Oleh: Fakhruddin A
PARA pendiri bangsa, merumuskan Indonesia sebagai negara berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka.
Mr Mohammad Yamin, pahlawan nasional dan juga pelopor Sumpah Pemuda mengatakan, negara hukum adalah tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukan negara polisi atau negara militer, bukan tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukan pula negara kekuasaan, tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukkan sewenang-wenang.
Bicara soal negara hukum, berarti kita juga bicara soal keadilan. Keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Karena, tidak mungkin dapat terwujud sebuah negara hukum tanpa keadilan. Meskipun keadilan itu bersifat abstrak, tidak berwujud, tapi ia harus bisa dirasakan di dalam penegakan hukum.
Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ‘hukum dan keadilan’ berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Baca: NKRI dan Kebinekaan Terancam Jika Keadilan Tidak Ditegakkan
Menurut kaidah penegakkan hukum dan keadilan, tentu semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Semua orang, baik pejabat negara, rakyat biasa, kaya ataupun miskin, apabila melakukan perbuatan melawan hukum, maka harus mendapat sanksi yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada kesenjangan dalam menegakkan hukum.
Tapi belakangan ini, penegakan hukum di negeri ini menimbulkan banyak sorotan dari kalangan masyarakat. Khususnya dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Ada indikasi ketidakprofesionalan (berpihak kepada tersangka) penegak hukum dalam penanganan kasus penistaan agama ini.
Sikap ketidakprofesionalan aparat penegak hukum inilah yang mengakibatkan semakin maraknya aksi-aksi demonstrasi oleh umat Islam di berbagai daerah untuk menuntut penyelesaian hukum secara adil, jujur dan transparan.
Alih-alih mendapatkan respons yang sesuai harapan dari aparat, sejumlah aktivis aksi umat Islam justru ditangkap dengan tuduhan makar terhadap negara.
Dari sini kita dapat menyaksikan bagaimana penegak hukum mempertontonkan ketidakadilan, mereka mempertaruhkan integritasnya hanya demi melindungi seorang tersangka penista agama. Sangat sulit sepertinya bagi mereka mewujudkan keadilan di saat para pencari keadilan benar-benar mengharapkan keadilan.
Pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam kepada penegak hukum
إنما هلك من كان قبلكم، أنهم كانوا يقيمون الحد على الوضيع ويتركون الشريف، والذي نفسي بيده، لو أن فاطمة فعلت ذلك لقطعت يدها
“Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum hudud atasnya. Sedangkan bila orang mulia mencuri mereka biarkan, Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad saw. mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.
Baca: Keadilan Hukum Disoroti, Kepolisian Dikhawatirkan Makin tak Dipercaya Masyarakat
Demikian pernyataan tegas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam tentang bagaimana menegakkan hukum. Beliau mengingatkan agar tidak dilakukan tebang pilih dan diskriminasi dalam penegakan hukum. Karena hal tersebut dapat menyebabkan hancurnya masyarakat.
Siapapun yang melanggar hukum, entah dari kalangan bangsawan, rakyat biasa, atau bahkan anak sendiri, apabila bersalah, maka ia harus dikenai hukuman sesuai dengan ketentuan hukum.
Seharusnya aparat penegak hukum dapat menjalankan amanah masyarakat dalam menegakkan hukum secara jujur, adil dan benar. Jangan sampai rakyat turun tangan karena merasa tidak mendapat keadilan. Kita tidak ingin masyarakat dan negeri ini hancur gara-gara aparat melindungi orang yang bersalah. Nauzubillah min dzalik.*
Penulis adalah mahasiswa Islamic University Islamabad, Pakistan