Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Dr Ibrahim Shaikh
Khalifah Aleppo
KHALIFAH Ibn Al-Mahasin dari Aleppo, Suriah, yang namanya mulai mencuat pada tahun 1260, menulis sebuah buku setebal 564 halaman yang mendeskripsikan dan memberikan gambaran mengenai beragam peralatan operasi termasuk 36 alat operasi mata. Beliau juga mendiskusikan jalan visual antara mata dengan otak, serta menulis tentang 12 macam prosedur operasi katarak. Katarak dalam Bahasa Arab adalah Al-Ma’Nazul ‘Ayn. Ma’ yang berarti air, dimaksudkan sebagai air yang berakumulasi di mata, yang membuat mata menjadi “lembek” dan membuat pandangan berkabut. Cara mengobatinya adalah dengan menyedot cairan tersebut dengan jarum berongga, dan katarak dapat diambil, membuat pandangan pasien jelas kembali.
Salahuddin
Salahuddin Ibn Yusuf dari Hammah, Suriah menerbitkan buku pada 1290 berjudul Cahaya Mata dimana beliau mendiskusikan penemuan baru pada teori optikal mengenai pengelihatan. Beliau juga banyak mengutip hasil tulisan Ammar. Beliau menggunakan sudut pandang medis yang lebih umum mengenai mata, seperti yang dilakukan ilmuwan seperti Az-Zahrawi, Ibn Zuhr dan Ibnu Rushd.
Ibn Al-Haytham
Ibnu Al-Haytham lahir pada 965 Masehi, adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa kita dapat melihat karena pembiasan cahaya. Hasil penelitian Ibnu Al-Haytham telah dikutip dan dikembangkan oleh ahli matematika dari Persia bernama Kamal al-Din al-Farisi yang mengobservasi jalan cahaya lewat percobaan dengan bola kaca di dalam ruangan, dengan tujuan mengetahui bagaimana pembiasan cahaya matahari oleh air hujan. Ini membuatnya dapat menjelaskan tentang terbentuknya pelangi.
“Sejak tahun 800 hingga 1300 Masehi, dunia Islam telah menghasilkan tidak kurang dari 60 spesialis mata, penulis buku-buku rujukan dan jurnal ilmiah tentang Ophthalmology. Sementara di Eropa, sampai abad ke-12, kata ‘ahli mata’ tidak pernah terdengar,” ujar Profesor Hirschberg pada audience-nya yang terkesima. Metode pengangkatan katarak dengan jarum berongga baru diterapkan di Eropa pada abad ke-18.
Para Muslim menghasilkan banyak tulisan orisinil tentang anatomi mata. Penelitian mereka terbatas karena mereka hanya menggunakan mata binatang sebagai obyek penelitian karena pembedahan pada bagian manapun di tubuh manusia dianggap tidak sopan. Namun penelitian tersebut memberikan gambaran tertua mengenai anatomi mata.
Karya-karya bangsa Arab ini juga termasuk penamaan terhadap istilah-istilah anatomi mata seperti bola mata, conjunctiva, kornea, uvea, dan retina. Para Muslim juga melakukan operasi pada kelopak mata seperti untuk penyakit Trachoma (pengerasan bagian dalam kelopak), dan Glaukoma yang sebelumnya dikenal sebagai “pusing karena pupil” yang pertama kali dideskripsikan oleh orang Arab. Namun, kontribusi terbesar bagi ophthalmology oleh bangsa Arab adalah mengenai katarak.
Menurut Jurnal Asosiasi Medis Amerika (1935), di Perpustakaan Vatikan, terdapat sebuah manuskrib unik yang ditulis oleh Ibn Nafis (meninggal tahun 1288) yang berjudul Kitab al-Muhazzab fi Tibb al-‘Ayn (Buku Pengobatan Mata). Memuat deskripsi mengnai mata binatang dan diskusi mengenai ragam dan warna mata manusia.
Pada abad ke-12, ada seseorang bernama Gerard dari Cremona, Italia yang merupakan translator Latin terkenal, yang biasa menerjemahkan tulisan-tulisan sains dan medis milik bangsa Arab. Gerard menghabiskan 40 tahun hidupnya di Toledo, Spanyol, menerjemahkan tulisan-tulisan hasil karya para Muslim termasuk hasil penelitian Ar-Razi dan Ibnu Sina. Para dokter Arab telah menjadi garda depan bagi pencegahan kebutaan sejak tahun 1000 Masehi, saat Ar-Razi menjadi dokter pertama yang mendeskirpsikan gerakan refleks pupil. Sekitar waktu yang sama, Ammar Bin Ali Al-Mosuli menciptakan teknik suction untuk menghilangkan katarak dengan menggunakan jarum berongga.
Professor J. Hirschburg menutup kuliahnya di Asosiasi Medis Amerika dengan kalimat berikut: “Selama masa kegelapan di Eropa pada abad pertengahan, para Muslim Arab telah menyalakan dan terus membakar lentera ilmu pengetahuan kita. Mulai dari Sungai Guadalquivir di Spanyol sampai Sungai Nil di Mesir, hingga ke Sungai Oxus di Rusia. Hanya mereka-lah para ahli dibidang ophthalmology pada abad pertengahan Eropa.”
Dapat disimpulkan dari penelitian Hirschberg, bahwa para ahli ophthalmology Muslim di abad 10 – 13 adalah orang-orang yang melampaui masanya beratus-ratus tahun kedepan.*
Dr Ibrahim Shaikh seorang praktisi medis. Anggota Manchester Medical Society, Manchester, Inggris. Artikel dimuat di laman www.muslimheritage.com