Sambungan artikel PERTAMA
Hidayatullah.com | REVISI tahun 2001 menyerukan para uskup dan atasan pendeta yang menerima tuduhan melakukan penyelidikan awal, yang di AS seringkali dilakukan dengan bantuan dewan peninjau keuskupan.
Jika uskup menemukan bahwa klaim tersebut mirip dengan kebenaran, dia mengirim dokumentasi ke CDF yang memberitahu uskup bagaimana menindaklanjuti: melalui pemeriksaan peradilan gereja yang dilakukan secara penuh, prosedur “administratif” yang lebih cepat, atau sesuatu yang lain, termasuk pengambilalihan penyelidikan oleh CDF.
Selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun berikutnya, uskup terus melakukan penyelidikan berkonsultasi dengan CDF. Yang pada akhirnya uskup mencapai vonis dan sanksi, hingga dan termasuk pemecatan dari status kependetaan, atau laisasi.
Jika oknum pendeta menerima hukuman itu, kasus akan berakhir di sana. Jika dia mengajukan banding, kasusnya akan dibawa ke CDF untuk keputusan akhir.
Dari tahun 2004 hingga 2014 sekitar 848 pendeta dipecat di seluruh dunia dan 2.572 lainnya dikenai sanksi yang lebih rendah, menurut statistik Vatikan.
Vatikan belum memperbaharui statistik sejak itu, tetapi pendekatan pemecatan Paus Benedict tampaknya tidak tertandingi oleh Fransis. Paus Yesuit itu tampak lebih terombang-ambing oleh argumen bahwa gereja dan masyarakat terlayani lebih baik jika oknum pelecehan tetap berada dalam kependetaan, meskipun mereka tidak dalam pelayanan aktif dengan anak muda, sehingga mereka setidaknya berada di bawah pengawasan atasan mereka dan tidak memiliki akses ke anak-anak di pekerjaan lain.
Banding-banding diputuskan di sebuah ruang konferensi di lantai pertama Palazzo Sant’Uffizio, markas CDF berjarak beberapa meter dari Lapangan Santo Petrus.
Ruangan itu didominasi oleh salib kayu besar di dinding yang menghadap Basilika Santo Petrus, dan, di setiap sudut ruangan itu, kamera sirkuit-tertutup mengawasi staf CDF.
Kamera-kamera tersebut merekam debat berbentuk DVD untuk arsip CDF dan seandainya paus ingin melihat apa yang terjadi.
Ini adalah pekerjaan yang menyedihkan, membaca setiap berkas yang dipenuhi kisah para korban, evaluasi psikologis para pedofil, dan surat-surat dari pria dan wanita yang dicabuli ketika masih anak-anak dan akhirnya berdamai dengan trauma mereka.
“Ada saat-saat ketika Saya meneliti kasus, Saya ingin berdiri dan berteriak, hingga Saya ingin mengepak barang-barang saya dan meninggalkan kantor dan tidak kembali,” Kennedy mengatakan kepada jurnalis Katolik di AS pada awal tahun ini.
Hampir 20 tahun setelah CDF mengambil tanggung jawab kasus pelecehan, CDF telah memproses 6.000 kasus pelecehan, dan pada satu titik Paus Franscus berkata ia memiliki tumpukan 2.000 kasus. Tetapi CDF saat ini harus mengatasi globalisasi skandal yang pada tahun 2001 tampaknya hanya menerpa negara berbahasa Inggris.
Hari ini, CDF hanya beranggotakan 17 pegawai, dengan sesekali bantuan dari staf CDF lain, plus atasan mereka. Kennedy mengatakan dia berencana untuk memasukan ahli hukum gereja berbahasa Amerika latin, Brazil dan Polandia untuk membantu mengimbangi keluarnya staf CDF saat ini dan untuk memproses kasus-kasus dari negara yang baru saat ini memiliki kasus pelecehan.
Tetapi masih ada negara-negara yang CDF tidak pernah dengar sebelumnya – skenario yang menunjukkan “apakah mereka semua santo atau kami belum tahu tentang mereka,” Kennedy mengatakan kepada AP.
Implikasinya adalah para korban masih takut, dan para uskup masih menutup-nutup kasus semacam itu. Undang-undang Vatikan yang baru mengamanatkan semua pelecehan dan penutupannya dilaporkan kepada pejabat gereja, tetapi tidak ada hukuman langsung jika ada yang gagal melakukan hal itu.
