anak penderita austisme juga ikut di dalam penerbangan itu.
Rekaman video yang ditayangkan stasiun televisi Brazil menunjukkan sejumlah penumpang keluar dari pesawat dalam keadaan tangan diborgol dan kaki dirantai.
Penerbangan itu awalnya dijadwalkan akan mendarat di kota Belo Horizonte di bagian tenggara Brazil, tetapi dengan alasan gangguan teknis pesawat mendarat di bagian utara di kota Manaus.
Setelah mengetahui situasi itu, Presiden Lula memerintahkan pesawat Angkatan Udara Brazil dikerahkan untuk mengantar mereka ke daerah-daerah tujuannya, guna memastikan mereka sampai ke tujuan akhir secara terhormat dan selamat,” kata Kementerian Kehakiman.
Sejumlah penerbangan deportasi sejak hari Senin mendapatkan perhatian publik dan media, meskipun sebenarnya penerbangan semacam itu biasa dilakukan di masa presiden-presiden Amerika Serikat sebelumnya.
Namun, tidak seperti kebiasaan sebelumnya, pemerintahan Trump sekarang menggunakan pesawat militer untuk melakukan repatriasi para migran, setidaknya satu pesawat itu mendarat di Guatemala pekan ini.
Pesawat yang mendarat di Manaus bukan pesawat militer, menurut hasil konfirmasi jurnalis AFP.
Sebuah sumber pemerintah Brazil mengatakan bahwa orang-orang yang dideportasi itu tiba di Manaus “dengan dokumen lengkap”, yang menunjukkan bahwa mereka setuju untuk dipulangkan.
Sebuah sumber pemerintah mengatakan kepada AFP bahwa penerbangan deportasi yang satu ini tidak berkaitan dengan keputusan terbaru Presiden Trump, melainkan berdasarkan sebuah kesepakatan bilateral tahun 2017.
Sebagaimana diketahui, Presiden Trump berjanji akan bertindak keras dalam urusan keimigrasian, dan sejak hari pertama menjabat dia sudah mengeluarkan beberapa keputusan yang mengubah kebijakan berkaitan dengan pendatang asing.
Di hari pertamanya Trump langsung menandatangani perintah eksekutif yang menyatakan “keadaan darurat nasional” di bagian selatan perbatasan Amerika Serikat dan memerintahkan pengerahan pasukan tambahan di sana sementara deportasi orang-orang asing terus digencarkan.
Diperkirakan terdapat 11 pendatang asing tanpa dokumen di Amerika Serikat, menurut statistik Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.*