Oleh: Ibrahim Ozdemir
Hidayatullah.com | BANYAK negara bermayoritas Muslim menanggung beban perubahan iklim, tetapi kesadaran budaya dan tindakan adaptasi mereka seringkali terbatas. Sebuah gerakan “Environmentalisme Islam” atau “Pelestarian lingkungan hidup Islam” yang didasarkan pada tradisi Islam – daripada environmentalisme “penyelamat kulit putih” yang berdasarkan kampanye politik pertama dunia – dapat mengatasi keduanya. Dan jeda emisi pasca Covid-19 adalah peluang untuk mempercepatnya.
Ini adalah gerakan yang sangat kita butuhkan. Negara asal saya Turki, contohnya, sangat rentan terhadap efek perubahan iklim, karena suhu meningkat dan curah hujan menurun dari tahun ke tahun, menyebabkan masalah serius dengan ketersediaan air. Di Bangladesh, diperkirakan pada tahun 2050 satu dari tujuh orang akan terlantar akibat perubahan iklim, menciptakan jutaan pengungsi iklim.
Di Timur Tengah, banyak wilayah luas kemungkinan besar tidak dapat dihuni karena gelombang panas yang kemungkinan besar akan melanda wilayah tersebut dalam beberapa dekade mendatang. Namun, terlepas dari kerentanan mereka, banyak negara Muslim berkontribusi pada masalah tersebut.
Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar, adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia, dan tidak berbuat banyak mengatasi itu. Bangladesh dan Pakistan adalah dua negara paling tercemar di dunia, tetapi tidak mengambil tindakan serius untuk mengatasi polusi. Kelambanan di dunia Muslim terus berlanjut meskipun ada deklarasi negara-negara Muslim pada tahun 2015 untuk memainkan peran aktif dalam memerangi perubahan iklim.
Anda akan berpikir bahwa mereka yang terdampak paling parah oleh perubahan iklim adalah mereka yang paling ingin menghentikannya. Ini tidak selalu terjadi.
Banyak negara Muslim enggan memberlakukan konsep pelestarian lingkungan hidup Barat, atau tunduk pada tekanan dari negara-negara yang telah mengalami industrialisasi tanpa harus bermasalah dengan polusi atau mengekang emisi. Kolonialisme lingkungan bukanlah jawabannya.
Apa yang akan berhasil, dan telah terbukti berhasil, adalah menggunakan prinsip-prinsip Islam untuk mendorong konservasi pada Muslim.
Islam mengajari para pengikutnya untuk menjaga bumi. Muslim percaya bahwa manusia harus bertindak sebagai penjaga, atau khalifah di planet ini. Dan bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan atas tindakan mereka.
Konsep pengelolaan lingkungan ini sangat kuat, dan digunakan dalam Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim untuk mendorong perubahan dalam kebijakan lingkungan di negara-negara Muslim. Faktanya, Al-Quran mencatat ada sekitar 200 ayat tentang lingkungan.
Muslim diajari bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.” Kenyataannya adalah bahwa tidak ada yang lebih Islami selain melindungi ciptaan Tuhan yang paling berharga: bumi.
Pendekatan inilah yang dapat menyentuh hati dan pikiran 1,8 miliar Muslim di seluruh dunia. Muslim harus mengiintegrasikan hal ini dalam gerakan iklim.
Nabi Muhammad ﷺ juga mendemonstrasikan kebaikan, perhatian dan prinsip umum yang baik tentang perlakuan terhadap hewan, yang menjadi tolak ukur bagi umat Islam. Nabi melarang membunuh hewan untuk olahraga, mengatakan kepada ummatnya untuk tidak membebani unta dan keledai mereka, memerintahkan agar menyembelih hewan untuk makanan dilakukan dengan kebaikan dan pertimbangan atas perasaan hewan dan rasa hormat kepada Allah yang memberinya kehidupan, dia bahkan membiarkan untanya memilih tempat dia membangun masjid pertamanya di Kota Madinah.
Sebuah studi tahun 2013 di Indonesia menunjukkan bahwa memasukkan pesan-pesan lingkungan dalam dakwah Islam meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Pada tahun 2014, Indonesia mengeluarkan fatwa (atau hukum Islam) yang mewajibkan umat Islam di negara tersebut untuk melindungi spesies yang terancam punah.
Ada juga organisasi yang berdedikasi untuk menggunakan agama untuk menyebarkan pesan pelestarian lingkungan, seperti Alliance for Religions and Conservation (ARC). Salah satu proyeknya yang paling sukses menggunakan cendekiawan Islam untuk meyakinkan para nelayan Tanzania bahwa penangkapan ikan dengan dinamit, jala, dan tombak bertentangan dengan Al-Quran – dan mereka mendengarkan.
Kasus ini juga memberi tahu kita bahwa moralisasi dari atas ke bawah tidak mungkin efektif. Para nelayan sebelumnya menolak larangan dari pemerintah, tetapi berhasil dibujuk setelah diberi tahu bahwa mereka bertindak tidak Islami. Seorang nelayan berkata: “Sisi konservasi ini bukan dari Mzungu [” orang kulit putih “dalam bahasa Swahili], itu dari Al-Quran.”
Jelas, kita perlu berbicara dengan bahasa mereka yang perilakunya ingin kita ubah, terutama jika bahasa itu secara alami menolak kebijakan yang tidak berkelanjutan. Beberapa pemikir Muslim menyadari hal ini dan sangat ingin mengembangkan gerakan lingkungan yang “tumbuh di dalam negeri” untuk muncul sebagai pemikir dalam hak mereka sendiri.
Misalnya, Forum Dhaka bulan ini menjalankan pertemuan tentang masalah lingkungan pasca-Covid-19 dengan mayoritas pembicara berasal dari dunia Muslim.
Negara-negara Muslim memiliki keunggulan dalam perlombaan iklim. Mereka memiliki kerangka kerja dan sistem kepercayaan yang mengamanatkan perlindungan bumi dan sumber daya alamnya.
Seperti yang dikatakan Hossein Nasr, seorang pendukung utama gerakan agama dan lingkungan, desakralisasi Barat telah menghasilkan ideologi bahwa manusia memiliki dominasi atas bumi, bukan pengelolanya, yang merupakan pandangan Islam. Muslim sekali lagi harus menjadi penjaga bumi, demi lingkungan mereka dan demi Tuhan.*
Ibrahim Ozdemir adalah seorang aktivis lingkungan dan profesor filsafat di Universitas Uskudar, Turki