MENCENGANGKAN! Itulah kesan yang dirasakan Profesor Nasaruddin Umar. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta ini menyaksikan seantero masjid yang dipimpinnya. “Seperti di Makkah,” ujarnya.
Jumat pekan lalu, sepanjang sejarahnya, baru kali ini masjid yang mulai dibangun pada tanggal 24 Agustus 1951 itu dipenuhi jamaah sebanyak yang disaksikan Nasaruddin.
Siang itu jelang berlangsungnya Aksi Damai Bela Islam II, 4 November 2016. Massa peserta aksi ini memenuhi Masjid Istiqlal. Semua lantai masjid penuh, luar-dalam.
“Seandainya atapnya bisa didaki, mungkin juga ditempati (jamaah),” tutur Nasaruddin dalam Rapat Pleno XII Dewan Pertimbangan MUI di kantor MUI, Jakarta, Rabu (09/11/2016).
Ia bercerita, seirisan hajatan besar yang populer disebut Aksi Damai 411 itu, selama tiga hari tiga malam, seluruh karyawan Istiqlal ia minta untuk memfasilitasi tetamu Allah tersebut.
Yang dimaksud adalah para peserta Aksi Bela Islam II atau Aksi Bela Al-Qur’an itu. Mereka yang datang dari berbagai daerah se-Indonesia ini memang memanfaatkan Istiqlal sebagai basecamp.
“Kami juga antisipasi, karena malam (Kamis) sudah banyak yang datang. Kita khawatir juga stok logistik untuk mereka tidak ada. Khususnya waktu itu, makan malam untuk 35 ribu orang,” tuturnya.
Ada keajaiban, kata Nasaruddin. Walaupun sudah disiapkan logistik, ternyata lebih banyak pihak yang datang membawa bantuan ke Istiqlal.
“Berbondong-bondong orang buka dapur umum di Istiqlal. Saya tidak tahu dari mana itu,” ungkapnya. Para dermawan memang berduyun-duyun menyalurkan bantuan ke sini.
Sumbangan berbagai jenis makanan, minuman, serta perlengkapan seperti alas tidur dan lain-lain tampak menumpuk di lantai bawah masjid. Nyaris tak habis-habis meski langsung dibagikan kepada jamaah yang datang tiada henti.
Disuruh Amankan Kantor, Ikut Ribuan Massa Bela Al-Quran di Masjid Istiqlal
Banjir “Muhajirin”
Semakin malam, semakin ramai umat berdatangan. Jika biasanya Istiqlal ditutup untuk publik sejak beberapa waktu usai shalat Isya, kali ini dibuka lebar-lebar. Di pojok-pojok dalam dan luar masjid, ribuan, puluhan ribu, lalu ratusan ribu orang berjejalan.
Sementara pekikan takbir berkali-kali diteriakkan oleh rombongan demi rombongan yang baru tiba di depan pintu masuk Al-Fattah dalam skala tak menentu.
Bayangkan jika sedang tidur di tengah malam, tiba-tiba terdengar pekikan takbir membahana berkali-kali dari banyak orang.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Itulah suasana ‘bikin merinding’ yang berulang kali dirasakan pada Kamis-Jumat dinihari itu.
Para “muhajirin” pun menginap di bangunan masjid dan sekitarnya. Sebagian menghabiskan malam dengan tahajud dan membaca al-Qur’an.
Sementara di gerbang masuk timur Istiqlal, bus-bus dengan nomor polisi berbagai daerah terus berdatangan.
Hingga waktu shubuh, suasana Istiqlal sudah seperti mau shalat Jumat pada hari-hari biasa; jamaah tumpah ruah. Banjir manusia. Jamaahnya berlipat-lipat dibanding Jumat lainnya.
“Sarapan pagi yang kita khawatirkan juga ternyata melimpah ruah makanan di Istiqlal,” kata Nasaruddin.
Melimpahnya makanan seiring melimpahnya jamaah. Untuk berwudhu pun mereka harus antrian, apalagi buang hajat di kamar kecil. Sampai-sampai persediaan air di Istiqlal sempat menipis bahkan habis.
Kata petugas Istiqlal melalui pengeras suara, mesin penyalur air jadi panas karena mungkin tiada henti bekerja. Jamaah pun diimbau berhemat.
Apa yang terjadi?
“Menjelang shalat Jumat habis airnya. Sampai ada yang bilang, ‘ini disabotase’ dan lain sebagainya. Kita pahamkan. Akhirnya distribusi airnya kita pasok gantian. Masalah teratasi,” ungkap mantan Wakil Menteri Agama ini.
Jumat itu, ia menyaksikan langsung, masjid dengan kawasan seluas 9.32 hektare ini dipadati sekitar 300 ribu jamaah dalam satu waktu. Masya Allah, jumlah yang fantastis!
“Pada perhitungan kita, kalau itu penuh dalam ruangan, 120 ribu (jamaahnya). Kalau penuh sampai bawahnya bisa 200 ribu. Kalau emperannya sayap kanan-kiri penuh, itu 250 ribu. Kalau sampai tempat parkirnya dipakai, bisa 300 ribu (jamaah),” jelasnya.* Yahya G Nasrullah, SKR/hidayatullah.com/bersambung