Bahkan di AS, yang memiliki mekanisme pelaporan paling ketat, tidak ada cara untuk memastikan bahwa para uskup meneruskan laporan tuduhan kepada CDF seperti yang disyaratkan.
“Tidak pernah ada peninjauan independen atas kepatuhan keuskupan dengan hukum itu,” kata Pendeta James Connell, seorang pengacara hukum gereja yang mewakili korban pelecehan.
Baca: Laporkan Uskup Pemerkosa, Biarawati Katolik India Didepak Vatikan
*
Berjalan ke dalam perpusatakaan Universitas Kepausan Gregoriana, menaiki tangga spiral ke bagian hukum dan Anda akan menemukan jilid demi jilid “Decisiones Seu Sententiae” – keputusan hukum berbahasa Latin dari salah satu pengadilan utama Takhta Suci, Rota Romana.
Buku-buku itu memuat ratusan dekrit petisi untuk membatalkan pernikahan Katolik dari seluruh dunia – surat berstempel Vatikan yang dibutuhkan umat Katolik untuk menikah lagi di gereja setelah bercerai.
Tetapi tidak ada yurisprudensi yang diterbitkan untuk pengadilan utama Vatikan lainnya, CDF. Tidak satu pun dari putusan itu yang pernah diterbitkan. Dan itu karena sampai minggu terakhir ini, kasus-kasus pelecehan ditutupi oleh bentuk kerahasiaan tertinggi di gereja, yang disebut “rahasia kepausan.”
John Paul memutuskan bahwa kasus-kasus pelecehan akan disimpan di bawah kerahasiaan yang begitu ketat pada tahun 2001, dan para pembela berargumen bahwa itu adalah cara terbaik untuk melindungi privasi korban, reputasi terdakwa dan integritas proses penyelidikan.
Para kritikus mengatakan rahasia kepausan itu digunakan untuk menyembunyikan skandal, mencegah polisi memperoleh dokumentasi internal dan membungkam korban. Komite Hak Anak PBB mengeluarkan kecaman pedas terhadap kerahasiaan pada tahun 2014, dan para korban sudah lama mengeluh tentang bagaimana hal itu membuat trauma mereka kembali:
Banyak yang dirahasiakan selama berpuluh tahun oleh pelaku pelecehan, hanya agar gereja membuat mereka trauma kembali dengan menjatuhkan kerahasiaan atas mereka ketika mereka akhirnya berani untuk melaporkan kejahatan tersebut.
Dalam mengumumkan penghapusan kerahasiaan tertinggi dalam kasus-kasus pelecehan, Vatikan mengatakan reformasi akan memfasilitasi kerja sama dengan penegak hukum sipil, karena para uskup tidak lagi dapat bersembunyi di balik rahasia kepausan untuk menahan dokumen.
Argumen itu sangat mencolok, mengingat bahwa itu sama dengan pengakuan eksplisit bahwa para uskup telah menggunakan rahasia kepausan sebagai alasan untuk menolak kerja sama ketika jaksa, polisi atau otoritas sipil menuntut dokumen internal.
Dalam istilah yang lebih akademis, tidak adanya yurisprudensi CDF yang dipublikasikan berarti tidak ada uskup atau atasan pendeta memiliki kasus hukum untuk dirujuk ketika dia menerima tuduhan baru bahwa salah satu dari pendetanya telah memperkosa anak kecil: Dia tidak belajar dari bagaimana Vatikan atau saudara uskupnya telah menangani serangkaian fakta serupa di masa lalu, karena tidak ada kasus yang dipublikasikan.
Tidak ada seminaris yang mempelajari hukum gereja katolik dapat mengutip studi kasus dalam mempersiapkan tesisnya tentang bagaimana Gereja Katolik menanggapi skandal pelecehan. Tidak ada satupun akademisi, jurnalis, korban, atau pengikut Katolik biasa yang memiliki gagasan sebenarnya bagaimana Gereja Katolik telah mengadili kasus-kasus ini dengan cara sistematis apapun.
Pdt. D.G. Astigueta, seorang kanonis Yesuit di Gregorian, telah mengatakan kerahasiaan instutisional seputar kasus pelecehan merusak perkembangan dan praktik hukum gereja itu sendiri.
“Ilmu pengetahuan kanonik tidak hanya tumbuh dan berkembang dari refleksi oleh para ahli atau produksi undang-undang baru, tetapi juga oleh yurisprudensi, cara menafsirkan hukum oleh hakim dan pengacara,” katanya dalam konferensi 2017.*