KEISTIMEWAAN agama Islam adalah adanya generasi emas yang hidup bersama Nabi. Mereka adalah orang-orang yang paling paham tentang kehidupan Nabi termasuk manhaj dan ajaran yang Allah wahyukan kepadanya. Orang-orang yang dimaksud adalah para sahabat.
Sahabat adalah agama. Begitu saya berpendapat. Mungkin ada yang bertanya, kenapa bisa seperti itu? Pertanyaan ini sebetulnya terjawab dengan pernyataan Ibn Sirrin, ulama Tabi’in yang hidup setelah zaman sahabat tepatnya kisaran abad kedua Hijriah. Katanya, Inna hadzal ‘ilma din fandzur akahadukum min-man takhudzuna dinahu. Na’khudzu min ahlis sunnati sunnatahu wa natruku min ahlil bid’ah bid’atahu. (Ilmu ini adalah agama, dan hendaklah setiap orang di antara kalian tau dimana ia mengambil agamanya. Kita mengambil sunnah dari para Ahlus Sunnah dan meninggalkan bid’ah dari pada ahli bid’ah).
Karena sahabat adalah generasi dan golongan yang paling tau tentang ajaran agama yang diajar dan diamalkan Rasulullah maka, mereka adalah sumber ajaran dan ilmu itu. Jadi, sahabat adalah agama. Dan, bagaimana kita dapat mengetahui agama ini tanpa melewati mata rantai generasi sahabat. Mustahil.
Pertanyaan yang muncul kemudian, Siapakah yang layak disebut sahabat? Untuk itu, saya mencoba memaparkan kembali makna sahabat yang dimaksud dalam agama. Bukan sekadar pengertian yang umum dipahami orang dengan arti kawan, sejawat, sesyarikat, teman, dan semisalnya. Berikut ini makna sahabat dari tulisan Rappun Samsudin.
Sahabat berasal dari asal kata Shahabah (ash-shahaabah, الصحابه (Arab)
Terminologi shahabat yang paling mendekati subtansi sebenarnya menurut para peneliti adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), bahwa shahabat adalah, “Orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”, (Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishobah, 1/6, Beirut, Daar al-Jiel, 1412 H).
“Sahabat adalah orang yang pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam walau untuk sesaat, mendengar darinya walau sepatah kata, atau pernah menyaksikan beliau dalam suatu kondisi, dengan syarat orang tersebut tidak dalam keadaan munafiq dan tidak menjadi munafiq hingga ia meninggal.”[ Ali bin Ahmad vin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, tth.) , jil. II, h. 86.]
Termasuk dalam kategori ini, orang yang menjumpai beliau, baik dalam interval waktu yang lama maupun singkat, meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun tidak, turut berperang beserta beliau maupun yang tidak, orang yang melihat beliau walaupun tidak pernah menemani beliau, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal, seperti buta. (Ibnu Katsir, al-Ba’its al-Hatsits, Syarhu wa Ikhtishar Ulum al-Hadits, disusun oleh: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, halaman. 185).
Maka yang tidak termasuk dalam kategori sahabat ini adalah:
Pertama, orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir, kendati masuk Islam setelah beliau wafat.
Kedua, orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dia tidak beriman kepada beliau.
Ketiga, orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad, (Ibnu Hajar, al-Ishobah, 1/7-8).
Nah, berdasarkan batasan dan definisi shahabat di atas, ada yang unik dari pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi tentang Nabi Isa putra Maryam alaihimas salam dalam bukunya “Tajriid Asma’ al-Shahabah”: “Isa putra Maryam alaihis salam adalah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan juga seorang Nabi; sebab beliau sempat melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ dan mengucapkan salam padanya. Dia-lah shahabat yang paling terakhir meninggal dunia.” (Al-Dzahabi, Tajriid Asma’ al-Shahabah, 1/432, Daar Ma’rifat, Beirut).
Demikianlah, sebab Isa putra Maryam alahis salam, telah bertemu dan melihat Rasulullah shallallahu alaihis salam, beriman kepada nubuwat beliau, serta akan wafat dalam keadaan beriman di akhir zaman kelak, setelah diturunkan kembali ke muka bumi. Dan diantara hikmah turunnya beliau di bumi, setelah pengangkatannya ke langit, selain untuk mendustakan kaum Yahudi dan Nashara serta membunuh Dajjal, juga agar beliau wafat dan dimakamkan di muka bumi. Tidak diperkenankan bagi makhluk yang berasal dari tanah untuk mati di luar bumi. (Lihat: Yusuf bin Abdillah al-Wabil, Asyrath al-Sa’ah, Saudi Arabiyah, Daar Ibni al-Jauzi, hal. 356-357). Wallahu A’lam!
Penulis peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor