Hidayatullah.com — Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) baru saja memasuki babak baru, setelah, 06 Oktober 2021 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Dalam Perpres itu, Jokowi memberi lampu hijau, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal,” demikian isi Pasal 4 ayat 2, Perpres tersebut, seperti dikutip Hidayatullah.com, Senin (11/10/2021).
Padahal sebelumnya, Jokowi menegaskan bahwa, Ia tidak akan mau menggunakan sepeser pun uang negara untuk proyek tersebut, “Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business maupun para pembantunya. Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi saya sudah putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada jaminan dari pemerintah,” kata Jokowi, dikutip laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015 kala itu.
Saat itu, eks Walikota Solo ini, juga menegaskan China, tak bisa mendikte Indonesia dalam proyek tersebut. “Jangan mentang-mentang bawa uang dan teknologi, terus mau ngatur-ngatur kita, enggak gitu. Memang harus seperti itu, jangan juga terlalu ikut dan disetir investor. Ndak mau saya,” tegasnya.
Selain itu, dalam Perpres ini Jokowi juga kembali menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta- Bandung. Yang beranggotakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir dan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi.
“Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Menteri Perhubungan, yang selanjutnya disebut komite,” bunyi isi Pasal 3A Perpres tersebut.
Sebagai informasi, melansir laman Kompas, Pemerintah memberikan penugasan proyek kereta cepat ini, dikerjakan oleh konsorsium BUMN yang terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PTPN VIII, PT Jasa Marga (Persero), dan PT KAI (Persero).
Bersama dengan perusahaan China, keempat BUMN ini membentuk perusahaan patungan bernama PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Baik pihak BUMN Indonesia maupun China, sama-sama berkontribusi pada proyek tersebut sesuai porsi saham.
Dalih Pemerintahan Jokowi
Sikap pemerintah yang akhirnya turun tangan dalam mega proyek kereta cepat ini tak lepas dari membengkaknya biaya proyek tersebut, yang semula US$ 6,07 miliar ekuivalen Rp 86,5 triliun menjadi sekitar US$ 8 miliar atau setara Rp 114,2 triliun.
Menanggapi itu, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga buka suara. Dia menyebutkan, besaran APBN untuk menambal pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tergantung pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Hal itu akan ditetapkan angkanya setelah ada audit BPKP. Jadi tanpa audit ini, itu enggak akan dilakukan. Nah, maka audit ini kami harapkan akan selesai sampai Desember 2021,” ujarnya, seperti mengutip dari laman Kompas, Senin (11/10/2021).
Menurut Arya tambahan dana dari APBN tak akan memberikan ruang bagi penyelewengan. “Jadi enggak ada namanya kelebihan anggaran ataupun akibat pembengkakan ini, kita jaga gitu enggak ada potensi-potensi apa pun di sana. Potensi korupsi, potensi penyelewengan, tidak akan kita akomodir,” ucapnya.
Dilanjutkan oleh Arya, pihaknya, Kementerian BUMN sudah meminta audit oleh BPKP mengenai berapa dana tambahan yang dibutuhkan akibat biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini. “Jadi audit dulu baru kita tetapkan berapa sebenarnya angka yang dibutuhkan untuk menyelesaikan KCIC ini sehingga kita ketika meminta bantuan dari pemerintah, ya itu angkanya benar-benar sudah bersih. Itu prinsipnya. Jadi kita sudah minta audit mudah-mudahan selesai bulan Desember ini,” tandasnya.
Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta- Bandung
Awal mulanya, rencana proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sudah digagas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, Pemerintah menunjuk negara Jepang untuk melakukan studi kelayakan atau feasibility study (FS) bisnis agar pembangunan itu dapat terwujud.
Jepang bahkan diketahui sudah melakukan penelitian mulai 2012. Namun, ketika Presiden SBY selesai menjabat, dan digantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), proyek itu tiba-tiba beralih ke tangan China.
Melansir laman Republika, singkatnya, pada 21 Januari 2016, Presiden Jokowi hadir dalam groundbreaking pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Perkebunan Maswati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lucunya, Menteri Perhubungan (Menhub) saati tu, Ignasius Jonan tidak hadir di acara peletakan batu pertama proyek yang saat itu sudah ada ditangan China.
Waktu itu, Jokowi sangat yakin, proyek tersebut tidak akan memakai APBN dan tanpa jaminan pemerintah. Dia menyampaikan, APBN akan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur diluar Jawa. Anggarannya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur diluar Jawa, baik jalan tol di Sumatra, baik kereta di Makassar sampai Manado. “Jangan sampai Jawa sentris lah, tetapi Indonesia sentris. Ini yang kita bangun,” tuturnya.
Berselang sepekan kemudian, Menhub Jonan menyatakan pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung belum bisa dimulai. Padahal, proyek itu sudah diresmikan oleh Jokowi. “Groundbreaking ya boleh saja, tapi pembangunannya belum boleh dilakukan. Izinnya belum lengkap,” kata Jonan di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Kamis (28/1).
Jonan menjelaskan, dokumen yang diserahkan PT KCIC selaku investor kereta cepat, belum lengkap. Menurut Jonan, ada dua hal penting yang belum dipenuhi PT KCIC. Pertama, mengenai perjanjian konsensi. Perjanjian itu masih dalam proses negoisasi dan ada begitu banyak hal yang harus dibahas. Sedangkan yang kedua, mengenai izin pembangunan. Khususnya laporan analisis hidrologi dan hidrolika.
“Kalau tidak dipenuhi, ya tidak akan kami kasih izinnya sampai kapan pun. Karena ini menyangkut keselamatan,” ujar Jonan. Namun, tepat enam bulan kemudian, pada 27 Juni 2016, Jonan dicopot dari posisi Menhub.
Pemerintah pun menggantikan PT Wijaya Karya (WIKA) sebagai ketua konsorsium BUMN di PT KCIC untuk digantikan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Hal itu lantaran utang PT WIKA menumpuk. Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Senayan, Jakarta Pusat pada 1 September 2021, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI, Salusra Wijaya mengungkap, anggaran awal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sekitar 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp 86,52 triliun.
Namun, setelah ditelaah konsultan pada November 2020, estimasi biaya membengkak hingga menjadi 8,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 122,58 triliun. Alhasil, proyek tersebut belum juga selesai meski sudah lima tahun lebih dimulai.*