Hidayatullah.com– Umat Islam Indonesia baru saja mendengar kabar Ustad Mohammad Yahya Waloni, seorang mantan pendeta yang kemudian menjadi juru dakwah meninggal dunia saat menjadi khotib Jumat.
Muhammad Yahya Waloni (30 November 1970 – 6 Juni 2025) lahir dengan nama Yahya Yopie Waloni.
Dibesarkan dalam lingkungan mayoritas Kristen di Manado, Sulawesi Utara, sejak kecil, ia dididik dalam tradisi Kekristenan yang kuat.
Bahkan ia menempuh studi selama delapan tahun di bidang teologi agama-agama, termasuk mendalami secara akademik perbandingan antara Islam, Kristen, dan Yudaisme.
Ia menyebut kepercayaannya saat itu sangat dalam terhadap doktrin Trinitas dan Ketuhanan Yesus.
“Saya menjadi ketua Sekolah Tinggi Teologi Calvinis di Sorong, Papua. Bukan cita-cita saya untuk masuk Islam. Kami didoktrin sejak nenek moyang dengan keyakinan terhadap Ketuhanan Yesus,” ujarnya dalam wawancara panjang bersama H Roma Irama.
Ia mengaku masa lalunya hidup nyaman dalam jabatan agama dan kehidupan keluarga.
Namun diam-diam, hati dan akalnya mulai terusik oleh pertanyaan-pertanyaan teologis yang tak terjawab.
Tak banyak yang tahu, sebelum memeluk Islam, pria asal Sulawesi Utara ini pernah menjabat sebagai ketua Sekolah Tinggi Teologi Calvinis di Sorong, Papua—sebuah posisi tinggi di kalangan Kristen Protestan Injili Indonesia.
Perjalanan Spiritual dari Keraguan
Berbeda dari mualaf kebanyakan, Yahya tak berpindah agama karena pernikahan atau tekanan eksternal. Ia masuk ke dalam lorong perenungan melalui kajian ilmiah dan spiritual.
Ia menyebut bahwa hubungan antara nabi-nabi dalam Al-Qur’an membuka hatinya. Salah satu ayat yang menjadi kunci bagi hatinya adalah terjemah Al-Quran Surat Al-Baqarah: 136.
“Katakanlah (wahai orang-orang beriman), ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya berserah diri kepada-Nya (Allah)’. (QS. Al-Baqarah: 136).
Ia menemukan bahwa dalam Islam, para nabi dihormati secara konsisten, dari Ibrahim hingga Isa (Yesus), dan semuanya membawa ajaran yang satu: tauhid.
“Kesimpulan saya: Al-Qur’an adalah kumpulan semua kitab para nabi, termasuk Injil. Dan Isa pun dalam Surah Maryam disebut sebagai orang yang shalat seumur hidupnya. Jadi Isa adalah Muslim,” jelasnya penuh keyakinan.
Titik Balik: Pertemuan Gaib dengan “Penjual Ikan”
Momen yang disebut Yahya sebagai titik balik terjadi saat ia mengaku bertemu dengan sosok misterius, seorang penjual ikan yang ia yakini bukan manusia biasa.
“Dia datang tiga kali. Pakai peci, bawa ikan, naik sepeda. Tapi anehnya, tak ada bau ikan. Istri saya pun heran saya bicara sendiri, padahal saya merasa berbicara dengan orang. Itu bukan orang sembarangan. Ia tiup keong, lalu menyuruh saya baca Surah Al-Qadr,” kenangnya.
Pertemuan-pertemuan itu, menurutnya, memperkuat dorongan untuk memeluk Islam. Belum lagi mimpi-mimpi spiritual yang ia alami—kapal dengan orang-orang bersarung dan nama ‘Nasir’ (pertolongan)—semakin memperkuat keyakinannya.
Syahadat dan Transformasi
Akhirnya, pada 18 Ramadan 1427 H (11 Oktober 2006), Yahya Waloni bersyahadat secara resmi. Ia masuk Islam dengan dituntun KH. Komaruddin Sofa, seorang alumni Tebuireng yang juga pernah bermimpi didatangi orang besar—yang kemudian diyakini sebagai pertanda kedatangan Yahya.
“Setelah saya shalat pertama kali, saya menangis. Seperti ada kelambu di atas kepala saya,” ujarnya.
Namun, tak semua menyambut baik keputusannya. Ia dituduh gila, dikejar pendeta-pendeta dari gereja asalnya, bahkan dihalangi oleh keluarganya.
“Saya siap dibenci satu dunia asal dicintai oleh Allah,” ujarnya.
Tetapi tekadnya tak goyah. Bahkan, ia memutuskan: jika istri tidak mau ikut masuk Islam, maka mereka akan berpisah.
Akhirnya, istri dan anak-anaknya pun masuk Islam bersama. Ia bahkan menyunatkan seluruh anak-anaknya dan diri sendiri untuk menyesuaikan dengan syariat Islam.
“Islam itu tinggi, luas, dan dalam bagaikan samudra,” kata seorang penjual ikan misterius itu—yang hingga hari ini diyakini Yahya sebagai makhluk gaib yang diutus Allah.
Dakwah, Penjara, dan Keteguhan
Setelah masuk Islam, Yahya tidak menjadi Muslim yang pasif. Ia langsung terjun ke medan dakwah.
Ia mengislamkan kepala Suku Dayak di Kalimantan, satu kampung di Brastagi, bahkan menyebut ribuan orang telah ia bantu masuk Islam.
Ia berdakwah ke pedalaman, naik mobil sendiri, hingga mengalami kecelakaan berkali-kali.
“Saya tidak punya sopir. Mobil hancur, saya tidak peduli. Yang penting dakwah jalan,” ujarnya.
Ia juga dikenal tegas dan tidak ragu menyebut kesesatan agama lamanya, meskipun itu membuatnya dijebloskan ke penjara.
“Saya tidak keras, saya tegas,” tegasnya. Ia mengutip ayat: “Muhammadur Rasulullah wal-laziina ma’ahu asyidda’u ‘alal kuffaari ruhamaa’u bainahum…” (QS. Al-Fath: 29)
Semua cobaan dan ujian dia rasakan dengan ikhlas. “Saya tidak masuk Islam karena hadiah. Saya masuk karena keyakinan ilmiah dan spiritual.”
“Yang kita cari bukan agama yang gampang. Masuk surga tidak segampang itu. Islam penuh perjuangan,” tambah dia.
Hari Jumat (6/6/2025) dia telah dipanggil Allah Subhanahu Wata’ala saat menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Darul Falah, Kompleks Perumahan Minasa Upa, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Ketua Masjid Darul Falah, Syahruddin Usman mengatakan musibah ini terjadi sekitar pukul 12.30 WITA, ketika beliau sedang menyampaikan khotbah kedua.
Kala itu Ustaz Yahya tampak bersemangat saat menyampaikan khotbah pertama tentang ketauhidan. “Namun, pada khotbah kedua, beliau terduduk di mimbar dan kemudian ambruk. Ustaz Yahya segera dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong,” ujar Usman.
Istri almarhum, Fipil Filawati, mengonfirmasi bahwa jenazah suaminya akan dimakamkan di Jakarta. *