PADA sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, umat Muslim mulai berlomba-lomba melaksanakan i’tikaf di masjid. Hari-hari ini, masjid bagaikan magnet yang bisa menarik ribuan orang untuk hadir.
Keseriusan mereka terlihat dengan beberapa tas pakaian dan perbekalan yang dibawa. Berbondong-bondong jemaah memenuhi sudut masjid ditemani tas jinjing mereka.
Di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) misalnya, di mana kehadiran umat Islam sudah nampak sejak hari pertama Ramadhan.
Masing-masing orang membawa minimal dua tas jinjing. Selain peralatan ibadah, di dalamnya berisi pakaian ganti, makanan ringan, bahkan ada yang berbekal termos air panas dan peralatan perbekalan lainnya.
Jemaah yang i’tikaf sampai berminggu-minggu, sebagian besar memasuki usia paruh baya. Mereka menjadikan i’tikaf sebagai wisata spiritual.
Ketika waktu berbuka puasa tiba, beberapa jamaah membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ada juga beberapa keluarga yang membawa perbekalan dari rumah. Nenek-Kakek beserta anak serta cucunya sangat menikmati momen kebersamaan itu.
Jumlah jemaah mulai membludak terutama pada malam ganjil. Pada malam ke-21 MASK dibanjiri seitar mencapai 1.200 orang.
Walaupun ramai, setiap tahunnya malam itu menjadi malam paling favorit bagi jemaah. I’tikaf secara resmi dibuka pada malam ke-21. Seusai sholat Tarawih dan istirahat, penantian malam seribu bulan diisi dengan ceramah pada jam satu dini hari. Kemudian jam 02.00 dimulai sholat malam yang diimami oleh para Syeikh dari Madinah. Jam 03.30 WIB, pengurus masjid mempersilahkan jemaah sahur. Begitu seterusnya sampai akhir Ramadhan. Biasanya, puncaknya pada malam ke-27, mencapai 6000-7000 orang.
Sebut saja Maryam, salah satu jemaah yang telah datang pada malam ke-21. Di lengan kanan dan kiri penuh dengan tas jinjing. Bahkan beberapa jamaah perempuan juga ada yang membawa kain yang difungsikan sebagai selimut. Bantal kecil juga mereka tak lupa bawa. Jadi ke masjid seperti ketika piknik.
“Ini isinya jaket, makanan ringan, tempat minum,” ucap perempuan yang sudah menjadi jemaah MASK sejak awal tahun 1990 itu.
Diusianya yang ke-57 tahun itu, Maryam masih bersemangat menghadiri i’tikaf. Pasca pensiunnya, Maryam bisa mengikuti i’tikaf setiap hari terutama pada sepuluh malam terakhir. Ia pulang ke rumah setelah sholat Dhuha di masjid.
“Tahun lalu saya masih kerja. Jadi saya pulang setelah qiyamulail. Nyiapin makan sahur buat anak dan suami, apalagi anak-anak sekolah dan suami kerja,” tutur ibu dari lima anak itu.
Imam ikut jadi Magnet
Menurut Maryam, ada banyak teman-temannya yang berasal dari luar kota. Bahkan ada di antara jemaah membagi waktu itikafnya di beberapa masjid di Jakarta.
“Kemarin saya sebelahan sama jemaah dari Jogja. Dia sengaja i’tikaf di sini, lebih dari seminggu,” tuturnya. Kemudian Ia menoleh ke belakang dan menunjuk seorang perempuan. Perempuan itu sedang dipijat. Tampaknya ia sedang tidak begitu sehat.
“Ibu yang di belakang itu kerja di Jerman. Dia sudah beberapa hari ini i’tikaf di sini. Cuma pas Ramadhan aja dia ke Indonesia,” ucap Maryam sembari sesekali melihat ke arah wanita itu.
Maryam sudah menjalani i’tikaf secara rutin sejak tahun 2000. Pada mulanya hanya malam ganjil saja pensiunan Pemda DKI Jakarta itu beri’tikaf. Sejak Syeikh Ali Jaber menjadi imam Qiyamullail di MASK, Maryam menyempatkan untuk bermalam di sana, baik malam ganjil ataupun genap.
Akhirnya hal itu rutin dilakukannya. Sudah empat tahun terakhir ini Ia melakukannya. Suara Syeikh yang menggetarkannya.
