Oleh; Umar Hadi
ILMU hadis sebagai sebuah disiplin ilmu yang telah dianggap matang bahkan sampai gosong (ihtaraqat), tidak banyak orang yang melakukan kritik terhadap ilmu al-jarh wa at-ta’dil. Karena itu ketika Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Misteri Wasiat Nabi melakukan kritik dengan menyampaikan beberapa kelemahan dalam metode ini, tentu perlu kita kritisi juga, apakakah kritiknya tepat atau tidak.
Menjawab Kritikan Jalal
Beberapa kritik Jalaluddin Rakhmat terhadap metode ini adalah sebagai berikut:
1. Semua perawi bisa di-jarh. Termasuk sahabat juga di-jarh. Meskipun dalam kaidah ilmu jarh wa at-ta’dil dikataka as-s{ahabatu kulluhum ‘udu>l, tetapi faktanya, praktek jarh sudah dimulai sejak jaman sahabat segera setelah Nabi meninggal dunia. Jalal menguatkan pendirianya dengan mengutip pendapat Qasim bin Ali dalam bukunya Mabahits fi ‘Ilmi Jarh wa al-Ta’dil.
Jalaluddin Menulis:
“Aisyah menyalahkan Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin al-Ahs, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir bin ‘Abdullah dan lain-lain ….” (Jalaluddin, Misteri Wasiat Nabi, hlm. 30-31)
Pernyataan bahwa para sahabat-pun bisa di-jarh dengan alasan karena ternyata para sahabat-pun saling men-jarh, menurut penulis perlu tinjau ulang. Ada beberapa alasan, diantaranya: [1] bahwa ke-adalah-an para sahabat merupakan konsensus (ijma’) para ulama, baik dalam kalangan Ahlu sunnah, Mu’tazilah, dan Zaidiyah. (lihat: Nur al-Din ‘Iter, hlm. 122 & Faruq Hammadah, Manhaj al-Islamiy fi al-Jarhi wa al-Ta’dil, hlm. 214) [2] bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat yang men-jarh sahabat yang lain, bukanjarh. Tapi aktivitas tersebut adalah ta’lil. Dan secara filosofis itu dua hal yang berbeda. Tajrih mengacu kepada periwayat, apakah dia tsiqah dan sebagainya.
Sementara ta’lil mengacu kepada persoalan kritik atas kecermatan seorang sahabat lainnya, yaitu kecermatan dalam menukil redaksi sebuah riwayat, bukan dalam hal kejujuran atau seringnya melakukan kekeliuran.
Itulah sebabnya meskipun Siti Aisyah melakukan kritik terhadap riwayat Abu Hurairah, Umar dan Abdullah bin Umar, dia tetap mengakui kejujuran mereka. Aisyah mengatakan “Sesungguhnya kalian menyampaikan kepadaku bukanlah dari orang yang berdusta dan didustakan. Hanya saja pendengaran keduanya salah.” (al-Adabi, Manhaj Naqdi al-Matn, hlm. 113-116).
Jadi, praktek jarh di atas bukan dalam hal adalah, tetapi dalam hal kecermatan meriwayat. Bukan pula dalam hal kecermatan secara umum (dhabt), melainkan kecermatan untuk hadis tertentu saja.
Berikut penjelasan Imam al-Hakim tentang perbedaan jarh dan ta’lil:
وَإِنَّمَا يُعَلَّلُ الْحَدِيثُ مِنْ أَوْجُهٍ لَيْسَ لِلْجَرْحِ فِيهَا مَدْخَلٌ، فَإِنَّ حَدِيثَ الْمَجْرُوحِ سَاقِطٌ وَاهٍ، وَعِلَّةٌ الْحَدِيثِ يَكْثُرُ فِي أَحَادِيثِ الثِّقَاتِ
“hadis-hadis yang dinilai muallal dengan berbagai metode tidaklah melibatkan metode jarh didalamnya. Karena hadis yang majruh adalah hadis yang lemah. Sementara illat hadis banyak terdapat dalam hadis-hadis yang dinilai tsiqah.
Sementara itu, kaedah semua sahabat adalah adil dirumuskan oleh para ulama hadis bukan dimaksudkan untuk semua para sahabat tanpa terkecuali, karena faktanya ada di antara sebagian mereka, misalnya, ada sahabat yang sholat dalam keadaan mabuk sebagaimana yang dilaporkan oleh Imam al-Dzahabi dalam kitabnya al-Nubala’. Tetapi patut pula dicatat bahwa tidak satu laporanpun, ada ulama atau rawi yang meriwayatkan hadis dari sahabat yang telah tercabut ke-adalah-annya tersebut. Dengan demikian, kaedah tersebut hanyalah merupakan bentuk ta’mim karena melihat kepada hukum asal keutamaan sahabat (lihat: Hammadah, al-Jarhi wa al-Ta’dil, hlm. 219.)
2. Tidak ada kesepakatan di antara para ahli Jarh wa ta’dil
Dalam hal ini Kang Jalal membawakan pernyataan dari Imam al-Dzahabi bahwa “Tidak terjadi kesepakatan sama sekali antara dua orang ulama Jarh dalam mentsiqahkan perawi yang dhaif dan mendhaifkan perawi yang tsiqah”
Kita katakan bahwa apa yang dinyatakan oleh Kang Jalal akan menjadi benar jika yang dimaksud adalah bahwa para ulama seringkali berbeda pendapat mengenai periwayat yang belum masyhur tsiqah dan tidaknya. Akan tetapi jika periwayat tersebut telah masyhur baik tsiqah atau kelemahannya, maka para ulama Jarh tidak mengalami perbedaan pendapat. Karena itu pernyataan al-Dzahabi itu digunakan oleh Kang Jalal bukan pada tempat (fi ghairi maudhu’ihi).
Disamping itu, pernyataan bahwa para ulama dalam bidang ini tidak pernah mencapai kesepatan mengenai status periwayat, jelas melanggar fakta yang ada. Alasannya ada banyak diantara para rawi yang masyhur ke-tsiqah-annya sehingga tidak ada perbedaan pendapat penilaian dari kalangan kritikus hadis.
Misalnya, Imam Malik, Syubah, Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin al-Mubarak, Waki’ dan yang lainnya. Kita patut bertanya kepada Jalal, pernahkah ada seorang kritikus hadits yang men-jarh nama-nama tersebut di atas? (BERSAMBUNG)
Pengasuh Pesantren Hidayatullah Berau