Seperti diberitakan dailymail.co.uk (23/08/2016), sebuah foto menggambarkan empat aparat kepolisian Prancis berbadan kekar mendatangi muslimah di Pantai Nice dan meminta melucuti burkini nya, sebuah paradoks bagi negara yang mengaku sekuler.
Burkini dilarang akibat kebijakan rasis Wali Kota Cannes, David Lisnard. Tidak kali ini saja, pada tahun 2011, Prancis adalah negara pertama di Eropa yang melarang burka, kain yang menutup seluruh wajah, selain niqab yang menutup sebagian muka.
Kebijakan ini konon lahir pasca sejumlah peristiwa di Prancis yang memicu peningkatan Islamophobia, seperti serangan truk pada bulan Juli di dekat Nice.
Mengapa Islamophobia semakin menjangkiti negara semacam Prancis, dan Amerika Serikat yang juga memicu penembakan Imam Masjid New York yang diduga dipicu maraknya kampanye anti Islam oleh Donald Trump dan beberapa komunitas disana?
Agaknya, Islam menebarkan aroma ketakutan luar biasa, hingga menimbulkan kebijakan dan kampanye yang paranoid, yang mencederai semangat demokrasi dan sekulerisme yang justru diagung-agungkan oleh kedua bangsa itu.
Upaya mendiskreditkan Islam melalui standar ganda HAM dan liberalisme, hanyalah secuil upaya untuk mencegah kesadaran umat untuk kembali pada syariatNya.
Bangsa Barat pasca keruntuhan Khilafah Turki Utsmani, sadar betul, bahwa musuh utama demokrasi adalah ketika Islam muncul menjadi kekuatan politik, dan bisa berawal dari kesadaran akan penerapan segala aturanNya. Bahwa menghancurkan Islam tak cukup dengan fisiknya, namun hingga pada sendi-sendi segala aturannya, hingga lepaslah aturan Islam satu per satu, dari aturan negara hingga individu.
Maka kini, ketika negara yang menerapkan syariat dalam bingkai Khilafah tak ada lagi, aturan yang bisa dipegang umat tinggal tatanan keluarga dan individu. Namun ternyata, sekulerisme pun tidak rela, jika tatanan keluarga dan individu masih dipegang erat.
Bagi Barat, sekulerisme adalah untuk selain Islam, maka jika ada yang masih menggunakan simbol-simbol, aturan-aturan dan pemikiran Islam, bersiaplah untuk mendapat serangan bertubi-tubi, dari stigmatisasi, opini hingga undang-undang.
Lalu, mengapa kita masih berlama-lama dengan demokrasi dan sekulerisme? Jika anak-anak Suriah dan Palestina yang hidup ala kadarnya saja tak putus asa dengan perjuangan menggulingkan sistem dan rezim kufur, mengapa kita masih berdiam diri?
Mari jalin ukhuwah untuk menegakkan Islam, dengan dakwah dan tegaknya syariah di muka bumi. Amin.*