f. Penanaman Nilai Keteladanan
Ibu adalah teladan. Ia harus memberikan keteladanan dalam berpakaian, berpenampilan, berbicara, dan bertingkah laku. Kadang-kadang, ada beberapa ibu Muslimah yang berpura-pura di hadapan suami, anak-anak, dan anggota keluarga yang lain. Ia menampilkan citra diri yang sebagus-bagusnya di mata keluarga, tetapi ia berbuat jahat dan keji di luar rumah.
Para wanita yang banyak keluar rumah untuk urusan karier dan pekerjaan saat ini mengakibatkan tambahan agenda permasalahan dalam tarbiyah Islam. Sebab, dengan leluasa para istri Muslimah bergaul dan berhubungan setiap hari dengan sekian banyak lelaki di kantor tempat bekerja. Di antara mereka memang masih ada yang memiliki pemihakan kepada nilai-nilai syar’i da;am muamalah dengan lawan jenis. Tetapi, sebagian yang lain sudah tidak pernah memikirkan batas-batas lagi.
Kesadaran sebagai teladan di dalam keluarga dan masyarakat bisa terdegradasi oleh pengaruh lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang dialami secara rutin setiap hari. Terkadang yang muncul adalah sikap kepura-puraan, karena ia masih mengharapkan anak-anak tumbuh dengan baik dan bermoral, sementara lingkungan `menuntut’ ia untuk berlaku tabarruj (berhias secara berlebih-lebihan) dan bebas moral.
Hendaknya ditanamkan perasaan bahwa istri adalah sosok Muslimah teladan di mata suami, anak-anak, dan masyarakat. Cara berpakaian di luar rumah amat mendukung hal ini. Untuk itu, perlu senantiasa menyesuaikan tuntunan syariat, antara lain menutup rambut dan seluruh anggota tubuh (kecuali muka dan telapak tangan), berpakaian longgar (tidak ketat), tidak transparan, tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh, tidak tabarruj, berpenampilan sederhana, serta lugas dalam berbicara dan tidak mendayu-dayu sehingga mencegah datangnya fitnah.
Perasaan dan tanggung jawab keteladanan semacam itu tidaklah senantiasa lahir dengan sendirinya. Pemunculan dan penjagaannya memerlukan sebuah proses pembiasaan dan tarbiyah yang berkesinambungan. Tanggung jawab keteladanan bisa dipupuk dalam diri para istri dengan nasihat, pengingatan, dan pengajaran.
Suatu ketika, Ummu Athiyah berkata kepada anak-anaknva, “Kemarilah kau, akan kuberi sesuatu.” Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bertanya, “Apa yang hendak kauberikan?” Ia menjawab, “Aku hendak memberinya kurma.” Rasulullah bersabda, “Sungguh, bila engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya kamu akan ditulis sebagai wanita pendusta.”
Perasaan dan tanggung jawab keteladanan yang ditanamkan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam kepada Ummu Athiyah tersebut, tampaknya mengenai suatu hal yang biasanya dianggap sepele dan sederhana dalam rumah tangga, yaitu tidak boleh menipu atau memberi harapan palsu kepada anak-anak. Jika dalam masalah yang cenderung dianggap sederhana itu pun ditanamkan sikap keteladanan, tentu saja untuk urusan yang lebih besar memerlukan perhatian yang lebih pula.
Penjagaan kesadaran sebagai teladan di mata anak-anak akan ikut menumbuhkan sikap ketegasan dan penolakan terhadap berbagai tawaran menyesatkan dari lingkungan. Ia akan merasa amat bersalah apabila memberikan keteladanan yang buruk di hadapan anak-anak. Dengan perasaan semacam itulah, ia terpacu untuk memberikan sesuatu yang paling bagus untuk dicontoh.*/Cahyadi Takariawan, dari bukunya Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah.