Sambungan artikel PERTAMA
Keempat, Imam Al-Qurthuby saat menafsirkan ayat 118 dari surat Ali Imran di atas telah menegaskan;
نهى الله عز وجل المؤمنين بهذه الآية أن يتخذوا من الكفار واليهود وأهل الأهواء دخلاء وولجاء ، يفاوضونهم في الآراء ، ويسندون إليهم أمورهم. ويقال : كل من كان على خلاف مذهبك ودينك فلا ينبغي لك أن تحادثه ؛ قال الشاعر : عن المرء لا تسأل وسل عن قرينه …فكل قرين بالمقارن يقتدي
“Allah ‘Azza wa Jalla dengan ayat ini telah melarang orang-orang yang beriman untuk menjadikan kaum kafir, Yahudi dan penurut hawa-nafsu sebagai orang-orang dekat dan orang-orang dalam yang dipasrahi pendapat (kebijakan) dan diandalkan kepada mereka permasalahan kaum Mukmin. Dan telah dikatakan; “Setiap yang menyelisihimu dalam madzhabmu dan agamamu, maka tidak selayaknya engkau berbicara kepadanya”. Seorang penyair juga telah mengatakan “Tentang seseorang jangan tanya (siapa dia), tapi tanyalah siapa temannya, karena setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”
Pernyataan Imam Al-Qurthuby ini sangat gamblang, bahwa bukan hanya non-Muslim saja yang dilarang untuk dijadikan “orang dalam”, tapi juga kaum yang suka menuruti hawa nafsu mereka seperti kaum fasik dan munafik. Dan ini selaras dengan pernyataan Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat di atas;
يقول تبارك وتعالى ناهيا عباده المؤمنين عن اتخاذ المنافقين بطانة، أي: يطلعونهم على سرائرهم وما يضمرونه لأعدائهم، والمنافقون بجهدهم وطاقتهم لا يألون المؤمنين خبالا أي: يسعون في مخالفتهم وما يضرهم بكل ممكن، وبما يستطيعونه من المكر والخديعة
“Allah Tabaraka wa Ta’ala telah Berfirman seraya Melarang orang-orang yang beriman untuk menjadikan kaum munafik sebagai teman kepercayaan. Maksudnya, karena kaum munafik itu menyebarkan rahasia dan perkara yang disembunyikan oleh kaum Mukmin kepada musuh-musuh kaum Mukmin. Dan kaum munafik itu dengan segala daya upaya mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi kaum Mukmin. Artinya, kaum munafik akan senantiasa berupaya menyelisihi kaum Mukmin dengan segala cara-upaya yang mampu mereka tempuh; mulai dari makar dan tipuan.”
Kelima, perkataan Khalifah Umar “Janganlah engkau mendekatkan mereka (non-Muslim) sedangkan Allah telah menjauhkan mereka”, haruslah dipahami sesuai konteksnya, karena ini adalah perintah agar tidak menjadikan non-Muslim sebagai sekutu, loyalis, dan pemimpin dalam urusan internal umat Muslim.
Sehingga dengan demikian tidak ada larangan berdekatan dengan non-Muslim dalam bertetangga misalkan, atau dalam transaksi sosial pada umumnya seperti jual-beli, sewa-menyewa, gotong-royong dan sebagainya. Maka sebuah dalil perlu ditempatkan pada posisi yang seharusnya karena Al-Qur’an sendiri telah menempatkan non-Muslim pada posisi yang berbeda sehingga perlakuan dengan mereka pun akan berbeda sesuai konteksnya.
Semisal himbauan untuk berbuat baik dan adil terhadap non-Muslim yang tidak memerangi dan mengusir umat Islam (QS. Al-Mumtahanah: 8), diperbolehkannya memakan hidangan dari Ahli kitab dan menikahi perempuan mereka (QS. Al-Maidah: 5), larangan untuk menikahi perempuan musyrik selain Ahli Kitab (QS. Al-Baqarah: 221), larangan untuk mencampur-adukkan akidah (QS. Al-Kafirun), dan juga perlakuan Nabi yang terkadang sangat lemah-lembut terhadap non-Muslim, tapi pada saat yang lain sangat keras, ini semua harus dipahami dalam frame yang proporsional sehingga tidak terjadi kontradiksi dalil dan kerancuan istidlal.