Dari perbincangan saya dengan beberapa jemaah lainnya, salah satu hal yang menjadi pertimbangan lokasi i’tikaf selain kenyamanan masjid dan aksesnya, adalah profil dari imam shalat-nya.
Wanita asal Banten ini ternyata juga memiliki kebiasaan mengajak keluarga untuk i’tikaf..
“Setiap tahun saya ngajak anak dan cucu,”katanya. Kalau sudah begitu tak lupa bantal kecil dibawa untuk menambah kenyamanan.
Bukan hanya jemaah paruh baya seperti Maryam saja yang beritikaf di malam mustajab itu. Ada juga Anita.
Wanita karier ini bersedia meluangkan waktu bermalam di masjid sepulangnya dari Hotel Kempinski.
“Sebenernya saya sudah capek habis pulang kerja dan buka bersama (bukber) sama alumni FE UI,” tuturnya.
“Tapi percuma juga kalau pulang, sampe jam segini aja dapat kabar, arah ke Bintaro masih macet,” ujar Anita. Bagi Anita, i’tikaf merupakan hal yang sangat menyenangkan.
Ia mengaku sudah jatuh cinta beritikaf di MASK Apalagi lokasinya yang mudah diakses dari kantornya yang terletak di bilangan Sudirman.
“Setelah shalat Subuh saya pulang ke rumah. Bersih-bersih terus berangkat lagi,” ulasnya. Waktu tempuhnya tidak sampai 1 jam jika diaskes dengan berkendara mobil di pagi hari.
Anita diuntungkan dengan kebijakan perusahaannya. Sebab selama bulan Ramadhan, jam masuk kantor diundur menjadi pukul 10.00 WIB. Masih ada waktu baginya untuk pulang.
Menimba Ilmu
I’tikaf tidak hanya digunakannya untuk tilawah saja, tapi juga menimba ilmu melalui penceramah yang dihadirkan. Sama sepeti pada malam Nuzulul Quran malam ke-19 Ramadhan lalu.
“Sebetulnya saya enggak ada rencana i’tikaf. Tapi tukang parkir tanya, apakah saya mau nginap atau cuma Tarawih saja. Saya baru tahu kalau malam itu ada i’tikaf,” ulas Anita.
Tanpa disangka MASK menampilkan Ustadz Fadzlan Garamatan. Dai yang terkenal dengan pembinaan mualaf nya itu memaparkan pengalamannya.
“Saya mau masukin ibu saya dalam komunitas beliau,” tuturnya. Ibunda Anita adalah seorang mualaf. Walaupun bersyahadat puluhan tahun lampau, tapi menurutnya, ibunya perlu bimbingan terus menerus.
Di tengah kesibukannya bekerja di divisi Consumer Branded Product (CBP) dari sebuah perusahan ritel, Anita sudah mengagendakan sepuluh malam terakhir ini untuk i’tikaf.
Sama seperti Maryam, Anita tidak pernah beritikaf di masjid lainnya.
“Di sini saja. Lebih dekat dari kantor,” ungkapnya. Di sekitar rumahnya memang terdapat masjid dan mushala, tapi tidak ada yang mengadakan ’tikaf akbar seperti di MASK.
Tak berbeda jauh dengan Maryam dan Anita, Zahra Elok Fatih begitu bersemangat mengajak kedua adiknya untuk beri’tikaf. Atas kesepakatan dengan abang dan ibu-nya, mereka ingin menjadikan Ramadhan ini sebagai bulan menimba ilmu bagi adik-adiknya. Ibu dan kakaknya juga ikut serta ke MASK. Kedua adik Zahra berumur 17 dan 11 tahun.
“Mereka lagi liburan sekolah. Daripada main enggak jelas di rumah dan nonton TV, mendingan i’tikaf di sini,” ucap kakak dari Lintang dan Imam itu.
Mereka sekeluarga ingin mendapatkan malam Lailatul Qadar di masjid yang diresmikan pada tahun 1971 itu. Setiap hari, pascaa shalat Dhuha, mereka pulang ke rumah.
“Ba’da Ashar datang lagi. Saya dan Imam boncengan. Mama naik motor sama Lintang. Kalau Abang biasanya langsung dari tempat kerjanya,” ucapnya.
Total ada tiga motor yang dipakai berkendara oleh keluarga itu. Zahra mengatakan Ia dan adik-adiknya senang meluangkan waktu setiap malam di masjid. Ia berharap adik-adiknya makin mendekatkan pada Allah Subhanahu Wata’ala.*/Rias Andriati