Oleh: Imam Hanafi
JIKA kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka. Namun aka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain.Mereka menganal apa yang disebut nikah mut’ah.
Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ta’rif Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)
Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal tegaknya agama Islam, nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah ? di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al- Akwa’ ?:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan Nabi bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr ? dan Umar? maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An- Nawawi)
Nikah Mut’ah di Era Rasulullah
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi ?, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat ?.
Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat (HR. Muslim hadits no. 1404)
Kedua, tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tesebut (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
Ketiga, jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
Keempat, keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya (HR. Muslim no. 1406)
Mut’ah dalam Syi’ah Rafidhah
Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
Pertama, penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya:
“Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala ?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya”.
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi ?, bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali ?, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”
Kedua, buruknya Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah seNikahi dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Direktur LBH Ahlus Sunnah Wal Jama’ah