Oleh: ACE Abdullah
TEPAT sudah satu bulan sejak tanggal 5 Juni 2017 Saudi Arabia bersama Bahrain, Emirat dan Mesir memblokade Qatar atas tuduhan mendanai kelompok-kelompok teror, mendukung Iran, dan menyokong kebebasan media seperti Aljazeera. Cuitan Presiden AS Donald Trump seakan menyetujui tuduhan-tuduhan sepihak tersebut.
Tuduhan yang dijawab Qatar sebagai tidak berdasar. Tenggat waktu yang ditetapkan Saudi cs agar Qatar memenuhi 13 tuntutan mereka pun telah berlalu meski diperpanjang 48 jam lagi. Membaca daftar tuntutan Saudi cs ini dapat dipahami bahwa Qatar sedang didikte tentang bagaimana menjalankan politik luar negerinya dibawah aturan yang dikehendaki Saudi cs. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keempat negeri pemboikot merupakan negara yang rakyatnya ‘dijajah’ dan ‘diperas’ oleh rezim-rezim Negara Teluk.
Ketakutan rezim-rezim ini bukanlah karena negeri Qatar memberi dukungan pada kelompok teror sebagaimana yang dituduhkan selama ini, melainkan karena Qatar menyediakan kesempatan bagi kelompok oposisi seperti Ikhwanul Muslimin untuk menyuarakan pendapat mereka di ruang publik, suatu hal yang dipandang membahayakan eksistensi dari negeri-negeri yang masih banyak dikuasai rezim diktator.
Ketiga belas tuntutan terhadap Qatar itu juga seakan berbalik menampar wajah Saudi cs ketika diumumkan ke publik oleh negeri Qatar karena daftar tersebut sesungguhnya dimaksudkan agar dirahasiakan.
Satu per satu poin tuntutan seakan tidak berarti mengingat Saudi cs sesungguhnya yang banyak melakukan aktivitas-aktivitas yang dituntutkan dari Qatar. Mengenai kerjasama ekonomi dengan Iran, UAE justru merupakan negeri kedua yang paling banyak berbisnis dengan Iran (mencapai 300 milyar USD) setelah China.
Terdapat juga tidak kurang 800 ribu penduduk Iran di UAE yang mencatat sekitar 8 persen dari total penduduk negeri teluk tersebut. Saudi cs pun diketahui memberi suaka politik kepada diktator-diktator kawasan yang merampas milyaran uang negara dan melarikan diri dari negerinya setelah melakukan aksi pembunuhan massal terhadap rakyatnya seperti Zain al Abidin Ben Ali (Tunisia) yang kini bermukim di Saudi Arabia, Ali Abdullah Saleh (Yaman) yang bekerjasama dengan milisi Syiah Houtsi anti Saudi dan mencari suaka di UAE atau Mesir, Mohamed Dahlan (pro-Zionis asal Palestina yang kini tinggal di Abu Dhabi), dan seterusnya.
Saudi, UAE dan Mesir pun dikenal membiayai media-media propaganda dan juga dianggap kurang memberi kebebasan rakyatnya sendiri.
Dari penjabaran diatas, dapat dipahami bahwa ketakutan Saudi cs atas Qatar bukanlah semata-mata karena terorisme, sebab secara fakta, Saudi cs juga ikut mengelontorkan dana yang jauh lebih besar untuk kelompok-kelompok milisi bersenjata. Contohnya di Yaman, Libia, dan Suriah.
Tetapi ini semata karena ketakutan inheren akan eksistensi rezim dan penguasa monarkhi yang tidak siap menghadapi perubahan dan rakyatnya dan lahirnya para pengkritik.

Kebijakan Luar Negeri Qatar
Politik luar negeri Qatar yang independen dan unik untuk sebuah negeri bersistem monarki konstitutional tidak lepas dari konteks sejarahnya yang panjang dengan negara-negara Teluk dan juga blueprint dari peran arsiteknya Emir-Father, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani yang dikenal visioner.
Untuk yang pertama, sejarah wilayah yang dinamakan Qatar saat ini di masa lampau pernah berada dibawah kekuasaan dua negeri Bahrain dan Saudi.
Pada tahun 1766, Bani Utbah dari puak Al-Khalifa bermigrasi dari Kuwait ke kawasan Zubarah Qatar yang waktu itu dikuasai Bani Khalid dan di tahun 1783, Bani Utbah berhasil menduduki Bahrain serta menguasai seluruh wilayah Qatar.
Pada 1788, ketika Saud bin Abdul Aziz pendiri Keemiran Saudi yang pertama menjadi putra mahkota, ia berhasil menduduki Qatar dan Teluk persia setelah menundukkan Bani Khalid. Saudi terpaksa mundur dari Zubarah ketika diserang Dinasti Utsmaniyah dan Mesir di sebelah Barat pada tahun 1795.
Ketika itulah Al-Khalifa dari Bahrain dengan bantuan Oman dapat menjatuhkan benteng Zubarah dan mengambil alih Qatar kembali. Pada 1821, perusahaan Hindia Timur milik Inggris menyerang Doha yang berada dibawah Al-Khalifa dan memaksa penduduknya melarikan diri sebagai hukuman atas tindakan pembajakan yang dilakukan penguasa dibawah Al-Khalifa.
Baca: Lima Alasan Mengapa Israel Ikut Sibuk dalam Krisis Qatar
Pada 1825, keluarga Al-Thani muncul sebagai penguasa Qatar dibawah Muhammad bin Thani yang menjadi pemimpin pertama dengan didukung Perusahaan Hindia Timur Inggris.
Sejarah Qatar yang pernah dibawah kekuasaan Bahrain dan Saudi terutama membuat Kerajaan Saudi, yang dianggap sebagai penguasa kawasan sejak tahun 1926-an berkat politik luar negerinya yang idiologinya dominan Salafi, seolah merasa Qatar adalah wilayahnya yang lepas dari genggaman kekuasaan.
Tidaklah heran bahwa pemimpin Qatar selalu merasa dibawah bayang-bayang Arab Saudi yang lebih besar dan berpengaruh sebagai pusat politik di kawasan dan pusat keagamaan di dunia Islam berkat penguasaan atas dua kota suci di Hijaz.
Namun angin perubahan di Qatar berhembus pada tahun 1995 setelah Sheikh Hamad bin Khalifa mengambil alih pemerintahan dari ayahnya sendiri, Khalifa. Belum lama emir muda ini memerintah, pada 1996, seorang sepupunya bernama Hamad bin Jasim melancarkan sebuah kudeta terhadapnya atas konspirasi dari Bahrain dan Saudi.
Rencana kudeta ini digagalkan setelah seorang diantara mereka yang terlibat kudeta membocorkan rencana ini kepada Sheikh Hamad bin Khalifa.
Pelaku dan pengikutnya yang merupakan mantan tentara dan polisi akhirnya diputus penjara seumur hidup namun banyak yang akhirnya diberikan ampunan setelah dipenjara beberapa tahun.
Dibawah Emir Hamad bin Khalifa al-Thani, Qatar seakan mencapai puncak masa keemasannya. Sejauh pengalaman tinggal di sini, visinya Emir Hamad telah membawa Qatar menjadi negara dengan pendapatan perkapita nomer wahid di dunia pada 86.440 dolar per tahun per kepala. (BERSAMBUNG)