Itulah 5 poin penting yang mungkin dapat kita ambil dari kisah Umar Ibnu Khattab, Abu Musa Al-Asy’ary dan sekretarisnya yang non-Muslim.
Dan perlu disebutkan, bahwa dalam saduran di atas kita telah menemukan adanya dua ayat Al-Qur’an yang yang sudah pasti kebenarannya. Kemudian dua ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Khalifah Umar dalam kapasitasnya sebagai seorang sahabat Nabi yang sangat paham tentang cara istidlal (menentukan dalil untuk menetapkan sesuatu keputusa/kesimpulan) langsung dari Al-Qur’an. Dan bukan hanya sebagai seorang waliyullah, tapi Khalifah Umar juga merupakan Politisi paling Brilian dalam sejarah Islam yang ahli dalam ilmu tata-negara, birokrasi dan Sospol, sehingga dalam setiap kebijakan yang ia keluarkan telah lahir dari perpaduan antara Naql dan Akal, yang kemudian diterapkan dalam timbangan Kemaslahatan secara komprehensif.
Dan tak berhenti sampai Khalifah Umar saja, tapi dalam saduran di atas kita juga mendapatkan keterangan dari beberapa ulama punggawa ilmu tafsir sekelas Imam Al-Zamakhsary (Madzhab Hanafi), Imam Al-Qurthuby (Madzhab Maliki), Imam Ats-Tsa’labiy (Madzhab Syafi’i), Imam Ibnu Katsir (Murid Ibnu Taimiyah), dan Imam Abu Zahrah seorang ulama Al-Azhar yang wafat pada hari Jum’at tanggal 12 April 1974 beberapa saat setelah menulis tafsir ayat-73 dari surat An-Naml dalam kitabnya Zahrah At-Tafasir.
Terakhir, penulis menukil perkataan Syaikh Mutawally Sya’rawi –salah satu ulama kharismatik yang dijuliki sebagai “Imam para dai”– dalam tafsirnya saat mengawali penafsiran ayat 118 dari surat Ali Imran dikatakan;
وعندما يزور الإنسان مريضا ويسأله : لماذا تأخذ هذا الدواء؟ فالمريض يجيب : لقد كتب الطبيب لي هذا الدواء ، فما بالنا بتنفيذ أحكام الله؟ إنه يجب أن ننفذها لأن الله قالها ، ولذلك فالعاقلون بعمق وجدية يختلفون عن مُدعى العقل بسطحية ، هؤلاء العاقلون الجادون يقولون : إن هذا العقل مطية يوصلك إلى باب السلطان ولكن لا يدخل معك عليه . فكأن العقل يوصلك إلى أن تؤمن ÈÇááå ¡ æáßäå áÇ íÍÔÑ äÝÓå ÝíãÇ áíÓ áå ÞÏÑÉ Úáíå .
“Dan ketika seseorang mengunjungi orang sakit lalu bertanya kepadanya; “Mengapa engkau mengambil obat ini?” lalu orang sakit tersebut menjawab; “–karena– Dokter telah memberikanku resep ini”. Nah, apalagi saat kita menerapkan Hukum-hukum Allah? Itu semua harus kita laksanakan karena Allah telah Mengatakannya. Oleh karena itu, orang yang memiliki akal mendalam dan sungguh-sungguh, mereka berbeda dengan orang yang mengaku berakal tapi sebatas permukaan saja (cetek). Karena orang yang benar-benar berakal tersebut akan berkata; “Sesungguhnya akal ini hanyalah kendaraan yang menghantarkanmu kepada Pintu Yang Maha Kuasa akan tetapi tak dapat menghantarkanmu masuk ke dalamnya. Seolah-olah akal hanya mampu menghantarkanmu agar engkau beriman kepada Allah, akan tetapi –akal– tidak melibatkan dirinya dalam area yang di luar kemampuannya.”
Seolah Syeikh Sya’rawi di sini secara tidak langsung ingin menegaskan, “Kita ini kalau sedang sakit lalu diberi obat oleh dokter maka obat tersebut akan langsung kita minum tanpa komplain apa pun. Tapi saat tubuh umat kita ini yang sakit dan Allah telah memberikan obatnya tapi kita malah mendebatnya, membantahnya, menolak, berkilah dan bersilat-lidah.” Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Shawab.*/Yusuf Al-Amien, penulis alumni PP Darussalam – Gontor