Hidayatullah.com – Pada hari Ahad sebuah upacara untuk mengenang Sultan Abdul Hamid II, sultan ke-34 Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah), diselenggarakan di Istanbul, 101 tahun setelah dia wafat.
Kegiatan itu diselenggarakan di distrik Cemberlitas, di mana makamnya berada, yang dihadiri oleh banyak orang, termasuk Coskun Yilmaz, direktur pariwisata dan budaya Istanbul dan cucu Sultan Abdul Hamid II sendiri Kayihan Osmanoglu.
Ayat-ayat al-Qur’an dan doa dibacakan di dekat makamnya sebagai bagian dari upacara mengenangnya.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, Ketua Parlemen Binali Yildirim menyebut Abdul Hamid II sebagai seorang “negarawan yang terhormat”, yang melayani rakyat dan negara selama 33 tahun.
Yildirim mengatakan bahwa pada periode ketika sang Sultan harus berjuang dengan masalah-masalah besar juga adalah tahun-tahun inovasi dan terobosan Kekaisaran Ottoman dalam bidang pendidikan dan transportasi serta kesehatan dan komunikasi.
“Sultan Abdul Hamid II – yang juga diterima secara umum sebagai pendiri sistem parlemen dalam sejarah kami – wafat di Istanbul pada hari-hari terakhir Perang Dunia II setelah hidup selama 3 tahun dalam isolasi di Thessaloniki,” katanya, “Saya mengenangnya dengan hormat.”
Abdul Hamid II, anak laki-laki Sultan Abdul Mecid, wafat di Istana Beylerbeyi Istanbul pada 10 Februari, 1918.
Siapakah Sultan Abdul Hamid II?
Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul pada 21 September, 1842. Dia menghabiskan masa kecil dan mudanya melewati “Tanzimat,” periode reformasi dalam Kekaisaran Ottoman yang dimulai pada tahun 1939.
Dia adalah orang yang berpendidikan tinggi yang berbicara banyak bahasa, termasuk Prancis, Arab, dan Persia.
Bersama pamannya Sultan Abdul Aziz, dia melakukan perjalanan ke Eropa dan Mesir, membuatnya memiliki pandangan yang luas tentang dunia. Dia diketahui bisa bermain piano dan juga merupakan seorang pembuat furnitur yang berbakat.
Abdul Hamid memimpin Kekaisaran Ottoman selama 33 tahun. Ketika dia naik tahta pada 31 Agustus 1876, kekaisaran itu menghadapi kesulitan ancaman-ancaman baik dari dalam dan luar negeri.
Di tahun yang sama dia naik tahta, pada 23 Desember dia menandatangani konstitusi pertama Kekaisaran Ottoman, dikenal sebagai Kanun-i Esasi atau Konstitusi Ustmaniyah, yang menjadi dasar bagi pemerintahan konstitusional.
Dia sangat unggul dalam kebijakan luar negeri. Dia mengamati perkembangan politik di seluruh dunia dengan cermat. Dia mendirikan pusat intelijen di Istana.
Semua tulisan yang ditulis terkait Kekaisaran Ottoman dibawa ke pusat intelijen ini dan ditinjau kembali olehnya. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin perdamaian di kekaisarannya.
Dia mengadopsi kebijakan pan-Islamisme untuk menentang intervensi Barat dalam urusan Ottoman.
Dalam kebijakan ekonomi, ia memprioritaskan melunasi utang luar negeri yang tersisa dari para sultan sebelumnya. Dia menandatangani perjanjian dengan para pemberi pinjaman Eropa pada 20 Desember 1881 untuk melunasi sebagian besar utang.
Abdul Hamid II juga mengambil langkah-langkah penting dalam pendidikan. Dia membuka banyak sekolah dasar, dan menengah serta sekolah untuk orang yang memiliki keterbatasan fisik dan militer di seluruh kekaisaran.
Darulfunun, yang kemudian dikenal sebagai Universitas Istanbul, didirikan pada tahun 1900.
Dia menjalani kehidupan orang biasa. Dia adalah seorang pria yang murah hati yang dapat menghabiskan uangnya sendiri ketika dibutuhkan untuk urusan negara serta untuk kepentingan rakyatnya.
Dengan menggunakan uangnya sendiri, ia membangun Rumah Sakit Sisli Etfal dan rumah perawatan Darulacaze; keduanya masih beroperasi di Istanbul.
Pada 1900, ia memerintahkan pembangunan kereta api yang menghubungkan Damaskus ke kota-kota suci Makkah dan Madinah melalui Hijaz, Arab Saudi.
Jalur kereta api mencapai kota suci Madinah pada tahun 1908.
Jalur trem listrik dibuka di banyak kota. Jalur telegraf didirikan melalui Hejaz dan Basra, dan jalan raya diperpanjang.
Tegas Terhadap Yahudi
Sultan Abdul Hamid II adalah sultan yang terkenal tegas terhadap orang-orang Yahudi. Ia pernah mengeluarkan instruksi untuk mengembalikan orang-orang Yahudi yang masuk ke wilayah Utsmani. Pada tahun 1901, ia berani mengusir salah satu dedengkot paling dikagumi dunia Yahudi, Theodore Hertzl dan seorang Rabbi Agung Yahudi saat berkunjung ke Islambul (Istanbul, sekarang) untuk meminta izin mendirikan permukiman di wilayah Al-Quds, Palestina.
Kisah itu kemudian diabadikan oleh seorang Kolonel Turki bernama Hisammuddin Arturk dalam Khafaya Ahdain yang terbit di Istanbul tahun 1957 masehi. Hingga sekarang kisah tersebut menjadi sangat masyhur dan selalu ada pada penulisan-penulisan artikel maupun seminar mengenai Sultan Abdul Hamid II.
“Theodore Hertzl dan Rabbi Agung Yahudi menghadap langsung kepada Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin pendirian Permukiman Yahudi secara terpisah di distrik Al-Quds. Tiada yang dilakukan Abdul Hamid II kecuali mengusir keduanya.”
Salah seoang sejarawan Turki, Nizhamuddin Tepe Denali mengomentari permasalahan ini. Menurut Denali, sikap tegas yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid II kala itu mendorong Theodore Hertzl dan bangsa Yahudi untuk mendukung orang-orang yang melawan sultan. Benar saja, setelah itu muncul gerakan-gerakan yang memfitnah Sultan Abdul Hamid II dengan sebutan Hamidian Absolutism, Freedom. (Mi’raj News Agency)
Pada 13 April 1909, sekelompok orang yang tidak puas dengan pemerintahan Abdul Hamid dan ingin mengganti monarki dengan pemerintahan konstitusional melancarkan pemberontakan di Istanbul. Pemberontakan berdarah berlangsung 11 hari.
Abdul Hamid II digulingkan pada 27 April 1909 setelah 33 tahun berkuasa dan digantikan oleh adiknya, Sultan Muhammad V.
Pada malam yang sama ia digulingkan, ia dikirim ke Thessaloniki, di Yunani modern, bersama dengan 38 orang, termasuk anggota keluarganya.
Tiga tahun kemudian, pada 1 November 1912, Abdul Hamid II dikirim kembali ke Istanbul, tempat ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di Istana Beylerbeyi, di distrik kota Uskudar.*