Hidayatullah.com – Dengan orang tua mereka membombardir WhatsApp mereka dengan informasi salah dan bahkan mencaci sikap mereka terhadap undang-undang kewarganegaraan baru India, para wanita muda menyembunyikan identitas mereka di media sosial demi menyuarakan kemarahan dan mencari rekan di luar keluarga mereka lapor Al Jazeera pada Rabu (25/12/2019).
Anak muda, terutama perempuan, telah berada di garis depan gelombang protes menentang Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAB), yang dikritik karena anti-Muslim.
Tetapi ini dapat berbahaya dalam masyarakat yang sebagian besar konservatif dan patriarki.
Ketika Priya ikut serta dalam demonstrasi protes, contohnya, ketakutannya terhadap polisi anti huru-hara – 25 orang telah terbunuh dalam hampir dua minggu terakhir – berada di urutan kedua setelah ketakutannya jika ayahnya yang beragama Hindu mengetahui keberadaan dia dan menghentikan pendidikannya.
“Dia hanya memiliki kebencian ini terhadap Muslim – setiap kesempatan yang hilang dalam hidupnya, dia menyalahkan mereka,” kata Priya, 20 tahun, yang terlalu takut untuk menyebutkan nama aslinya berjaga-jaga jika keluarganya di New Delhi mengetahui berita ini.
“Saya telah mencoba berkali-kali berbicara dengannya. Tetapi setiap percakapan kami berakhir dengan dia mengancam akan mengeluarkanku dari perguruan tinggi dan membuatku menikah,” pelajar itu mengatakan pada kantor berita AFP.
Baca: 26 Oranng Terbunuh di India sementara Demonstrasi Menolak UU “Anti-Islam’ Berlanjut
Perang WhatsApp
“Ayah saya terus mengirimi spam di WhatsApp dengan video dan berita palsu – ini sangat menyebalkan,” kata Priya.
Priya biasanya membalas dengan mengirimi tautan ke situs pengecekan fakta sebelum ancaman penghentian pendidikan ayahnya memaksa dia menyembunyikan pandangan politiknya dari orang tuanya.
Ayahnya, kata dia, tidak mengetahui akun Twitternya, di mana dia menggunakan nama samaran yang melindungi identitas aslinya.
Perang WhatsApp ini secara efektif telah menghancurkan hubungan pribadi, kata Anshul Tewari, pemimpin redaksi Youth Ki Awaaz, sebuah situs berita crowdsourced yang berfokus pada pemuda-pemudi India.
“Anak-anak muda hari ini sekarang sangat peduli tentang memiliki suara dan didengar,” Tewari mengatakan pada AFP, menunjuk kepada demonstrasi pro-demokrasi di Hong Kong dan pawai perubahan iklim di seluruh dunia.
Tetapi, tidak seperti rekan-rekan global mereka, anak-anak muda India harus menemukan cara untuk menyampaikan aspirasi mereka sendiri dengan latar belakang budaya yang menempatkan nilai besar pada otoritas orang tua.
“Dalam banyak kasus, para orang tua India merasa berhak untuk memutuskan siapa yang harus dicintai anak mereka, bagaimana mereka harus hidup dan bahkan bagaimana mereka harus berpikir,” kata Tewari.
Kontrol itu secara khusus diucapkan ketika menyangkut kehidupan wanita muda, tambahnya.
Baca: Kenapa Banyak Orang India yang Memprotes UU Kewarganegaraan?
‘Tidak ada yang bisa’
Pada usia 27, Sweta Bagaria – bukan nama aslinya – menggambarkan dirinya sebagai aib keluarganya karena dia bersikeras untuk bekerja, perempuan pertama di keluarganya yang melakukan itu.
Bagaria menuduh orang tua Hindu konservatifnya melakukan pelecehan fisik dan finansial – mengendalikan akun banknya, memukulinya, dan menolak menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk menyewa sebuah flat.
Seperti Priya, Bagaria yang bekerja sebagai editor video di Mumbai telah secara aktif ikut serta dalam demonstrasi menentang UU kewarganegaraan, yang dia sebut “pelanggaran berat hak asasi manusia”.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pendapatnya yang berbeda dari orang tua telah menyebabkan ganjalan yang lebih besar antara dia dan orang tuanya, yang dia gambarkan sebagai orang-orang fanatik yang tidak mau mempekerjakan atau bekerja dengan Muslim.
“Saya dulu merasa benar-benar sendiri hingga tahun ini, ketika saya menemukan komunitas online di Twitter yang sedang mengalami konflik yang sama di rumah,” katanya, menyebut mereka sebagai “keluarga pengganti”nya.
“Juga, pada akhirnya, saya tahu bahwa perjuangan saya tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang terjadi dengan orang lain di negara ini, terutama Muslim,” katanya.
“Hal itu semakin mendorong saya untuk ikut serta (dalam demonstrasi).”
Sejak demonstrasi mulai terjadi, Bagaria – yang gemar sekali menggunakan Twitter – telah membagikan pamplet dan membuat video yang mengajak orang lain untuk ikut berdemo.
Dia menorehkan beberapa kesuksesan, seperti berhasil meyakinkan temannya yang tidak pernah menggunakan hak suaranya untuk ikut berpartisipasi dalam serangkaian demonstrasi.
Tetapi dia tidak berharap banyak untuk bisa membujuk keluarganya.
“Saya sudah mencoba selama bertahun-tahun. Tidak ada yang bisa meyakinkan mereka,” katanya.*